Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Multikulturalisme dalam Sastra Diasporik

28 Februari 2023   03:58 Diperbarui: 6 Mei 2024   14:59 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toko aneka kerajian di Pecinan, AS. Sumber: Hellotickets

Multikulturalisme bagi subjek diasporik bukan semata-mata proses menghargai dan mengakui budaya etnis lain, tetapi juga terkait dengan proses peniruan secara selektif budaya-budaya yang didominasi kulit putih yang berpotensi melanggengkan ketimpangan di negara-negara liberal yang mengkampanyekan demokrasi. 

Bagi penulis diasporik, multikulturalisme di negara maju menjadi konteks yang mempengaruhi pilihan diskursif, apakah mengkritisinya terkait masalah yang ditimbulkannya atau mendukungnya demi kepentingan pencapaian cita-cita sebagai imigran.

Lagi-lagi, Multikulturalisme: Beberapa Catatan dari Sastra Diasporik

Individu diasporik yang tinggal di tengah kota-kota metropolitan di Amerika Serikat, Eropa Barat dan negara maju lainnya dengan multiras, etnis, dan agama di mana pemerintah menerapkan politik multikulturalisme, sebenarnya memberi peluang kepada mereka untuk mendapat perhatian dari masyarakat induk yang memiliki modernisme yang menekankan kesetaraan dan solidaritas di antara umat manusia. 

Toko aneka kerajian di Pecinan, AS. Sumber: Hellotickets
Toko aneka kerajian di Pecinan, AS. Sumber: Hellotickets
Multikulturalisme menjadi model untuk meresistensi konsep dan praktik asimilasi peleburan yang membutuhkan kelompok ras dan etnis yang beragam untuk bercampur dengan budaya dominan, budaya orang kulit putih. 

Dalam prinsip kebhinekaan, minoritas idealnya mendapatkan pengakuan dan kesetaraan yang dijamin oleh liberalisme sebagaimana ideologi negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Menurut Kymlicka (1995: 82-93), keanggotaan dalam komunitas budaya akan memastikan identitas pribadi dan memberikan kerangka bagi individu untuk menjalani kebebasannya. 

Pengakuan dan identitas budaya merupakan nilai penting bagi otonomi manusia dan individu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Charles Taylor (1992) menegaskan bahwa politik rekognisi adalah pintu untuk menjamin kebebasan dan hak-hak individu terlepas dari suku atau ras mereka. 

Meskipun multikulturalisme dengan model rekognisi dianggap sebagai pemberdayaan integrasi sosial dari keragaman budaya masyarakat, baik dalam praktik maupun produk representasional tentang individu dari latar belakang etnis yang berbeda, juga dikhawatirkan akan memperkuat perbedaan rasis.

Kondisi Kontekstual

Meningkatnya jumlah diaspora atau komunitas transnasional di negara-negara maju dengan kasus rasisme yang semakin beragam menjadi salah satu faktor dominan yang menyebabkan banyak pemerintah menerapkan kebijakan multikulturalisme. Selain itu, kehadiran banyak kelompok etnis di tengah masyarakat kulit putih juga memunculkan transformasi besar yang harus dilakukan pemerintah. 

Mereka menerapkan sistem dan struktur sosial berbasis liberalisme yang memberikan porsi kebebasan berekspresi kepada setiap individu dalam budaya sehingga mereka dapat menghindari proses marginalisasi, pengucilan, dan rasisme dalam kehidupan sehari-hari (Dijkstra, Geuijen, dan Ruijter, 2001: 61-62). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun