Dalam sastra diasporik, baik yang ditulis di Amerika Serikat maupun di negara-negara Eropa Barat, konstruksi dualitas budaya menjadi semacam “menu yang harus disajikan.”
Di antara ingatan masa lalu dan berbagai peristiwa budaya, ekonomi, sosial, dan politik sebagai keniscayaan untuk terus beradaptasi dan sesuai dengan nilai, bentuk, dan praktik budaya masyarakat Barat, tokoh-tokoh utama dari negara-negara pascakolonial digambarkan memiliki masalah kelangsungan hidup di negara induk.
Dalam pengantarnya untuk The Arab Diaspora: Voice of angered scream, Zahia Smail Salhi (2006) berpendapat bahwa meskipun penulis diasporik menulis dalam bahasa Inggris dan Prancis, karya mereka belum tentu sama atau mirip dengan kondisi sebenarnya di kehidupan nyata, baik di tanah air atau negara tuan rumah, selalu di antara keduanya.
Sastra diasporik, dengan demikian, menjadi bentuk ekspresi yang menegosiasikan penderitaan para imigran sebagai akibat ingatan akan tragedi politik, penyakit, masalah ekonomi, kemiskinan dan perang saudara serta masalah rasial yang dihadapi di kota-kota besar Barat, tetapi mereka juga memiliki mimpi menjadi individu yang lebih sukses melalui perjuangan dan perampasan budaya dominan.
Dualitas yang terus-menerus dialami oleh subjek diasporik tidak hanya menempatkan mereka pada ruang antara di mana hibriditas budaya merupakan realitas yang tidak dapat disangkal, tetapi, lebih dari itu, mendorong mereka untuk memahami kembali persoalan identitas yang tidak lagi dapat melekat pada diri mereka, sejarah negara asal atau budaya ibu (Bhabha, 1994).
Selain itu, mereka juga harus memahami budaya atau budaya yang dominan dari etnis lain dalam masyarakat multikultural. Identitas budaya, dengan demikian, bukan lagi sesuatu yang tetap, tetapi selalu dalam proses negosiasi, positioning, dan menjadi (Hall, 1997, 1994).
Selain itu, selain identitas, bangsa dan nasionalisme adalah proyek yang dapat 'direvisi' dan dinegosiasikan secara fleksibel, meskipun tidak dapat sepenuhnya menghilangkan pengaruh dan ingatan akan budaya ibu atau ingatan akan bangsa asal.
Pengarang seolah mendapatkan “peluang bernapas” untuk menulis narasi tentang berbagai isu, termasuk isu politik yang membuat rakyat menderita dan kekuasaan rezim yang kejam, karena di metropolitan mereka menemukan kebebasan sebagai nilai dan budaya yang turut mengkonstruksi subjektivitas, khususnya mengenai pandangan politik (Al Maleh, 2009: 14).
Dalam posisi tersebut, penulis tidak melupakan tanah air, tetapi mencoba memberikan perspektif visioner berdasarkan wacana demokrasi yang dapat menjadi alternatif upaya perbaikan sosial, ekonomi, dan politik.
Berdasarkan beberapa pemikiran di atas, artikel ini akan mensurvei beberapa literatur kontemporer terkait dengan pembahasan multikulturalisme yang direpresentasikan dalam karya sastra diasporik. Saya juga akan menambahkan bacaan singkat terhadap beberapa karya yang merepresentasikan masalah identitas budaya dalam masyarakat multikultural di negara-negara maju.