Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Budaya dalam Perspektif Ideologi dan Kuasa

24 Februari 2023   00:13 Diperbarui: 25 Februari 2023   14:59 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa merupakan sebuah produk budaya yang mempunyai kepentingan untuk berkomunikasi dan mengkomunikasikan pesan dan makna antarindividu dalam masyarakat. Melalui bahasalah keyakinan kolektif dalam masyarakat direpresentasikan secara aktif dan transformatif. 

Ketika bahasa memiliki peran tersebut, maka bahasa bukan lagi menjadi sesuatu yang netral. Bordieu (1992: 37) menjelaskan bahwa proses berbahasa merupakan relasi simbolik yang di dalamnya terdapat aktualisasi relasi kuasa di antara pembicara di antara komunitas.

Untuk memperjelas pendapat tersebut, saya berikan ilustrasi dari sebuah intitusi A, tempat anak-anak muda belajar moralitas. Warga dari komunitas ini akan selalu berusaha menjalani aktivitas dan perilaku sehari-hari berdasarkan tradisi yang sudah melembaga di lingkungannya. 

Mereka akan membiasakan diri untuk menggunakan ucapan yang menandakan kepatuhan kepada guru yang ditokohkan maupun keluargannya dengan menundukkan muka atau tanpa berani menatap mata guru yang mengajak bicara mereka. 

Ketika berpapasan mereka juga akan mencium tangan guru ataupun orang lain yang bersamanya karena orang tersebut dianggap mempunyai kedudukan sejajar dengan kyainya ketika bisa berjalan bersama-sama dengannya. Ketika mereka tidak melakukan tradisi ini mereka dianggap tidak tahu kesopanan dan akan dikucilkan, atau bahkan diberi peringatan keras. 

Ketakutan akan sanksi kultural dan praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi tersebut menjadikan tradisi kepatuhan di lingkungan  pesantren menjadi habitus atau praktik yang sudah dianggap sebagai kewajaran. Akibatnya guru moral dipandang sebagai figur sentral melebihi tokoh-tokoh politik maupun pemerintah. 

Tidak mengherankan ketika banyak tokoh parpol maupun calon bupati, gubernur, ataupun anggota DPR/D yang sowan ke tokoh agama sebelum mereka menjalankan hajatan politiknya. 

Ideologi, Budaya, dan Kepentingan Kuasa

Ketika sebuah wacana dan praktik kultural sudah menyebar dalam kebiasaan dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat atau komunitas partikular, maka, pada saat itulah budaya tidak lagi netral, tetapi lebih bersifat ideologis. Beragam wacana maupun praktik tradisi bisa menjadi acuan untuk bertindak dan melakukan aktivitas-aktivitas sosial bagi seorang anggota masyarakat. 

Inilah yang oleh Hodge dan Kress (1988: 3-4) disebut sebagai kompleks ideologis, yakni aturan yang disusun untuk membatasi tindakan dan kebiasaan dengan cara menstrukturasi versi-versi realitas yang menjadi dasar tindakan sosial, dalam cara-cara tertentu. 

Dalam terma Gramscian disebut sebagai kehendak bersama (common sense), sebuah pemahaman bersama tentang aturan maupun kerangka makna dalam bertindak yang menjadi substratum ideologi (1981: 191-192). Ketika kompleks ideologis atau kehendak bersama ini terus menerus diwacanakan melalui formasi diskursif dan mampu melintasi bermacam kelas maupun golongan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun