Artinya, kajian budaya bisa menjangkau praktik dan wacana kultural yang berlangsung dalam masyarakat dengan menggunakan model analisis dan riset yang ada dalam disiplin-disiplin tersebut untuk kemudian membongkar relasi-relasi kuasa yang ada di balik budaya.
Pembacaan kritis yang ajeg dan kontinyu terhadap wacana dan praktik budaya dalam masyarakat, mutlak dibutuhkan sehingga akan memunculkan kritik-kritik yang mampu menjadi pembanding dan pencerah kebekuan pemikiran dalam subjek-subjek sosial yang sudah terlalu lama terhegemoni kekuatan tertentu.
Teks dan praktik budaya adalah permainan formasi diskursif yang tidak bisa lagi dipandang sebagai entitas netral (nir-politik atau nir-ideologi) karena kenyataannya, banyak kuasa yang selalu menggunakan medium kultural untuk menaturalisasi dan mendepolitisasi kepentingannya sehingga seolah-olah mewujud sebagai formasi sosio-kultural yang memang sudah seharusnya seperti itu.
Budaya memang terlahir untuk mengatur dan menciptakan kehidupan masyarakat yang dibayangkan serba terlihat normal, tentram, dan terkendali.
Namun, di balik semua itu, kuasa akan selalu bermain dan mengawasi setiap gerak masyarakat, seperti, meminjam istilah Foucault (1992: 84-89), sebuah panoptikon yang menjadikan subjek-subjek merasa terus diawasi sehingga akhirnya merasa perlu untuk berdisiplin dan menuruti wacana dan praktik kultural yang ada.
Di sinilah letak urgensi dan signifikansi dari kajian kritis cultural studies untuk terus menghadirkan pembacaan dan kritik kultural, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, bahwa tidak semua praktik dan wacana kultural yang sudah dianggap mapan itu baik.
Bahan Bacaan
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 1996. “Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan, Kondisi Akhir Abad XIX.” Prisma 6, Juni 1996.
_______________.2006. Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.
Althusser, Louis.1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press.
Roland Barthes.1983. Mythologies. New York: Hill and Wang.