Rezim Orde Baru/Suharto
Masa Orde Baru merupakan jaman yang dipenuhi dengan paradoks dalam bidang perfilman. Di satu sisi, sebagai konsekuensi kebijakan percepatan pertumbuhan ekonomi, pemerintah membuka kran bagi masuknya film-film impor yang mendatangkan pajak pemasukan.Â
Namun, di sisi lain, pemerintah berusaha mendorong tumbuhnya industri perfilman nasional yang tetap berorientasi pada budaya bangsa demi mewujudkan stabilitas nasional demi tercapainya cita-cita pembangunan nasional. Sekali lagi, persoalan film sebagai representasi budaya bangsa, bercampur-baur dengan kuasa-hegemonik rezim yang diwarnai pula dengan tindakan represif.
Masuknya film-film impor, baik dari Hollywood, Hongkong, maupun India, memberikan konsekuensi semakin populernya film-film asing bagi penonton Indonesia, dari kelas cineplex, bioskop kelas bawah, hingga layar tancap.
Dampak dari kondisi tersebut, adalah masuknya pengaruh budaya asing yang mengusung adegan kekerasan dan seksualitas ke dalam imajinasi bangsa yang selalu dicitrakan sopan, agamis, toleran, dan sebagainya. Pemerintah sebenarnya sadar akan persoalan tersebut, meskipun tidak bisa berbuat banyak dan film-film impor terus membanjiri bioskop di tanah air.
Pengaruh-pengaruh destruktif tersebut dianggap bisa memberikan pembelajaran yang kurang baik dan menganggu stabilitas serta pembangunan nasional yang mensyaratkan ketentraman dan kepatuhan warga negara.Â
Untuk mengurangi pengaruh buruk film asing dan menghindarkan industri film nasional dari penyebaran pesan-pesan yang ‘bisa mengganggu ketertiban dan kepentingan umum’, maka Badan Sensor Film (BSF) menjadi institusi yang sangat berpengaruh dan ‘ditakuti’ oleh para sineas dan pelaku industri film.
Di samping itu, pembuatan undang-undang atau regulasi pemerintah lainnya juga sangat berperan dalam perkembangan perfilman di era rrba. Pintu masuk untuk mengatur semua kebijakan perfilman adalah, lagi-lagi, persoalan film sebagai representasi budaya bangsa. Arif (dikutip Kurnia, et al, 2004: 57) menjabarkan hasil seminar kode etik film (4-8 Mei 1981) sebagai berikut.
(1) Film Indonesia seharusnya memiliki tema sentral mengenai situasi dan kondisi manusia Indonesia dan sifat-sifatnya dan ciri-ciri khas kepribadiannya dalam lingkungan yang wajar. (2) Film Indonesia merupakan hiburan yang membuat luhur pikiran, mental, rohani, dan cita-cita.Â
(3) Film sebagai produksi kebudayaan dapat mendorong masyarakat untuk memelihara dan memupuk kebudayaan yang dimilikinya sebagai proses humanisasi. (4) Larangan terhadap penyajian adegan-adegan yang berefek pada penurunan nilai-nilai moral penonton.
Jelas sekali, betapa dalam kode etik tersebut, terdapat pemahaman idealis dalam memandang film sebagai produk kebudayaan bangsa dan sebisa mungkin merepresentasikan kebudayaan bangsa. Film dianggap sebagai produk budaya yang sudah seharusnya memberikan pencerahan terhadap manusia Indonesia yang sadar akan nilai-nilai adiluhung bangsanya.Â