Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Film, Sensor, dan Paradoks Budaya Bangsa

8 Februari 2023   00:15 Diperbarui: 9 Februari 2023   00:01 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang dalam penyelenggaraan FFI 2004 dan 2005, kesan pemihakan terhadap usaha getol sineas muda terwujud dengan dimenangkannya Ada Apa Dengan Cinta (FFI 2004) dan Arisan (FFI 2005), sebagai film terbaik. Artinya sudah ada penghargaan terhadap apresiasi kualitas cerita serta apresiasi masyarakat. 

Namun, FFI 2006 sungguh di luar dugaan. Film Ekskul menjadi film terbaik. Lagi-lagi kriteria mutu estetik dan kesesuaian dengan budaya bangsa menjadi kriteria penilaian dewan juri. 

Kemenangan Ekskul jelas menodai kriteria budaya bangsa dalam FFI, dan lebih jauh lagi, menunjukkan ambiguitas panitia dan dewan juri FFI yang dibentuk oleh BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional) serta, lebih ekstrim, menyiratkan ketidakmampuan birokrat film dalam mengelola perkembangan film di Indonesia.

Kondisi itu membuat beberapa insan perfilman Indonesia membentuk MFI (Masyarakat Film Indonesia) yang bertujuan melakukan aksi dan gerakan untuk perubahan kebijakan perfilman Indonesia yang selama ini dinilai tidak jelas dan tidak berpihak kepada kepentingan insan film. Beberapa tuntutan yang mereka ajukan kepada birokrat yang berurusan dengan perkembangan film, antara lain:

(1) Mencabut Piala Citra Film Terbaik untuk Ekskul karena telah melakukan pelanggaran hak cipta dalam penggunaan ilustrasi musik; (2) Menghentikan segera penyelenggaraan FFI; (3) Membubarkan lembaga-lembaga perfilman yang ada dan membentuk lembaga-lembaga baru secara demokratis dan transparan; 

(4) Mencabut UU No. 9 Tahun 1992 tentang Perfilman dan menggantinya dengan UU baru yang lebih mendukung kemajuan; 

(5) Membuat rancangan   strategis   bagi   perkembangan   budaya   dan   ekonomi   perfilman Indonesia dengan melibatkan para pelaku aktif perfilman Indonesia; dan, (6) Mengganti Lembaga Sensor Film dengan sebuah Lembaga Klasifikasi Film. (Indarto, 2007).

Dari tuntutan di atas, jelas sekali adanya usaha dari para sineas film untuk mendobrak kekakuan dan ketidakjelasan arah pengembangan perfilman Indonesia. Bahkan, untuk mempertegas arah perjuangannya MFI melakukan Uji Materi Undang-undang Perfilman.

Poster film Ekskul. Sumber: wiwienwintarto.blogspot.
Poster film Ekskul. Sumber: wiwienwintarto.blogspot.

Tuntutan MFI untuk mencabut Piala Citra film Ekskul akhirnya memang dikeluarkan oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N ) karena adanya polemik di kalangan sineas Indonesia terkait pelangaran hak cipta untu ilustrasi musik. Namun demikian, tuntutan mereka untuk membubarkan LSF belum bisa terwujud.

Meskipun MFI sudah gencar melakukan advokasi terhadap pilihan ideologis gerakannya, aparat pemerintah di bawah rezim SBY masih mempunyai pola pikir yang sama dengan para pendahulu mereka pada jaman Orba dan menolak mentah-mentah usulan MFI, terutama yang berkaitan dengan pembubaran LSF. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun