Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengingat-kembali Komodifikasi Keislaman di Televisi Era 2000-an

20 April 2023   07:30 Diperbarui: 29 April 2023   19:46 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Massifnya tayangan televisi yang mengusung tema dan citra keislaman pada era 2000-an awal ikut memformulasi keislaman yang disesuaikan dengan perkembangan kapitalisme lanjut berbasis teknologi dan media. Dalam kapitalisme demikian, praktik komodifikasi dan politik representasi memproduksi keislaman dengan makna-makna spesifik yang modis sekaligus dogmatis. 

Awalan: Televisi, Komodifikasi, dan Representasi 

Media dalam sejarahnya, mempunyai peran-peran strategis dalam pengembangan masyarakat demokrasi. Media, dalam segala bentuknya, pada awalnya dianggap sebagai kekuatan yang bisa menumbuh kembangkan ruang publik (public sphere) sebagai medium untuk menyebarkan semangat demokrasi dan transparansi di tengah-tengah masyarakat.

Kellner (2004) menjelaskan bahwa dalam teori demokrasi klasik, media menghadirkan informasi, gagasan, dan debat yang berkaitan dengan masalah publik dengan tujuan memasyarakatkan ruang publik demokratis. 

Media memberikan catatan bagi kekuatan eksesif serta memberikan informasi kepada warga masyarakat yang bersangkut-paut dengan isu-isu utama kepentingan umum agar mereka mau berpartisipasi dan menyumbangkan pengetahuan dalam kehidupan publik. 

Dalam sejarah perkembangan ruang publik pada abad ke-18 di mana surat kabar, jurnal, dan terbitan-terbitan lain yang bebas dari kepemilikan negara menjadi bahan bacaan di kedai-kedai kopi bagi warga yang terlibat intens dalam perdebatan seputar isu-isu politik dan sosial. 

Meskipun ruang publik tersebut cenderung didominasi oleh kelas borjuis, namun kehadiran media telah berhasil mentradisikan debat sebagai cikal bakal berkembangnya masyarakat demokratis. 

Di pihak lain kelas pekerja juga memunculkan ruang publik oposisional di gedung-gedung serikat, kantor partai, serta sejalan dengan gerakan sosial lainnya mereka juga menerbitkan pers alternatif sebagai tandingan bagi pers borjuis. 

Media telah menjadi ruang publik yang sama pentingnya dengan institusi-institusi negara seperti parlemen dalam membuka wacana bagi individu-individu dan kelompok-kelompok dalam menegosiasikan gagasan dan kritik sehingga telah memberi pencerahan demokratis bagi munculnya masyarakat sipil.

Berkembangnya kapitalisme negara kesejahteraan (welfare state capitalism) dan demokrasi massa (mass democracy) membawa pula perkembangan baru bagi media dan ruang publik. 

Kalau sebelumnya, media menjadi ruang bagi munculnya opini publik dalam wacana debat yang mengedepankan rasionalitas, maka dalam era baru ini opini publik digantikan konsultan-konsultan atau ahli- ahli politik yang disistemasikan sedemikian rupa oleh korporasi media. 

Kondisi ini menyebabkan publik tidak mempunyai akses lebih bagi berlangsungnya debat yang benar-benar demokratis, sehingga mereka tidak mempunyai kuasa untuk mengkritisi dan hanya bisa mengidentifikasi diri mereka dengan argumen- argumen yang dikonstruksi oleh media.

Sumber: Wikipedia
Sumber: Wikipedia

Diambil alihnya media oleh pemodal-pemodal korporasi menandai dimulainya era baru komunikasi massa di mana media tidak hanya berbentuk media cetak tetapi juga media penyiaran elektronik. 

Menurut  Thompson (2006), media penyiaran elektronik pada awalnya berkembang pesat di Amerika Serikat pada awal tahun 1920-an dalam bentuk radio yang disusul perkembangan revolusioner media televisi pada tahun 1940-an dan 1950-an. 

Dari sini industri media dari jenisnya bisa dikategorikan ke dalam: (1) media cetak (meliputi surat kabar, majalah, serta jurnal) dan (2) media elektonik (meliputi televisi, radio, dan sinema).

Turow (1991), menjelaskan bahwa dari segi muatan yang hendak disampaikan industrasi media secara sederhana bisa dikonsentrasikan ke dalam: (1) jurnalistik (meliputi surat kabar, tabloid, stasiun televisi berita) dan (2) 'non jurnalistik' atau hiburan (meliputi sandiwara radio, televisi komersil, rekaman musik, film, siaran olah raga, dan lain-lain).

Perkembangan komunikasi massa dalam bingkai kapitalisme teknologi (technocapitalism) secara progresif telah menciptakan kelompok-kelompok pemodal dominan yang agresif dalam produksi media, baik cetak maupun audio-visual. 

Dengan ditemukannya teknik-teknik baru transmisi pesan dalam performa media yang semakin beragam, masyarakat di satu sisi memperoleh akses murah terhadap produk-produk budaya sehingga secara tidak langsung berkembangnya industri media dianggap melahirkan demokrasi kultural

Mereka semakin leluasa dalam memilih produk dan tayangan yang mampu memberikan ruang pelepasan bagi kejenuhan dan tekanan kerja-kerja harian. Para pekerja, misalnya, banyak menggunakan waktu luang mereka untuk menonton tayangan-tayangan televisi, mendengarkan musik, ataupun menonton film.

Bisnis media kemudian menjadi ajang baru bagi akumulasi modal yang cukup menggiurkan. Di Indonesia kita menyaksikan realitas, betapa media mampu menjadi industri baru yang berkembang pesat, mulai dari media cetak, radio hingga televisi. 

Kalau pada masa-masa revolusi kemerdekaan, media, terutama media cetak dan radio (dalam hal ini RRI), menjadi salah satu kekuatan revolusioner yang menghubungkan person-person ataupun institusi-insitusi perjuangan kala itu, maka pada era industri budaya, media telah menjadi kekuatan kultural yang memberikan informasi sekaligus beragam hiburan ke dalam ruang-ruang keluarga.

Televisi swasta nasional (RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, Metro TV, Global TV, Trans TV, Lativi, Trans7, dan ANTV) merupakan kekuatan yang bisa dikatakan paling dominan dalam industri media di Indonesia saat ini. 

Televisi bisa dibilang sebagai moda komunikasi massa yang dengan teknologinya mampu menghadirkan 'tamasya citra' bagi para penontonnya, di tengah-tengah problem akut yang dihadapi bangsa ini. 

Oleh karena televisi merupakan kekuatan kultural dominan yang mampu mendatangkan profit dari pemasangan iklan sehingga saat ini kita menyaksikan betapa stasiun-stasiun televisi swasta Indonesia saling berlomba untuk menciptakan program-program yang mampu membuat penonton "duduk manis" di depan layar kaca. 

Sayang sekali, sampai saat ini, sebagian besar televisi swasta lebih banyak menawarkan program-program hiburan alih-alih menggagas acara yang bisa memberikan informasi yang mencerahkan bagi masyarakat.

Orientasi keuntungan modal telah menjadi ideologi yang mendasari semua program dalam televisi. Dan itu wajar dalam kontkes industri budaya di mana semua menjadi sah atas nama keuntungan. 

Demi mencari keuntungan itulah para kreator industri televisi selalu berusaha membuka peluang-peluang dengan membuat program-program baru yang diasumsikan akan digemari oleh penonton. 

Atau sebaliknya, mereka mengambil realitas yang ada dalam masyarakat untuk dijadikan tayangan televisi sehingga masyarakat merasa kepentingannya diakomodir dalam siaran. Realitas di masyarakat bisa berupa agama, seni-budaya, maupun masalah-masalah sosial. Dengan kata lain, semua aspek kehidupan bisa menjadi komoditas yang cukup menjanjikan bagi penumpukan modal. 

Agama dalam industri media, misalnya, tidak bisa lagi dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar pribadi atau berhubungan dengan komunitas pemeluk tertentu, karena ia sudah menjadi komoditas baru yang bisa dinikmati oleh siapa saja. 

Lebih dari itu, agama bukan semata-mata menjadi nilai suci (terbebas dari campur tangan kekuatan-kekuatan di luar agama) karena dalam konteks media, agama sudah mengalami shooting, editing, producing, dan transmissing. 

Dengan kata lain nilai-niali keagamaan telah menjadi sumber kentungan baru bagi pemilik modal melalui praktik eksploitasi dan komodifikasi .

Dalam konteks itulah tulisan ini berawal. Tulisan ini berangkat dari asumsi bahwa nilai-nilai keagamaaan pada era 2000-an mengalami komodifikasi dalam media televisi. Adapun yang lokus kajian ini adalah bagaimana nilai-nilai keislaman dikomodifikasi oleh televisi sehingga sangat mungkin mengalami pergeseran-pergeseran orientasi dan nilai. 

Setelah mengalami komodifikasi, saya berasumsi bahwa akan muncul representasi baru wajah Islam dalam televisi. Oleh karena itu, tulisan ini memperlakukan tayangan bernuansa Islam di televisi sebagai teks yang mempunyai makna tertentu. Untuk itulah teori representasi akan digunakan sebagai kerangka analisis guna mendapatkan deskripsi makna- makna tersebut.

Representasi dalam kajian budaya bisa didefinisikan sebagai produksi makna/wacana melalui melalui bahasa, termasuk di dalamnya bahasa visual (Hall, 1997). Banyak rangkaian citra visual, dalam majalah maupun televisi, bisa memunculkan representasi ideologis tertentu. 

Teori representasi dengan demikan memperlakukan tayangan televisi sebagai teks visual yang mempunyai makna tertentu yang bisa ditemukan oleh seorang pengkaji. Makna bisa mengkonstruksi wacana dan pengetahuan yang cenderung mementingkan ideologi kelompok sosial tertentu. 

Dengan demikian, asumsi dasar dari tulisan ini menganggap bahwa dalam tayangan bernuansa Islami dalam televisi swasta nasional pada era 2000-an sebenarnya memunculkan wacana dan pengetahuan baru tentang Islam yang sangat mungkin menghasilkan implikasi-implikasi kultural dalam kehidupan masyarakat.

Memahami Komodifikasi dan Industri Budaya

Komodifikasi, standardisasi, dan massifikasi merupakan terminologi yang digunakan oleh para pemikir kritis Mazhab Frankfurt, terutama Theodor Adorno (1997) dalam menyoroti perkembangan industri budaya di Eropa dan Amerika. 

Industri budaya merupakan produk kultural yang dihasilkan oleh proses industri yang mengedepankan komodifikasi, massifikasi, dan standardisasi, sehingga masyarakat luas bisa menikmatinya dengan biaya relatif terjangkau. 

Komodifikasi dalam industri budaya bisa didefinisikan sebagai usaha dari pengelola media untuk menjadikan realitas sosial dan budaya dalam masyarakat sebagai komoditas dalam media. "Standardisasi" mengacu pada bentuk produk media yang serba seragam dan serupa satu sama lain, beda kulit sama isi. 

Sementara, massifikasi lebih merujuk pada produksi produk-produk media dalam jumlah yang cukup massif dan ditujukan bagi konsumen yang massif pula. Ujung dari semua itu adalah orientasi keuntungan.

Hirsch (1972) menggunakan istilah industri budaya untuk merujuk pada perusahaan-perusahaan yang mencari keuntungan dengan cara memproduksi produk budaya yang ditujukan untuk distribusi secara nasional (atau bahkan internasional). 

Industri budaya dengan demikian melibatkan sistem industri budaya yang di dalamnya terdapat keseluruhan organisasi yang terlibat dalam proses penyaringan produk-produk dan ide-ide baru yang berasal dari personel kreatif yang berada dalam level subsistem (Backer, 1982). 

Granham (1997) menjelaskan bahwa industri budaya merujuk pada institusi-institusi dalam masyarakat yang mengola moda khusus produksi dan organisasi korporasi guna memproduksi dan menyebarkan simbol-simbol dalam bentuk benda-benda dan jasa budaya sebagai satu komoditas.

Prinsip yang sangat penting dalam komodifikasi media adalah penciptaan citra yang dikonstruksi sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan seolah-olah nyata, bahkan melebihi realitas itu sendiri. Citra-citra inilah yang kemudian disebut hiperrealitas.

Komunikasi massa mutakhir lebih banyak menggunakan realitas citra ini unutk menggambarkan ciptaan fantasmis (phantasmic creation) yang terkesan "lebih nyata" dan "lebih otentik" dari yang nyata itu sendiri. Terkait hiperrealitas, Baudrillard (1988: 144-145) menjelaskan:

Realitas itu sendiri menemukan dirinya di dalam hiperrealisme, reduplikasi yang cukup detil dari yang nyata, yang lebih banyak ditemukan dalam medium lain, seperti fotografi. Dari medium ke medium, yang nyata menguap, menjadi alegori kematian. 

Namun, yang nyata juga terus di perkuat kembali, dalam makna, melalui kehancurannya sendiri. Yang nyata menjadi realitas demi dirinya sendiri, fetisisme objek yang hilang.....hiperriil.

Pernyataan Baudrillard tersebut menunjukkan bahwa di dalam media sebenarnya tidak terdapat "yang nyata" karena ia telah dihancurkan oleh realitas baru yang bernama hiperealitas, sebagai produk dari perkembangan teknologi komunikasi massa yang seolah-olah lebih detil dan lebih mempesona dibandingkan yang nyata. Produk media pada dasarnya tidak lebih dari realitas semu.

Mengkomodifikasi Keislaman 

Nilai-nilai agama Islam merupakan objek komodifikasi yang bisa dikatakan paling laris. Mengapa  demikian? Terdapat ada beberapa alasan kenapa nilai-nilai Islam menjadi komodifikasi yang cukup digemari oleh kalangan industri televisi. Islam adalah agama dengan pemeluk mayoritas di Indonesia. 

Dengan kata lain, umat Islam merupakan penonton televisi yang paling banyak dibandingkan para pemeluk agama lain. Mayoritas jumlah pemeluk dan penonton itulah yang kemudian menjadi asumsi bahwa tayangan-tayangan yang menyuguhkan simbol dan nilai Islam pasti akan menarik minat dari penonton untuk melihatnya sehingga lebih mudah untuk meyakinkan pemasang iklan. 

Konsekuensi dari komodifikasi keisalaman ini adalah umat disuguhi sebuah citra visual dari apa-apa yang mereka pahami dari para ahli agama, baik ustadz maupun kyai. 

Memang dalam komodifikasi tidak selalu mengubah sepenuhnya keislaman yang ada di masayrakat. Misalnya, agama Islam mensyaratkan adanya ketaatan untuk sholat, zakat, dan puasa. Dalam setiap acara siraman rohani1 yang disampaikan para ustadz di televisi bisa dikatakan tidak ada perubahan ajaran. 

Namun komodifikasi yang berlangsung di sini adalah ajaran-ajaran tersebut ditampilkan dalam bahasa yang gaul dan yang menyampaikan bukanlah ustadz atau kyai desa yang tampilannya jauh dari kesan modis. 

Sebenarnya penonton muslim hanya mendapatkan "sesuatu yang berulang" dari tayangan siraman rohani atau pengajian via televisi. Apa-apa yang disampaikan guru ngaji diulang oleh para ustadz di televisi tetapi para penonton disuguhi citra dari para ustadz yang ganteng, modis, dan parlente itu.

Beberapa ustadz muda, misalnya, dalam setiap acara pengajian di televisi swasta nasional dicitrakan dengan ustadz muda yang berwajah ramah, murah senyum, serta selalu menaburkan nilai-nilai humanis dalam praktik sosial dan ibadah Islam. Tidak lupa simbol-simbol formal Islam, seperti surban dan baju muslim yang modis melekat dalam setiap penampilannya. 

Mereka sangat pandai menyampaikan ceramah dengan retorika bahasa gaul. Tentu sangat berbeda dengan apa-apa yang diajarkan oleh para kyai di pesantren tradisional. 

Para penonton sebenarnya tidak banyak tahu latarbelakang para da'i muda di televisi dengan performa gaul, pakaian trendy (dari songkok, baju, hingga celana). Dalam tampilan di televisi swasta, biasanya menjelang adzan Maghrib, para selalu dicitrakan berada dalam sebuah taman, danau, atau gubug yang terasa menedukan.

Dalam konteks itulah sebenarnya telah berlangsung negosiasi yang sinergis antara media televisi dengan para ustadz dalam tayangan-tayangan siraman rohani yang mengkomodifikasi ajaran Islam. 

Realitas televisual ini bisa dibaca sebagai penegasan secara ajeg nilai keislaman dan cenderung mengulangi dalam televisi melalui tampilan-tampilan trendy dan modis para ustaz/ustazahnya. Tentu saja, popularitas tayangan mereka juga mengalirkan keuntungan finansial bagi para ustadz dan juga pihak stasiun televisi karena membanjirnya para pemasang iklan. 

Dampak lanjutnya adalah terciptanya representasi baru wajah tokoh dalam konteks media yang diwarnai gaya hidup glamor dan bernuansa kapitalistik.

Komodifikasi dalam format massif dan standard bagaimanapun juga akan menghasilkan satu tayangan yang terus menegaskan nilai keislaman bagi para penonton muslim, sehingga secara implisit para pelaku yang terlibat di dalamnya berusaha menjadikan keislaman sebagai tampilan hegemonik di media. Inilah karakter komodifikasi media dalam konteks industri budaya. 

Komodifikasi dalam industri budaya menurut Thompson (2006: 155) menghadirkan produk yang mengkonstruksi simbol yang dibentuk berdasarkan formula yang dibangun sebelumnya dan diisi dengan stereotip setting, karakter, dan tema tertentu. 

Produk industri budaya tidak berlawanan dengan norma sosial dominan yang ada, tetapi sebagai penegasan kembali norma itu dan mengecam tindakan dan perilaku yang dianggap menyimpang dari norma tersebut. 

Produk industri budaya menghadirkan dirinya sebagai refleksi langsung dan pengembangan terhadap realitas empiris, dan melalui pseudo-realisme produk-produk tersebut menormalisasikan status quo.

Merujuk pada logika di atas, disampaikannya nilai keislaman oleh para ustaz/ah modis bisa dibaca sabagai salah satu usaha negosiasi ‘kelompok-kelompok Islam sadar media’ terhadap kehidupan modern yang sudah semakin termediasi melalui citra-citra modis dewasa ini. 

Dengan usaha kreatif yang sebenarnya pseudo-realis tersebut ajaran-ajaran Islam tetap menjadi kekuatan hegemonik dalam kehidupan para pemeluknya yang semakin dipengaruhi kultur media sehingga mereka akan tetap taat dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan. 

Ketika siar oleh ustadz modis ini terus berlangsung maka sebenarnya umat digiring untuk menikmati "realitas semu" karena mereka diajak masuk ke dalam permainan komodifikasi yang menawarkan ajaran dan simbol agama yang sudah di-modis-kan, berupa tampilan-tampilan simulasi hiperealitas televisi.

Piliang (2004: 199-200), mengadopsi pemikiran Baudrillard, mengatakan bahwa penciptaan kebudayaan dewasa ini mengikuti model produksi simulasi, penciptaan model yang nyata, tetapi tanpa asal-usul atau realitas, hiperealitas. Melalui model simulasi manusia dijebak di dalam satu ruang yang disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya semu belaka. 

Dalam budaya simulasi, manusia mendiami satu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi atau yang benar dan yang palsu menjadi sangat tipis, manusia hidup di ruang khayali yang nyata. Televisi tampak sama nyatanya dengan pelajaran sejarah atau etika di sekolah, sebab ia sama-sama menawarkan informasi dan membentuk sikap dan gaya hidup. 

Memang, tampilan simulatif siraman ruhani atau tausiyah, di satu sisi tetap memberikan informasi tentang ajaran Islam yang berwajah humanis dengan gaya penyampaian yang sangat cair dan santun jauh dari unsur kekerasan sebagaimana banyak distereotipisasikan oleh televisi Amerika Serikat dan Eropa Barat. 

Di sisi lain, tausiyah dari para ustadz itu, yang kemudian juga diperluas melalui pengajian- pengajian ibu-ibu dan para profesional di kawasan elit metropolitan, cenderung menggiring umat pada relasi ideologis imajiner di mana mereka secara nirsadar melakukan proses identifikasi dengan subjek ustadz dan segala simbol yang dikenakannya, selain ajaran Islam yang cenderung formalistik.

Para audiens mengidentifikasi gaya tuturan para ustadz tentang Islam sebagai sesuatu yang dianggap sebagai sesuatu yang perlu didengarkan dan selanjutnya dipraktikkan. Termasuk dalam identifikasi ini adalah bagaimana mengenakan simbol-simbol pakaian Islam yang serba modis dan up to date, sebagai hasil kreasi dari butik-butik ternama. 

Bahkan di pasar-pasar tradisional model pakaian ustadz/ustadzah sangat muda dijumpai, tentu dengan harga yang lebih murah. Maka tidak mengherankan bahwa model baju muslim yang dikenakan para ustadz maupun ustadzah menjadi sangat populer di kalangan muslim/mah, terutama ketika lebaran tiba.

Realitas itulah yang kemudian menjadikan ajaran Islam sebagai gaya hidup. Televisi telah berhasil menjadi aparatus yang dengan beragam citra-citra simulatifnya berhasil menggiring para muslim/ah, terutama yang tinggal di perkotaan untuk mempraktikkannya. 

Dengan kata lain, Islam yang disiarkan dalam tayangan siraman rohani telah menciptakan satu pemahaman Islam sebagai gaya hidup umat yang cenderung memperkokoh ideologi kapitalis. 

Ideologi kapitalis ini bisa dibaca dari dua perspektif, yakni (1) perspektif stasiun televisi dan (2) perspektif para ustadz/ustadza dan juga perusahaan garmen atau butik yang memproduksi pakaian-pakaian muslim/muslimah yang modis. 

Dari perspektif pihak televisi, keuntungan kapitalnya sudah sangat jelas, yakni meningkatkan pendapatan dari pemasangan iklan. Dalam hal ini mereka berhasil mengkomodifikasi tradisi pengajian untuk mendapatkan keuntungan komersil sekaligus menawarkan gaya islami yang modis. 

Sementara dari pihak ustadz/ustadzah, mereka akan memperoleh keuntungan dari kontrak dengan pihak televisi serta dibanjirinya pengajian mereka oleh para jamaah yang menganggap kehadiran pada pengajian yang diasuh oleh para ustadz/ustadzah sebagai praktik gaya hidup Islami. 

Sementara bagi pihak garmen ataupun butik, jelas mereka akan memperoleh keuntungan melimpah dari trend pakaian muslim/muslimah yang dibeli oleh para jamaah pengajian dan para pemirsa televisi. 

Realitas di atas merupakan tanda kultural pertama dari apa yang disebut “Islam televisi” di mana televisi telah menjadi ‘penuntun’ bagi lahirnya praktik baru dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam. 

Sebagai sebuah praktik beragama yang sangat modern dan modis, Islam televisi ‘memberikan’ keluasaan untuk menjelajah ruang-ruang hedon kota asalkan tetap mau hadir dalam pengajian-pengajian dan tidak lupa mengenakan pakaian-pakaian muslim/muslimah dalam kesempatan ritual agama, semisal lebaran Idul Fitri. 

Islam televisi sebagai gaya hidup telah ‘mengembangkan’ dan ‘membudidayakan’ proses simbolik dan sosial citra dan nilai terhadap ajaran-ajaran permukaan dari Islam modis dan cenderung menjebak mereka dalam praktik-praktik model formalistik.

Ketika Siksaan dan Hidayah Menjadi Citra

Selain tayangan siraman rohani yang berperan mengkonstruksi pemahaman tentang Islam, tayangan berjenre "sinema reliji" juga turut memberikan pemahaman-pemahaman baru tentang ajaran Islam. 

Sinema reliji merupakan tayangan sejenis film televisi berdurasi 60 menit (sudah termasuk iklan) yang menceritakan orang-orang yang mendapatkan balasan dari Tuhan akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan di dunia ini. Tentu balasan di sini bisa baik atau buruk tergantung dengan perbuatan yang dilakukan. 

Beberapa tayangan yang berjenre sinema reliji antara lain: Sinema Hidayah (Trans TV), Kuasa Illahi, Rahmat Illahi, dan Kusebut Nama-Mu (TPI, dulunya ditayangkan RCTI), dan Pintu Hidayah dan Maha Kasih (RCTI).

Dalam setiap sinema reliji juga berlangsung komodifikasi yang cukup menarik untuk dikaji, yakni ketika ajaran Islam dijadikan ide cerita dari sebuah sinema di televisi. Wacana yang dihadirkan dalam sinema religi memiliki beberapa karakteristik. 

Pertama, bahwa Tuhan akan selalu memberikan balasan duniawi yang “kejam” kepada ummat-Nya yang berbuat kejam dan dzalim. Kedua, Tuhan akan memberikan hidayah kepada ummat-Nya yang tabah dalam menjalani setiap cobaan yang dihadapinya. 

Ketiga, Tuhan akan memberikan balasan yang “lumayan kejam” kepada ummat-Nya yang berbuat kejam untuk kemudian memberikan hidayah kepadanya. Sinema Hidayah dan Kuasa Illahi mewakili wacana pertama. Kusebut Nama-Mu merupakan representasi dari wacana kedua. Sementara, Pintu Hidayah adalah representasi dari wacana ketiga.

Masing-masing tayangan memiliki formula naratif dengan plot yang berbeda, meskipun memiliki banyak kemiripan. Untuk memperjelas bagaimana cerita dalam masing-masing tayangan dikonstruksikan oleh para kreatornya, berikut ini disajikan perbandingan dari masing-masing tayangan.

Sinema Hidayah dan Kuasa Ilahi. Di awal cerita tokoh antagonis digambarkan sebagai orang yang mempunyai tabiat yang kurang baik dalam kehidupan sosial. Ada tokoh yang terlalu kikir, sombong, maupun dzalim. Ada juga tokoh yang mencari pesugihan untuk mendapatkan kekayaan ataupun menjadi rentenir dan perbuatan-perbuatan non-agamis lainnya. 

Dikarenakan satu masalah, terjadi pertentangan dengan tokoh lain (protagonis) yang bisa saja berasal dari keluarga atau kerabat maupun tokoh-tokoh lain.Si antagonis melakukan perbuatan yang keji dan kejam kepada si protagonis. Karena perbuatannya itu, ia lalu mendapat balasan yang kejam pula dari Tuhan. 

Ia mati, dan sebelum dikubur mengalami kejadian-kejadian aneh, seperti tubuh dipenuhi   ulat, mayat terbakar, dll. Kejadian itu berakhir ketika si protagonis memohonkan ampun atas segala perbuatan yang dilakukan si antagonis sepanjang hidupnya.

Kusebut Nama-Mu dan Rahmat Illahi. Tokoh protagonis digambarkan sebagai orang yang hidupnya susah dan selalu menjadi bahan cemoohan tokoh-tokoh lain (antagonis). Karena ketabahannya, si protagonis mulai mendapatkan rejeki yang lumayan. Namun, si antagonis tidak suka melihat itu semua sehingga ia melakukan tindakan-tindakan yang merugikan si protagonis.

Si antagonis semakin menggila dalam meneror dan memfitnah si protagonis sehingga masyarakat terpengaruh.Namun si protagonis tetap tabah dan terus memanjatkan doa kepada Tuhan. Dan, kebenaran terbukti, si protagonis mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat dan ia mendapatkan rezeki berlimpah dari Tuhan. Ia memaafkan si antagonis.

Pintu Hidayah. Tokoh antagonis digambarkan sebagai orang-orang yang mempunyai tabiat yang kurang baik dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Ia mulai mengalami konflik dengan tokoh-tokoh lain di lingkungan sekitarnya. Ia melakukan perbuatan aniaya kepada mereka.

Ia mengalami musibah/kecelakaan yang tragis. Lalu, ia menyadari semua kesalahannya dan meminta maaf kepada orang-orang yang pernah disakitinya. Selanjutnya ia memohon ampunan kepada Tuhan.

Menilik model alur cerita dari masing-masing tayangan di atas, bisa dilihat adanya kemiripan atau bahkan kesamaan. Yang membedakan hanyalah bentuk balasan dari Tuhan kepada masing-masing tokoh antagonis. Tidak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan tampilan yang homogen merupakan karakteristik dari televisi swasta Indonesia ketika menjadi entitas komersial. 

Mengenai realitas tersebur, Sudibyo (2004: 62-63) menjelaskan bahwa para pengelola televisi kerepotan memenuhi tuntutan produksi ketika televisi telah menjadi entitas komersil. Mereka harus mempersiapkan banyak acara untuk mengisi jam siaran yang semakin hari semakin panjang. 

Padahal produktivitas industri-industri pendukung televisi (production house) belum bisa banyak diharapkan terutama karena keterbatasan SDM dan teknologi. Ssinetron, komedi, dan acara televisi lainnya sebenarnya “serupa tapi tak sama”. Judul boleh berbeda, aktor boleh berganti, namun format cerita, logika kisah, plot, penokohan, dan setting cerita sesungguhnya serupa

Tidak mengherankan ketika semua tayangan sinema reliji mempunyai kesamaan satu sama lain. Di samping keterbatasan SDM teknologi, keseragaman format acara tersebut juga dipengaruhi oleh trend tayangan yang sedang berkembang. Sinema reliji sebenarnya ditayangkan pertama kali oleh TPI dengan Kuasa Illahi-nya dan mendapatkan respons cukup baik dari para pemasang iklan. 

Trend positif itulah yang kemudian ditiru oleh stasiun-stasiun lainnya dengan harapan mereka juga akan mendapatkan ‘kue iklan’. Dengan kata lain, dari sisi ideologi kapitalis, penayangan sinema reliji merupakan alat dominasi dari pengelola industri televisi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menarik perhatian ummat Islam untuk menaikkan rating.

Dari sisi ideologi, alur cerita sinema reliji dan tampilan-tampilan visual yang cenderung bombastis, seperti dalam Kuasa Illahi dan Sinema Hidayah, telah menghadirkan pemahaman baru tentang ajaran Islam, terutama tentang balasan Tuhan kepada umat-Nya, yang sangat distortif sifatnya. 

Tuhan, misalnya, lebih sering digambarkan sebagai Dia yang berkehendak dan bertindak kejam kepada umat-Nya yang bersalah. Dia bisa mengutuk dan menyiksa si ummat yang berbuat dosa dengan peristiwa tragis hingga ia meninggal. Bahkan sebelum meninggal ia harus mengalami siksa yang memalukan bagi pihak keluarga berupa tubuh yang dipenuhi ulat atau belatung, misalnya. 

Ini adalah sebuah hiperrealitas yang terlalu distortif dan bombastis karena pada dasarnya siksaan seperti itusangat jarang terjadi di kehidupan nyata. Dan ironisnya, peristiwa seperti itu selalu mendapat legalitas dari para ustadz yang biasanya bertugas menutup cerita dengan nasehat Islami tentang adegan visual yang ditayangkan.

Dengan demikian, tayangan-tayangan sinema tersebut sebenarnya telah menghadirkan representasi pengetahuan baru tentang perilaku Islam yang serba ketat dan kejam sehingga setiap ummat harus sudah semestinya mau mengikutinya ketika ingin selamat, baik di dunia maupun di akhirat. 

Kalau tidak mengikutinya maka balasan Tuhan sangatlah kejam. Implikasi kultural dari pengetahuan ini adalah lahirnya pemahaman bahwa Islam itu sebuah agama yang hitam-putih dan kejam sehingga semua ummat harus tunduk dan sebisa mungkin menjalankan praktik-praktik hidup yang baik dan Islami.

Di samping pesan ideologis di atas, dari model alur cerita dalam Kusebut Nama-Mu, sinema reliji secara implisit menyampaikan betapa ketika seseorang ingin mendapatkan berkah dari Tuhan ia harus tabah dalam menjalani segala bentuk penderitaan di muka bumi. 

Seorang tukang bakso, misalnya, yang selalu menderita dan mendapatkan aniaya dari orang lain harus tetap sabar dan berdoa kepada Tuhan sehingga ia bisa mengalami sebuah peristiwa, semisal ditolong oleh orang kaya, yang bisa mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik, bahkan sampai naik haji. 

Pesan tersebut secara moralitas memang terkesan cukup bagus. Namun, tampilan yang hanya berdurasi sekitar 60 menit + commercial break ini terkesan terlalu menyederhanakan persoalan, jauh dari realitas kehidupan nyata. Bahwa memang banyak orang sukses yang berangkat dari bawah, namun seringkali mereka butuh waktu yang cukup lama untuk mewujudkannya. 

Dan, seringkali keberhasilan mereka bukan berasal dari orang kaya yang berperan sebagai Robbin Hood, tetapi karena memang mereka benar- benar berusaha dengan gigih. Bahkan, banyak pula orang yang tekun menjalankan ibadah dan berusaha tetapi belum juga mendapatkan rezeki berlimpah dari Tuhan.

Dari paparan di atas, jelas kiranya, bahwa tayangan sinema reliji dalam televisi-televisi swasta mengusung representasi pengetahuan tentang Islam yang dimaknai secara hitam-putih. Kehidupan digambarkan sebagai relasi yang harus dipenuhi dengan hukum-hukum illahiyah yang begitu kaku dan formal. 

Dengan kata lain, wajah Islam dan kehidupan yang islami yang digambarkan adalah Islam dan kehidupan yang begitu formal, kaku, atau seolah-olah sesuai dengan syariat.

Simpulan

Mungkin, inilah saatnya kita harus menyaksikan bagaimana Islam sebagai agama yang sangat luwes dan adaptif dengan semangat perubahan zaman dicitrakan dalam kontradiksi komodifikasi televisi. 

Di satu sisi, Islam adalah ajaran yang damai, harmonis, modis, sekaligus formalis. Islam dalam tayangan- tayangan siraman rohani, jelas-jelas membawa semangat kapitalistik dengan mengusung mode-mode pakaian trendy yang diidentikkan dengan simbol-simbol Islam yang formalis.

Para ustadz/ah dalam Islam televisi telah menjadi agen-agen kapitalis dengan ‘senyum imannya’ yang mampu membangkitkan relasi imajiner dari para penonton untuk meniru gaya berpakaian dan cara hidup seperti yang dilakukan para guru ngaji modis tersebut. Cermah merupakan pertunjukan yang bisa dimainkan setiap saat tergantung pesanan dan honor yang mereka terima. 

Semua yang mereka omongkan memang belum tentu dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sebaliknya, komodifikasi keilsaman dalam televisi adalah menghadirkan wajah Islam yang kapitalistik karena motivasi ekonomi dari para penceramah.

Di sisi lain, tayangan islami melalui sinema reliji adalah juga tampak sangat kejam karena Tuhan memberikan hukuman akan kejahatan seseorang dengan sangat vulgar dan mengerikan. Tentu ini secara ideologis bisa menjadi pesan yang bisa membuat orang takut dan selalu patuh dalam menjalankan ajaran agama. 

Dengan demikian bisa diasumsikan bahwa seseorang menjalankan agama semata-mata karena takut akan balasan kejam Tuhan, bukan karena keyakinan akan Tuhan itu sendiri. Atau mungkin Tuhan, memang hanya dijadikan simbol bagi kepentingan-kepentingan duniawi kelompok-kelompok yang menggunakan televisi sebagai media untuk meraih keuntungan ideologis maupun finansial.

Citra dan cerita keislaman yang disuguhkan dalam tayangan televisi era 2000-an adalah konstruksi yang sengaja dihadirkan sebagai pengetahuan yang diharapkan untuk diikuti oleh umat. Namun, semuanya kembali ke umat, apakah mereka akan menerima atau menolak citra dan cerita tersebut. 

Daftar Bacaan 

Adorno, Theodor. 1997. "Culture Industry Reconsidererd." alam James Curran & Michael Gurevitch (ed). Mass Media and Society. London: Edward Arnold.

Backer, Howard. S. 1982. Art World. Barkeley: University of California Press.

Baudrillard, Jean .1988. Jean Baudrillard, Selected Writing (ed. Mark Poster). Stanford: Stanford University Press.

Hall, Stuart. 1997. “Work of Representation.” Dalam Stuart Hall (ed). 1997. Representation, Cultural Representations and Signifying Practice. London: Sage Publication in assosiation with The Open University Press.

Kellner, Douglas. 2004. "Media and Social Problem." https://www.semanticscholar.org/paper/The-Media-and-Social-Problems-Kellner/52dd650f073cd9090cb53d0256ac827892c7b04d

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yograkarta: Penerbit Jalasutra.

Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS bekerjasama dengan ISAI.

Thompson, John B. .2006. Kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa (alih bahasa Haggul Yaqin). Yogyakarta: Penerbit: Ircisod.

Turow, Joseph. 1991. “A Mass Communication Perspective on Entertainment Industries.” Dalam James Curran & Michael Gurevitch (ed). Mass Media and Society. London: Edward Arnold.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun