Pembacaan-ulang di atas, paling tidak, menunjukkan bahwa pascakolonialisme sebagai sebuah kajian perlu dibaca secara kritis agar bisa merekonsepstualisasi dan memodifikasi kerangka berpikir dan analisis yang selama ini berkembang dalam kajian pascakolonial berbasis objek naratif, Â seperti karya sastra, film, dan yang lain.
Argumen saya, modernitas akan tetap menjadi makna-makna ideologis dominan yang secara wajar dinormalisasikan dalam peristiwa-peristiwa naratif yang juga menghadirkan budaya lokal dalam struktur dunia naratif/ sastra maupun media.Â
Selain sebagai kekuatan subversif yang menunjukkan ketidakutuhan kuasa, kehadiran budaya lokal dalam struktur dunia naratif bisa saja menjadi peristiwa-peristiwa yang merepresentasikan makna-makna ideologis baru sesuai alur pikir modernitas untuk mendukung mekanisme pasar.Â
Artinya, cara baca dekonstruktif saya gunakan untuk melihat posisi budaya lokal dalam struktur dunia naratif yang cenderung mengikuti atau mendukung hasrat-hasrat subjek diskursif untuk menikmati modernitas.Â
Kalaupun budaya lokal tampak mengekang, representasi tersebut merupakan stereotipisasi yang menunjukkan kekakuan mereka dalam menghadapi endapan-endapan ideologis dalam benak subjek diskursif yang tetap mendamba budaya modern.Â
Dengan kerangka konseptual tersebut, pembacaan secara detil terhadap struktur dunia naratif sangat dibutuhkan, utamanya terkait persoalan bagaimana "yang modern/Barat", "yang lokal/yang tradisional", "yang komunal", dan "yang individual" Â direpresentasikan dalam narasi.Â
Kehadiran "yang modern" dan "yang tradisional" tentu dikonstruksi melalui peristiwa-peristiwa naratif yang kompleks, tidak semata-mata menunjukkan bahwa ini "yang modern" dan itu yang tradisional.Â
Bisa saja mereka ditampilkan dalam cerita cinta anak muda, konflik dalam keluarga, dinamika dunia anak-anak, seramnya jagat hantu, liarnya hasrat seksual, maupun cerita terkait permasalahan agama dalam setting kontemporer.Â
Peristiwa-peristwa naratif yang berlangsung harus dibaca terlebih dahulu sebagai struktur (perspektif strukturalisme) untuk membuka dan memahami secara kritis makna-makna ideologis yang berjalin-kelindan dengan formasi diskursif dalam kehidupan nyata (Barthes, 1989, 1977; Allen, 2003; Edgar & Sedgwick, 2002).Â
Peristiwa-peristiwa tersebut tentu memiliki makna-makna ideologis yang berbeda, sekecil apapun. Perbedaan ini menjadikan mereka berhubungan satu sama lain dalam alur cerita yang logis.Â