Bahkan, nasionalisme anti-kolonial yang diharapkan mampu menyembuhkan luka kolonialisme melalui partisipasi penuh dan sejajar warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ternyata memunculkan kembali sistem dan praktik kolonial berupa penindasan melalui mesin birokrasi yang mentransfer model penjajah (Leela Gandhi, 1998: 111 & 118-119).Â
Nasionalisme pascakolonial yang semestinya bisa menjadi ideologi kolektif untuk membuat bangsa semakin berdaya, nyatanya, kembali terdominasi oleh pemikiran dan praktik yang mengulangi wacana kolonial, karena kekurangsiapan elit politik untuk memformulasikan strategi yang mampu mengakomodasi kompleksitas permasalahan dalam masyarakat (Chatterjee 1993: 41-51).
Pengaruh ideologis Barat dan modernisme tentu sangat sulit dihilangkan, karena sudah menguasai pikiran masyarakat pascakolonial. Di tengah-tengah kemerdekaan secara administratif-politis, mereka tetap berada dalam kuasa kultural Barat yang mewujud sebagai impian untuk merasakan modernitas.Â
Akibatnya, kampanye untuk memperkuat kesadaran dan budaya nasional oleh elit-elit politik tidak mampu memperkuat subjektivitas pascakolonial yang lebih berdaya dan mandiri (Fanon, 1963: 148-149 & 233), sangat sulit terwujud karena keutamaan modernisme menyebar dalam berbagai macam formasi diskursif.
Tidak hanya menyebar melalui kurikulum pendidikan, tetapi juga sistem pertanian, industri budaya, maupun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga membatasi pemahaman dan visi subjek pascakolonial dalam arahan modernitas (Venn, 2000: 49).Â
Keinginan untuk meniru dan menjadi Barat (oksidentalisme) semakin menguat dalam diri masyarakat pascakolonial ketika representasi-representasi yang ada dalam media dan produk industri budaya lebih banyak memobilisasi makna-makna ideologis modernitas.Â
Dalam kuasa pengetahuan modern itulah masyarakat pascakolonial terus bermimpi untuk merasakan proyek-proyek modernitas (Canclini (1995: 12-13), seperti ekspansi terhadap kekayaan alam (untuk kepentingan produksi, sirkulasi, dan konsumsi), renovasi dalam aspek pengetahuan dan kapitalisme, dan demokratisasi.
Semua itu menjanjikan beragam wacana dan praktik perbaikan serta pencerahan bagi kemajuan setiap manusia dan bangsa melalui, seperti yang dijanjikan proyek Abad Pencerahan (Venn, 2006: 55). Â
Namun, kuasa peradaban Barat tidak berarti bisa menundukkan sepenuhnya masyarakat pascakolonial. Bagaimanapun juga, mereka adalah subjek-subjek yang masih terikat oleh lokalitas masing-masing. Idealnya mereka masih bisa dan mampu menyiasati kuatnya pengaruh kolonialisme dalam aspek modernitas kultural.Â
Keyakinan terhadap kemampuan bersiasat itulah yang mendorong Bhabha memunculkan beberapa konsep seperti mimiki, pengejekan, ambivalensi, keberantaraan, dan hibriditas yang dirangkum dalam bukunya The Location of Culture (1994).Â
Bhabha (1994: 82) menjelaskan bahwa subjek kolonial/pascakolonial mengalami ambivalensi kultural, mencintai sekaligus membenci budaya kolonial, sehingga mereka bisa melakukan peniruan secara selektif (mimicry) sekaligus pengejekan (mockery) terhadap budaya kolonial karena menghasilkan kegandaan kultural (meniru tetapi tidak sepenuhnya dan tidak diam) yang mengganggu dan menyebabkan ketidakmapanan kuasa kolonial.Â