Wollacott (1997: 176-177) menjelaskan bahwa area fiksi dan budaya pop secara umum bekerja untuk merubah dan mengamankan posisi subjek dengan konsen aktif dari pembaca dan penonton, sehingga membentuk area krusial dari negosiasi konsen.Â
Artikulasi ideologi dominan dalam budaya bergenre pop akan memperluas hegemoni ideologis. Karya fiksi dan genre-genre khusus menjadi populer karena mengartikulasikan, bekerja, dan berusaha menyelesaikan ketegangan-ketegangan ideologis kontemporer.Â
Dalam film western, film fiksi ilmiah, horor, maupun gangster yang sangat populer, juga beroperasi proses ideologis untuk meneguhkan kepentingan kelas kuasa dalam kehidupan sosial-politik.Â
Film ber-genre lebih memproduksi kepuasan ketimbang tindakan terhadap konflik-konflik yang ada dalam masyarakat, sehingga apa-apa yang direpresentasikan lebih mengarah pada solusi-solusi absurd yang tetap saja memenangkan status quo (Hess 2003).Â
Pun demikian, dalam film yang menggunakan teknik-teknik realis, baik dalam narasi maupun teknik audio-visualnya (seperti melodrama), apabila dicermati dengan seksama, cenderung lebih dekat dengan kuasa ideologis karena lebih mudah dalam mengarahkan pemahaman penonton ke dalam wacana dominan.
Film, dengan demikian, tidak bisa semata-mata dilihat sebagai entitas komodifikasi peristiwa kehidupan demi memenuhi tujuan komersial para pemilik modal.Â
Film dengan beragam genrenya yang selalu bertransformasi dari waktu ke waktu merupakan produk representasi wacana yang selalu berusaha menawarkan makna yang membawa kepentingan-kepentingan kuasa dalam masyarakat.Â
Untuk membicarakan representasi perempuan dalam film, sebuah kajian tidak bisa membuat generalisasi tanpa memperhatikan periode-periode partikular yang sangat memungkinkan ditemukannya perbedaan representasi.Â
Titik-tekan kepada periode-periode partikular akan berimplikasi kepada dinamika wacana ideologis dalam struktur dunia naratif film yang berjalin-kelindan dengan formasi diskursif dalam masyarakat. Sangat mungkin pada sebuah periode tertentu, perempuan dicitrakan dalam representasi stereotip berkenaan dengan peran-peran domestik, karena kuasa patriarki masih kuat.Â
Pada periode lain, di mana sudah muncul pengaruh wacana feminisme, misalnya, bisa jadi perempuan direpresentasikan dalam konteks resistensi, baik melalui tubuh yang dimilikinya ataupun melalui peran-peran emansipatoris yang dijalaninya.Â
Meskipun demikian, sangat mungkin pula akan muncul kesadaran berbasis kesetaraan gender yang mewacanakan keberimbangan peran dalam relasi yang bersifat negosiatif antara perempuan dan laki-laki.Â