Perdebatan tidak lagi berada pada ranah sosiologis tentang domestikisasi perempuan, melainkan pada bagaimana film memproduksi tubuh perempuan dalam karya sinematiknya.Â
Catatan Penutup
Dalam perspektif hegemoni, perempuan dalam film memang mendapatkan kesempatan untuk hadir dalam narasi. Mereka direpresentasikan dalam bermacam sosok dengan wacana yang melekat. Salah satu ujuan dari artikulasi perempuan dalam film adalah untuk menunjukkan bahwa industri budaya memberikan kesempatan kepada figur perempuan agar bisa berpartisipasi.Â
Meskipun demikian, konstruksi wacana melalui narasi yang menghadirkan perempuan juga tidak pernah lepas dari kepentingan ideologis dan relasi kuasa. Penempatan tokoh perempuan dalam ranah domestik, misalnya, mengkonstruksi gagasan bahwa posisi ideal perempuan adalah memaksimalkan kerja-kerja rumah tangga.Â
Tentu saja, ini berkorelasi dengan hegemoni laki-laki yang selalu memainkan peran dalam ranah publik. Artinya, representasi perempuan yang berhubungan dengan kerja-kerja domestik dalam narasi juga berkelindan dengan praktikd dan wacana dalam masyarakat terkait masih kuatnya superioritas laki-laki, meskipun feminisme sudah berkembang.Â
Demikian pula dengan representasi tubuh perempuan seksi dan sensual dalam film sangat memanjakan pandanan seksual para lelaki, baik yang bermain maupun yang menonton film. Tubuh perempuan diposisikan sebagai objek yang memuaskan hasrat lelaki, sebagaimana berlangsung terus-menerus sampai saat ini dalam kehidupan nyata.Â
Dengan demikian, apapun representasi perempuan dalam narasi film merupakan bagian dari formasi wacana dan praktik sosio-kultural yang berlangsung dalam masyarakat. Ketika wacana yang dikonstruksi dalam film menjadi bagian dari wacana dan praktik dominan dalam mayasarakat, maka itu semua ikut mendukung relasi kuasa yang menguntungkan kelompok atau kelas tertentu.
Kelas atau kelompok dominan akan menggunakan wacana dan praktik yang menguntungkan keberadaan dan kekuasaan mereka di masyarakat yang beragam. Maka, ketika para sineas mendukung wacana kelompok dominan melalui beragam narasi dan representasi, itu semua menguntungkan kelompok dominan untuk menyebarluaskan ideologi dan kuasa mereka.Â
Itulah mengapa dalam membaca posisi tokoh perempuan dalam narasi film, kita tidak boleh hanya terjebak kepada paras cantik ataupun sensualitas tubuh. Lebih dari itu, kita bisa menelaah secara kritis terkait representasi perempuan dengan konteks sosio-kultural serta kepentingan kuasa apa yang menyertainya.
Daftar Bacaan
Althusser, Louis. 1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press.