Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca-ulang Patriarki dalam Masyarakat

28 Januari 2023   14:38 Diperbarui: 28 Januari 2023   16:38 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buruh perempuan berparade di New York (1909, George Grantham Bain). Sumber: Wikimedia Commons

Akar dari ketidaksamaan dan ketidakadilan gender dalam masyarakat oleh banyak pemikir feminis Barat dikatakan berasal dari terlalu kuatnya sistem patriarki yang berlangsung dalam masyarakat. Sistem tersebut mewujud dalam struktur sosial yang begitu kuat pengaruhnya dalam masyarakat. 

Istilah patriarki sendiri mudah sekali diucapkan dan digunakan. Namun, bisa jadi banyak dari kita yang belum memahami sepenuhnya betapa patriarki memiliki kompleksitas dalam definisi maupun bentuk dan pengaruhnya dalam kehidupan perempuan, lelaki, dan masayrakat secara luas. 

Secara etimologis patriarki berasal dari bahasa Yunani patér, dengan bentuk genitif patris, dengan akar kata patr- yang bermakna “bapak” dan arché yang bermakna “tua,” “awal”, atau secara metaforis, “aturan.”  

Patriarki merujuk pada harapan kultural bahwa seorang bapak mempunyai tanggung jawab utama terhadap kesejahteraan keluarganya (pada masa kebudayaan kuno, termasuk mengatur budak dalam keluarga). 

Patriarki kemudian digunakan dalam konteks yang lebih luas, yakni merujuk pada masyarakat yang di mana kaum laki-laki memegang tanggung jawab untuk mesejahterakan komunitasnya secara menyeluruh sehingga mereka juga memegang tugas-tugas yang berkaitan dengan urusan publik

Dalam perkembangan wacana akademis, terdapat beberapa pemikir sosial yang memberikan pengertian konseptual tentang patriarki. Max Meber, sebagaimana dikutip Walby (1989), misalnya, mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem pemerintahan dimana kaum lelaki mengatur dan mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala. 

Claudia von Werlhof (2004) menguraikan bahwa awal munculnya patriarki berasal dari “tradisi perang” di mana eksistensi kaum lelaki dianggap tergantung sepenuhnya pada keberlangsungan dan kesinambungan perang yang memposisikan kaum laki-laki sebagai kelas dominan karena kekuatan fisiknya. 

Dutch Men of War in the West Indie (1684,Bonaventura Peeters). Sumber: Wikimedia Commons
Dutch Men of War in the West Indie (1684,Bonaventura Peeters). Sumber: Wikimedia Commons

Perang juga mengakibatkan hancurnya sistem matriarki dalam masyarakat pra-perang. Dengan demikian logika patriarki merupakan logika perang yang berarti bahwa semua institusi sosial yang ditemukan dan diciptakan oleh patriarki secara prinsipil berasal dari pengalaman perang, baik dalam perosalan ekonomi, sosial-politik, maupun ketuhanan

Patriarki menciptakan sistem politik berdasarkan penemuan konsep negara yang mengesahkan berlangsungnya dominasi kaum laki-laki bersenjata/militer untuk menaklukkan masyarakat lain dan dominasi laki-laki terhadap perempuan karena perempuan merupakan pusat dari masyarakat pra-patriarki dan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan prinsip egaliteran. 

Patriarki menciptakan ekonomi berdasarkan pada penemuan barang pampasan perang, yang kemudian disebut “kekayaan privat” (privare=merampok/merampas). Selain itu, sistem ekonomi juga didasarkan pada eksploitasi sistemtik terhadap masyarakat yang ditaklukkan, terutama kaum perempuan, karena mereka mempunyai kontrol terhadap alat produksi dan menjadi produsen, distributor. 

Kaum lelaki diposisikan sebagai pemberi kesejahteraan yang bernama kehidupan, makanan, keamanan, dan bertanggung jawab bagi terciptanya integrasi dalam komunitas. 

Patriarki menciptakan masyarakat yang dipecah-pecah ke dalam kelas sosial, ras, generasi, dan jenis kelamin yang berarti bahwa sejak saat itu, utamanya, perempuan dianggap secara alamiah takluk kepada laki-laki sehingga tidak bisa lagi memunculkan masyarakat matriarkal. 

Patriarki menciptakan “God-Father” atau “agama ciptaan laki-laki” berlandaskan peperangan besar, perampasan, keperkasaan, ataupun kehebatan laki-laki yang dianggap mampu dan sah untuk memberikan dan mengendalikan kehidupan. Dengan demikian menggantikan the Great Mother atau Dewi dengan ide dan ideologi Tuhan esa yang mutlak, kejam, dan pencemburu.

Patriarki menciptakan teknologi berlandaskan pada prinsip “perang sebagai bapak dari segalanya,” dengan cara mentransformasikan teknik dan filsafat pre-patriarkal ke dalam bentuk patriarkal. 

Sejak saat itu laki-laki secara sistematis berusaha menggunakan pengetahuan perempuan tentang kehidupan dan alam semesta untuk menyesuaikan dan merusaknya sebagai alat kontrol kehidupan dan alam. Lalu pada akhirnya mereka berusaha menggantikan kehidupan, perempuan, dan alam semesta dengan “kemajuan teknologi”, sebuah proyek bernama "penciptaan kedua." 

Sementara pandangan kritis terhadap patriarki juga muncul dari para pemikir yang masuk dalam kategori kelompok analisis sistem ganda. Kelompok pemikir ini mempunyai asumsi dasar bahwa patriarki ‘berjalan bersama’ dengan kapitalisme. Teori sistem ganda yang sudah mapan menganggap artikulasi patriarki dan kapitalisme dalam beragam cara. Terdapat beberapa argumen tentang hal itu. 

Pertama, sistem ganda menganggap bahwa patriarki dan kapitalisme memiliki kesalinghubungan yang sangat dekat dan bersifat simbiotik. Ia menambahkan bahwa patriarki menyediakan sistem kontrol, hukum, dan aturan, sementara kapitalisme menyediakan sistem ekonomi, dalam memenuhi keuntungan. 

Buruh perempuan berparade di New York (1909, George Grantham Bain). Sumber: Wikimedia Commons
Buruh perempuan berparade di New York (1909, George Grantham Bain). Sumber: Wikimedia Commons

Sistem yang ada dalam kuasa patriarki dianggap memberikan kontribusi besar bagi penindasan dan eksploitasi kaum perempuan oleh laki-laki di dalam lingkungan pekerjaan ber-upah. 

Kedua, praktik patriarki didukung oleh dua level pengendalian, yakni level ekonomi (diatur oleh relasi- relasi kapitalis) dan level ketidaksadaran (diatur hukum patriarki yang berlangsung ranah keluarga).

Sementara, Walby (1989) memberikan definisi patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktik di mana laki-laki mendominasi, menekan, dan mengeksploitisir perempuan. 

Penggunaan istilah strutktur sosial menjadi penting karena mengimplikasikan penolakan determenisme biologis dan dalil yang mengatakan bahwa bahwa setiap laki-laki individual selalu berada dalam posisi dominan dan perempuan suborninat. Dengan kata lain, Walby sebenarnya ingin menunjukkan bahwa gender bukanlah persoalan biologis, tetapi sangatlah sosiologis. 

Gender bukanlah sebuah pembagian yang dipaksakan oleh kelas dominan, dalam hal ini laki-laki, tetapi ia telah menjadi sesuatu yang beroperasi melampaui resistensi dan menjadi konsensus yang sangat alamiah di mana banyak kaum perempuan yang tidak menyadarinya.

Dari paparan di atas patriarki bisa didefinisikan sebagai sistem dan struktur sosial dalam masyarakat yang sudah berlangsung dalam rentang historis yang cukup lama dan bertransformasi secara kontinyu di mana kaum laki- laki mempunyai posisi dominan. 

Dengan posisi tersebut mereka melakukan eksploitasi terhadap perempuan yang mewujud dalam praktik sosial, ekonomi, politik, maupun budaya, baik dalam ruang privat maupun publik.

Struktur Patriarkal

Dengan mendasarkan pada kajian struktur sosial, Walby (1989) memetakan enam struktur patriarkal yang membentuk sistem patriarki sebagai salah satu kajian alternatif terhadap relasi kuasa patriarki dalam kehidupan sosial. 

Keenam struktur tersebut adalah (i) moda patriarkal produksi di mana buruh perempuan dikendalikan oleh suaminya, (ii) relasi patriarkal dalam pekerjaan ber-upah, (iii) negara patriarkal, (iv) kekerasan laki-laki, (v) relasi patriarkal dalam seksualitas, dan (vi) budaya patriarkal. 

Keenam struktur tersebut yang berasal dari kajian teoretis dan empiris yang merepresentasikan konstelasi yang paling signifikan dalam relasi sosial yang membentuk relasi gender. Dengan kata lain, keenam struktur tersebut bisa dengan tepat digunakan untuk mengungkap bentuk beragam penindasan perempuan dalam periode dan tempat yang dikaji. 

Moda patriarkal produksi. Moda patriarkal produksi merupakan satu dari dua struktur patriarkal yang berlangsung pada level ekonomi. Buruh perempuan dikendalikan oleh suami mereka dalam ikatan pernikahan dan hubungan rumah tangga. Bentuknya yang sangat mendasar adalah relasi produksi di mana di dalamnya kerja "dipertontonkan." 

Buruh perempuan di Nebraska AS (1944). Sumber: Wikimedia Commons
Buruh perempuan di Nebraska AS (1944). Sumber: Wikimedia Commons
Kerja yang dilakukan oleh perempuan bisa disusun mulai dari memasak dan mencuci untuk suami serta menjaga anak-anak. Perempuan sebagai istri melakukan pekerjaan tersebut untuk suaminya (dan dalam lingkungan tertentu, sebagai anak perempuan untuk ayahnya). 

Si istri tidak memperoleh upah dari pekerjaan tersebut karena itu semua merupakan konsekuensi dari ikatan pernikahan. Suami bisa mengendalikan buruh istri karena memiliki kekuatan buruh tersebut, sedangkan istri hanya menghasilkan tenaga. Si suami bisa saja menjual tenaga si istri karena itu memang miliknya. 

Ada tiga tahapan teoretis dari klaim tersebut. Pertama, bahwa pembagian domestik kerja merupakan bentuk utama dari perbedaan laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa pembagian tersebut mempunyai pengaruh signifikan terhadap aspek lain dari relasi sosial. Ketiga, bahwa dengan sendirinya itu semua merupakan bentuk ketidaksamaan yang cukup signifikan. 

Kajian terkait anggaran waktu dan kajian lain tentang pembagian domestik kerja menunjukkan jumlah yang tidak sama dari kerja rumah tangga dan bahkan waktu kerja keseluruhan yang dilakukan oleh pasangan suami istri. 

Sementara, kajian lain tentang pembagian yang tidak sama dari sumberdaya rumah tangga menunjukkan bahwa perempuan memiliki lebih sedikit pembagian dalam konsumsi terhadap barang-barang rumah tangga ketimbang laki-laki, dari makanan hingga hiburan untuk waktu luang.

Pembagian kerja merupakan aspek penting dalam relasi patriarkal dalam keluarga. Pembagian yang tidak adil bagi perempuan ini merupakan bagian dari formasi dan praktik yang berlangsung terus-menerus dan pada akhirnya semakin memapankan posisi laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mengenai realitas tersebut Cyba (2005) menjelaskan:

Aspek sentral lain dari ketidaksamaan gender berkaitan erat dengan peran dalam rumah tangga atau keluarga. Lepas dari posisi pekerjaannya (ber-upah, pen), perempuan lebih banyak betanggung jawab terhadap keluarga dibandingkan laki- laki. Pembagian kerja dalam keluarga menjadikan perempuan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. 

Meski terdapat perbedaan antarnegara, peran perempuan untuk merawat anak masih saja menjadi objek bagi “pengesahan ideologis” bagi ketidaksamaan gender. Merawat anak bukanlah satu- satunya aspek dari relasi atau peran diskriminastif dalam kehidupan privat. 

Pekerjaan rumah sehari-hari bagi anggota keluarga, dan ketika dikombinasikan dengan partisipasi dalam pekerjaan berupah, mengarah pada jumlah menyeluruh waktu kerja yang tidak bisa dikomparasikan dengan anggaran waktu bagi laki-laki. 

Posisi yang tidak mengenakkan dalam pekerjaan (berupah) dan kehidupan keluarga yang diskriminatif, pada akhirnya berkaitan erat dengan situasi yang tidak menguntungkan bagi perempuan dalam ruang kehidupan lainnya, yakni kurangnya akses terhadap aktivitas luang dan partisipasi dalam kehidupan publik.

Keluarga, dengan demikian, telah menjadi 'negara kecil’ dengan seperangkat aturan yang merugikan kepentingan perempuan. Keluarga secara ajeg menjadi alat kuasa patriarkal dan menjelma sebagai aparat diskursif di mana suami sebagai kepala keluarga menjadi pemimpin yang menjadi representasi kepentingan masyarakat dan negara patriarkal. 

Painting of Three Women (François Lafon). Sumber: Wikimedia Commons
Painting of Three Women (François Lafon). Sumber: Wikimedia Commons

Kate Millet (1969), dengan agak provokatif menjelaskan bahwa institusi utama patriarki adalah keluarga yang merupakan cermin dari dan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas; unit patriarkal di dalam keseluruhan patriarkal. Sebagai instrumen fundamental dari unit dasar masyarakat patriarkal, keluarga dan perannya bersifat prototip. 

Dalam pemahaman demikian, sebagai agen dari masyarakat yang lebih luas, keluarga tidak hanya meyakinkan anggota-anggotanya untuk menyesuaikan diri, tapi juga betindak sebagai unit dalam pemerintahan negara patriarkal yang mengatur warganya melalui kepala keluarga masing-masing. 

Bahkan, dalam masyarakat patriarkal di mana perempuan termasuk warga negara yang sah, mereka cenderung dikendalikan melalui ‘kesunyian’ dalam keluarga dan hanya mempunyai sedikit hubungan formal dengan negara. Mayoritas hubungan dengan sistem negara sudah diwakili oleh para lelaki. 

Lebih jauh Millet menjelaskan bahwa kontribusi utama keluarga terhadap berlangsungnya struktur patriarki adalah sosialisasi kepada anak-anak (umumnya melalui contoh dan perintah dari orang tua mereka) tentang kewajaran keutamaan laki-laki terutama tentang kategori peran, temperamen, dan sifat. 

Sosialisasi itu kemudian menjadi pemahaman yang seragam dan diperkuat melalui kelompok, sekolah, media, dan tempat belajar lainnya, baik formal maupun informal. 

Mungkin ada sanggahan tentang adanya keseimbangan kekuasaan antara personalitas dari bermacam rumah tangga. Apa yang mesti diingat keseluruhan nilai dan bentuk budaya mendukung kekuasaan laki-laki dalam segala medan kehidupan di luar rumah.

Relasi patriarkal dalam pekerjaan ber-upah. Kunci utama relasi patriarkal dalam pekerjaan ber-upah adalah penutupan akses oleh laki-laki bagi perempuan. Hal itu melibatkan dijauhkannya perempuan dari pekerjaan ber-upah atau pemisahan kerja-kerja perempuan di dalamnya. 

  Women in steel work (1914). Sumber: UBC Library/Wikimedia Commons
  Women in steel work (1914). Sumber: UBC Library/Wikimedia Commons

Kondisi itu menyebabkan penurunan nilai kerja perempuan dan upah rendah bagi mereka. Ini menjadi fakta sosial dengan dampak  nyata, tidak hanya bagi perempuan di lingkungan kerja, tetapi juga di wilayah lain termasuk ruang domestik serta aspek lain dalam relasi gender. Laki-laki, sebagai the excluder dan devaluer, sedangkan perempuan adalah the excluded dan devalued. 

Dalam masyarakat kapitalis-industrialis, aspek konkrit dari relasi patriarkal adalah pembagian pekerjaan. Pembagian pekerjaan mempunyai beberapa bentuk baik secara vertikal dan horisontal dan antara full-time dan part-time. 

Dalam level hirarki vertikal dan horisontal, misalnya, perempuan seringkali dikategorikan sebagai "subjek yang kurang mempunyai skill" dibandingkan laki-laki. Pembedaan antara kerja full-time dan part-time membuat perbedaan jumlah perlindungan legal yang diberikan kepada para pekerja perempuan. 

Secara reflektif Martin (1998) memaparkan bahwa sistem kapitalis memanfaatkan ketidaksamaan seksual untuk memperkuat kontrol kapitalis, alih-alih mempromosikan kesamaan seksual melalui pasar. 

Pembagian gender buruh bisa jadi memperlambat keseluruhan produktivitas ekonomi, namun juga bisa mengesahkan kekuatan kerja untuk dibagi/dibedakan. Loyalitas laki-laki terhadap pimpinan diperkuat dengan keuntungan struktural dari hadirnya perempuan. 

Negara patriarkal. Negara merupakan struktur patriarkal yang lain. Pengaruhnya terhadap relasi gender berasal melainkan dari asal-usul patriarkal negara itu sendiri. Perempuan dijauhkan dari akses terhadap sumberdaya dan kekuasaan negara sebagai bagian sistem patriarkal. 

Hal itu hanyalah sebagian dari kejadian dijauhkannya perempuan dari kehadiran langsung dalam negara, dan juga, lebih lebih signifikan, merupakan akibat dari kurangnya kekuatan dalam kekuatan politik yang tergenderkan. Pembatasan partisipasi politik perempuan di banyak negara Eropa sebelum berkembang pesatnya demokrasi dan feminisme merupakan salah satu butki. 

Relasi patriarkal negara menyebabkan bermacam dampak serius dalam relasi gender, seperti banyaknya kebijakan dan aturan menempatkan perempuan sebagai kelas kedua. 

Winston Churchill during the General Election Campaign in 1935. Sumber: Wikimedia Commons
Winston Churchill during the General Election Campaign in 1935. Sumber: Wikimedia Commons

Kekerasan laki-laki. Berlangsungnya kekerasan laki-laki seringkali dianggap sebagai fenomena indiviual acak, dan terkadang dianggap sebagai akibat penurunan psikis pada beberapa laki-laki. Padahal, kekerasan laki-laki mempunyai asal-usul dalam struktur sosial. Laki-laki menggunakan kekerasan untuk menguasai perempuan. 

Memang tidak semua laki-laki menggunakan kekuatan tersebut untuk kekerasan. Namun, kekerasan laki-laki mempunyai bentuk sosial reguler dan mempunyai konsekuensi bagi tindakan- tindakan perempuan, sebagai akibat dari harapan akan kebaikan perempuan dalam rutinitas keseharian. 

Kekerasan laki-laki terhadap perempuan sangat mungkin terjadi dalam ranah domestik (kekerasan domestik/domestic violence) dan juga ranah publik berupa: pemerkosaan, kekerasan terhadap istri, insest bapak dan anak, pelecehan seksual dalam kerja, dan serangan seksual secara fisik. 

Relasi patriarkal dalam seksualitas. Kata kunci tindakan patriarkal dalam seksualitas adalah heteroseksualitas, baik berupa asal-usul yang baku maupun struktur internalnya seperti standard ganda. 

Jadi, seksualitas merupakan struktur dalam pengertian keutamaan yang diberikan dalam praktik seksual untuk membedakannya dengan lesbianisme ataupun homoseksualitas, dan juga dalam pengertian relasi yang tidak sama di dalam praktik seksual. Signifikansi kausal utamanya adalah dalam mengarahkan perempuan terhadap pernikahan sebagai tujuan yang benar-benar diinginkan. 

Dan dalam abad ke-20, signifikansinya adalah menstigmatisasi persahabatan sesama perempuan yang dekat melalui seksualisasinya dan penilaian negatif secara simultan terhadap bentuk seksualitas tersebut.

Apa yang mesti dicermati, seksualitas merupakan praktik sosial sehingga tidak bisa direduksi pada level psikologis ataupun biologis semata. Seksualitas merupakan variabel historis dan lintas budaya dalam bentuknya. Dengan demikian, seksualitas mempengaruhi aspek-aspek relasi gender yang lain. 

Seksualitas merupakan variabel historis yang cukup signifikan bagi munculnya subordinasi perempuan sehingga ia perlu diidentifikasi dan dispesifikkan sebagai struktur yang terpisah dari gender.

Budaya patriarkal. Dalam pemahaman kritis, budaya patriarkal merupakan struktur yang diciptakan dari rangkaian beragam praktik-praktik yang dikendalikan lelaki. Dalam ranah filsafat, agama, pendidikan, maupun norma-norma tradisi, perempuan seringkali menjadi subjek yang direndahkan, sementara laki-laki adalah subjek yang berhak untuk berkuasa.

Dalam legenda Yunani, misalnya, perempuan adalah Pandora yang diturunkan oleh Zeus untuk menghukum laki-laki dengan cara membuka kotak kecil yang berisi kesulitan, kejahatan, maupun penderitaan (Synnot, 2003: 79-80). Kalau diperhatikan, legenda Pandora sangat mirip dengan cerita penciptaan Hawa untuk Adam dalam agama-agama samawi; Kristen, Yahudi, maupun Islam. 

The Birth of Pandora (1770, James Barry). Sumber: Wikimedia Commons
The Birth of Pandora (1770, James Barry). Sumber: Wikimedia Commons

Citra-citra negatif perempuan dalam cerita penciptaan inilah yang kemudian menjadikan mereka sebagai subjek dalam agama yang harus mentaati aturan-aturan pengendalian yang cukup ketat yang sebagian besar berorientasi pada kepentingan patriarki serta dikatakan ‘mendapatkan legitimasi dari kitab-kitab suci’.

Sementara Aristoteles, yang seringkali dianggap sebagai pejuang filsafat, merumuskan oposisi binner yang dengan jelas-jelas melemahkan perempuan: pria kuat >< perempuan lemah. 

Ilmu pengetahuan dan institusi pendidikan juga memberikan kontribusi dalam membedakan perempuan dan laki-laki dimana laki-lakilah yang seringkali mendapatkan keistimewaan. 

Rousseau, salah satu bapak ilmu sosial, dengan tegas mengatakan bahwa pendidikan wanita harus direncanakan dalam relasinya dengan laki-laki, menyenangkan hati laki-laki, memenangkan penghargaan dan cintanya, melatih laki-laki ketika masih kanak-kanak,  membentuknya pada saat dewasa, menasehati dan menghiburnya, membuat hidupnya bahagia (Synnot, 2003: 96-105). 

Bentuk-bentuk Patriarki

Bentuk patriarki sangatlah beragam, tergantung pada ruang dan waktu tempat berlangsungnya struktur patriarkal dalam masyarakat. bentuk patriarki tidak bisa berlaku universal. Bentuk patriarki di Inggris, misalnya, membedakan bentuk patriarki ke dalam privat dan publik. 

Patriarki privat berlandaskan pada penjauhan relatif perempuan dari arena kehidupan sosial dan semata-mata menjadi bagian dari keluarga, di mana ayah/laki-laki mendapatkan pelayanan dari perempuan secara individual dan secara langsung dalam ruang privat rumah. 

Sementara, patriarki publik tidak menjauhkan perempuan dari wilayah-wilayah sosial tertentu, tetapi lebih melakukan subordinasi terhadap perempuan dalam wilayah tersebut.

Sementara, untuk bisa mengungkap perbedaan utama dalam bentuk patriarki di antara negara industrial yang berbeda, perlu kiranya membagi patriarki publik ke dalam dua bentuk: (1) berdasarkan pada pasar dan (2) negara. Keduanya merupakan basis yang membawa perempuan ke dalam ruang publik. 

Benarkah Agama dan Budaya Menyuburkan Patriarki?

Pendapat para feminis Barat terkait budaya dan agama yang mendukung patriarki tentu harus kita kritisi, karena pendapat tersebut tidak bisa dijadikan pijakan universal. Masing-masing masyarakat tentu memiliki faktor sejarah dan kultural yang berbeda, sehingga pemahaman mereka tentang posisi lelaki bisa berbeda-beda pula. 

Yang pertama-tama harus dibedakan adalah nilai agama dan budaya (dalam artian tradisi). Agama pada awalnya bukanlah bagian dari budaya karena ia berasal dari wahyu illahiyah yang suci. 

Two Arabs Women (circa 1905, John Singer Sargent). Sumber: Wikimedia Commons
Two Arabs Women (circa 1905, John Singer Sargent). Sumber: Wikimedia Commons
Namun dalam perkembangannya agama kemudian dimasukkan dalam ritual tradisi sebuah masyarakat, sehingga yang dibaca sebagai penyubur patriarki yang bersemayam dalam tradisi masyarakat tersebut. Ini adalah persoalan interpretasi dari para penyebar agama tertentu yang bisa dilihat sebagai sebuah kesalahpahaman.

Islam, misalnya, dalam kaca mata banyak feminis liberal dan radikal dianggap sebagai penyubur patriarki hanya karena dikatakan memperbolehkan poligami dan memperlakukan perempuan dalam posisi yang "dibelakangkan." 

Benarkah demikian? Banyak kajian yang menunjukkan bahwa Islam lahir sebagai agama yang memberikan pencerahan bagi kaum perempuan dan dalam banyak aspek ‘membebaskan’ mereka dari kuatnya pengaruh laki-laki. 

Kajian yang dilakukan Al-Hibri, sebagaimana dikutip Badran (1985), menunjukkan bahwa sebelum kedatangan Islam, masyarakat matriarkal Arab telah dihancurkan melalui transfer teknologi militer dari kerajaan tetangganya, Bynzantium dan Sassanids. 

Peralihan ke Islam membawa peningkatan bagi perempuan, termasuk hak untuk warisan, reduksi poligami (maksimal 4 istri), pemberian hukum bagi pembunuh bayi perempuan, dan hak bagi perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bai’at, pemilihan pemimpin komunitas. 

Sepeninggal Muhammad SAW, kepentingan patriarkal kembali menguat dan membahayakan penghormatan Islam terhadap perempuan.

Hal di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya agama tidaklah menyuburkan patriarki, dan sebaliknya, para penafsir agamalah yang kembali memasukkan nilai-nilai agama sebagai penguat tradisi lama masyarakat tribal. Selalu melihat pada teks apa adanya inilah yang menyebabkan para pemuka agama melupakan konteks dari ayat-ayat suci.

Sementara terdapat juga ritual tradisi yang sebenarnya memperbolehkan perempuan untuk ikut berkontestasi dalam wilayah publik. Dalam kajian tentang representasi gender di Negeri Sembilan Malaysia, Peletz (1996) mengemukakan bahwa pada masa awal periode 1450-1680, perempuan sangat aktif dalam ritual komunal sepertihalnya dengan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara. 

Perempuan dengan kapasitas reproduktif dan regeneratifnya memperoleh kekuatan magis dan ritual yang sulit ditandingi laki-laki. Kondisi itu berubah pada masa-masa akhir periode tersebut, ketika Islam dan juga “agama-agama besar lainnya” (terutama Budha dan Kritianitas) yang tidak menyediakan basis tekstual bagi partisipasi perempuan berkembang di Asia Tenggara. 

Secara umum, posisi ritual tertinggi dari keyakinan dominan tersebut lebih banyak ditempati laki-laki, yang mengendalikan ritual komunal pada level tertinggi. Peran ritual perempuan secara progresif menurun dan peran mereka lebih banyak berkaitan dengan shamanisme dan pemanggilan arwah. 

Buruh perempuan Jawa memetik kopi di Medan (circa 1910, Kleingrothe, C.J.). Sumber: Wikimedia Commons
Buruh perempuan Jawa memetik kopi di Medan (circa 1910, Kleingrothe, C.J.). Sumber: Wikimedia Commons

Penjabaran Peletz menegaskan betapa perempuan juga bisa mempunyai peran dalam ranah publik. Masalahnya ketika para penyebar agama, lagi-lagi, berdasarkan tafsir teks ayat suci, membenarkan pemangkasan peran perempuan dalam status ritual yang tinggi. Mereka tidaklah mempraktikkan nilai Islam, tetapi nilai Arab yang dipenuhi dengan tradisi penurunan derajat perempuan.

Satu kritik lain yang mesti diberikan pada struktur dan bentuk patriarki feminis barat lainnya adalah mereka tidak sepenuhnya mampu menjangkau realitas partisipasi perempuan dalam ranah publik, terutama di negara-negara Asia. 

Ada banyak contoh yang bisa dikemukakan bahwa di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, perempuan banyak berperan dalam ranah publik dan tidak semata-mata terkungkung untuk urusan “kasur”, “dapur”, dan “sumur” sebelum akhirnya dikendalikan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan budaya dan agama yang juga dalam banyak kasus bercumbu dengan kepentingan kolonial.

Dalam sebuah penelitian etnografi gender di Jawa Tengah, Brenner (1995) mendapati sebuah realitas bahwa sejak dulu perempuan Jawa dari masyarakat biasa banyak melakukan aktivitas-aktivitas publik yang berkaitan dengan sektor ekonomi dan berimplikasi pada peran-peran sosial lainnya. 

Dua perempuan Jawa tengah menumbuk padi (1860). Sumber: Wikimedia Commons
Dua perempuan Jawa tengah menumbuk padi (1860). Sumber: Wikimedia Commons

Menurut Brenner, dalam sebagian besar keluarga Jawa era 1990an, dengan mengabaikan kelas sosial dan pekerjaan, seorang istri tetap meneruskan kebiasaan lama untuk banyak mengatur keuangan rumah tangga. Mereka beranggapan bahwa laki-laki tidaklah kompeten dalam mengatur keuangan, dan banyak laki-laki menyetujuinya. 

Suami diharapkan untuk memberikan semua penghasilannya untuk istri, yang kemudian mengalokasikannya untuk keperluan rumah tangga. Banyak perempuan Jawa yang juga berkarir sebagai pegawai negeri sipil, guru, dokter, pemilik toko, ataupun bisnis wiraswasta lainnya. 

Para istri biasanya juga memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan suaminya, khususnya kekayaan yang diperoleh dari warisan orang tuanya. Anak perempuan Jawa mendapatkan warisan yang sama dengan anak laki-laki. 

Laki-laki (mantan suami) tidak mempunyai hak atas kekayaan tersebut, dan ketika menikah, para perempuan tetap bisa membawa kekayaan tersebut. Sedangkan kekayaan yang diperoleh dari hasil jerih payah berdua akan dibagi ketika bercerai. 

Tradisi peran aktif perempuan dalam mengolah kehidupan rumah tangga, perlahan mulai bergeser ketika pengaruh tradisi priyayi masuk ke dalam kehidupan masyarakat biasa, baik semasa kolonial maupun pascakolonial. 

Perempuan Jawa di studio foto Yogyakarta (1901, Kassian Cephas). Sumber: Wikimedia Commons
Perempuan Jawa di studio foto Yogyakarta (1901, Kassian Cephas). Sumber: Wikimedia Commons
Kemampuan perempuan dalam mengatur roda ekonomi baik di ruang keluarga maupun publik (semisal di pasar) inilah yang kemudian memunculkan asumsi bahwa mereka adalah orang-orang yang kasar dan bestatus rendah. 

Sementara, laki-laki memperoleh citra sebagai mereka yang mampu mengendalikan diri sehingga memiliki kelebihan-kelebihan dalam hal rasionalitas dan kesaktian dibanding perempuan. 

Hal itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari eksistensi dan perkembangan dua ideologi yang saling bersimbiosis mulualistik dalam sistem sosial masyarakat priyayi Jawa. Pertama, ideologi priyayi yang lebih berorientasi pada sesuatu yang bersifat ‘halus’ yang selalu dikaitkan dengan kesaktian. 

Kedua, ideologi gender Islam yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang dipenuhi dengan hawa nafsu sehingga termasuk dalam ‘golongan rendah’. 

Lebih jauh Brenner menjelaskan bahwa ide tentang status rendahan bagi perempuan yang menguasai uang yang tidak hanya menyebar di kalangan priyayi tetapi juga masyarakat kebanyakan, non-elit, menunjukkan betapa kuatnya ideologi priyayi dalam masyarakat Jawa. 

Ideologi priyayi ini bisa dilacak lebih jauh lagi pada perkawinan antara nilai-nilai aristokratik Jawa dengan kode-kode pekerjaan untuk pegawai birokrasi kolonial dari golongan lokal (pada abad ke-19) yang disepakati oleh elit Belanda dan Jawa dan dilegitimasi dengan referensi tradisi Jawa. 

Alih-alih untuk bisa diterima pemerintah kolonial serta untuk menjalankan fungsi-fungsi kejawaannya, para priyayi lebih mendukung ideologi yang lebih melayani negara daripada harus memikirkan kekayaan mandiri, yang merupakan sumber utama dari prestige di Jawa. 

Perempuan ningrat, keluarga Hamengku Buwono VII (circa 1885, Kassian Chepas). Sumber: Wikimedia Commons
Perempuan ningrat, keluarga Hamengku Buwono VII (circa 1885, Kassian Chepas). Sumber: Wikimedia Commons
Pandangan tentang perdagangan sebagai sesuatu yang kasar sebenarnya lebih melindungi kepentingan priyayi dan kolonial dan digunakan untuk melawan monied elite (kelompok elit masyarakat yang memperoleh status sosial tinggi karena kekayaannya) yang bisa saja menjadi pesaing mereka dalam hal status dan kekuasaan. 

Beberapa perempuan priyayi yang berdagang untuk membantu pendapatan suaminya tidak dipersoalkan selama suaminya tidak terlibat langsung dalam bisnisnya. 

Brenner menambahkan bahwa dua ideologi gender, priyayi dan Islam, menghadirkan citra laki-laki sebagai mereka yang memiliki kemampaun mental dan spiritual yang lebih tinggi yang membuat mereka memperoleh peran dominan dalam kehidupan sosial dan spiritual. 

Sementara, perempuan dituduh tidak mempunyai kecakapan spiritual, kurang rasional, dan kurang bisa mengendalikan diri. Statemen kategorial tersebut tetap terjaga dalam sistem ideologi yang menempatkan laki-laki sebagai pusat dari aturan sosial, moral, dan simbolik. 

Perempuan Jawa menunjukkan kemampuan memintal pada pasar malam di Surabaya (circa 1905-1906, Ohannes Kurkdjian). Sumber: Wikimedia Commons
Perempuan Jawa menunjukkan kemampuan memintal pada pasar malam di Surabaya (circa 1905-1906, Ohannes Kurkdjian). Sumber: Wikimedia Commons
Sistem ideologis ini terus tumbuh dan diperkuat bukan hanya oleh nilai-nilai elit priyayi Jawa, tetapi juga oleh tendendsi patriarkal aturan kolonial Belanda (dimana dominasi laki-laki langsung diterapkan dalam kehidupan sosial dan domestik dan sangat berpengaruh dalam perkembangan retorika para priyayi abad ke-19 dan ke-20), doktrin Islam, serta negara pascakolonial Indonesia.

Akhiran: Membaca "Konteks Kejadian" dan "Ruang-ruang yang Disucikan"

Paparan konsep di atas berusaha menghadirkan pandangan tentang dominasi patriarki dan penindasan terhadap perempuan. Membicarakan patriarki dalam perspektif sosiologis dan kultural terasa lebih komperhensif dibandingkan harus selalu membabi buta menyalahkan laki-laki tanpa landasan konseptual yang jelas. 

Usaha Walby dan banyak feminis Beart untuk menjabarkan konsep struktur patriarki memberikan kontribusi besar dalam memetakan wilayah berlangsungnya ketidakadilan gender, terutama dalam masyarakat kapitalis dewasa ini. 

Argumen tentang struktur patriarki dalam praktik pendidikan, agama, media, maupun kultural secara spesifik juga membuka kesadaran kita untuk terus berani menafsir dan mengkritisi bermacam praktik ‘kekerasan simbolik’ dalam wujud hegemoni ideologis terhadap perempuan yang sangat mungkin terus berlangsung hingga saat ini.

Dua gadis Jawa menjual makanan. Sumber: Wikimedia Commons
Dua gadis Jawa menjual makanan. Sumber: Wikimedia Commons

Satu hal yang bisa dikritisi adalah bahwa banyak feminis Barat, khususnya yang beraliran radikal, masih terjebak dalam perangkap subjektivitas yang selalu menganggap bahwa struktur masyarakat pada dasarnya tetaplah patriarki dan berpotensi untuk mendominasi dan mensubordinasi perempuan. 

Wilayah kerja domestik, misalnya, masih saja dianggap sebagai ranah subordinasi di level privat yang menjadi cikal-bakal penindasan perempuan dalam ranah yang lebih luas. Ranah kerja upah maupun ruang sosio- kultural juga masih diasumsikan menjadi medan subordinasi yang bertransformasi terus-menerus dalam masyarakat kontemporer. 

Realitas saat ini menunjukkan bahwa para perempuan juga banyak mempunyai kesempatan yang sama dalam mengakses bidang-bidang pekerjaan yang pada masa lampau didominasi laki-laki.

Yang patut dipertimbangkan lebih lanjut adalah bahwa persoalan kuasa patriarki tidak bisa dilepaskan dari konteks ruang dan waktu. Adalah sangat tidak bijak ketika melihat realitas patriarki di barat untuk memandang persoalan di timur. Terdapat kondisi sosio-kultural yang jelas membedakan persoalan patriarki dalam masyarakat. 

Perbedaan inilah yang harus dilihat ketika hendak mengkaji persoalan patriarki ataupun gender. Ada "konteks kejadian" yang harus selalu dibaca dengan kritis sesuai dengan kotekstualitasnya, bukan semata-mata dengan kacamata pemikir Barat. 

Artinya, tidak cukup hanya dengan sebuah teori besar untuk membedah struktur dan bentuk patriarki dalam masyarakat. Dibutuhkan kejelian dan kecemerlangan peneliti dalam membaca realitas di balik realitas yang terhampar di pelupuk mata. 

Termasuk kritis terhadap "ruang-ruang yang disucikan," yang dilindungi oleh doktrin agama (yang ‘diselewengkan’) dan budaya (yang ‘di-adi luhung-kan’) demi sebuah kepentingan kuasa.

Banyaknya kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual di ruang-ruang sepi institusi keagamaan menegaskan bahwa relasi kuasa patriarkal mendapatkan legitimasi yang seringkali dikatakan berasal dari ajaran kitab suci. Dalam kondisi demikian, para tokoh agama lelaki mendapatkan kekuatan yang seolah-olah suci demi melangsungkan kebiadaban mereka.

Bacaan

Badran, Margot. 1985. “Islam, Patriarchy, and Feminism in the Middle East”, artikel direproduksi dari Jurnal Trend in History, 4 (1): 49-71. http://www.wluml.org/english/pubs/pdf/dossier4/D4-MidEast.pdf.

Brenner, Suzanne A. 1995. “Why Women Rule the Roost: Rethinking Javanese Ideologies of Gender and Self-Control.” Dalam Ong, Aihwa, and Michael G. Peletz (eds). Bewitching Women, Pious Men: Gender and Body Politics in Southeast Asia. Berkeley: University of California Press. http://ark.cdlib.org/ark:/13030/ft4x0nb2bf/.

Cyba, Eva. 2005. "Social Inequality and Gender." http://www.jsse.org/2005- 2/pdf/inequality_cyba.html. 

Martin, Brian. 1998. “Patriarchy”, Chapter 5 of Tied Knowledge: Power in Higher Education. https://www.bmartin.cc/pubs/98tk/tk05.html.

Millet, Kate. 1969. “Theory of Sexual Politics”, Chapter 2 of Sexual Politics. https://www.marxists.org/subject/women/authors/millett-kate/theory.htm.

Peletz, Michael G. 1996. Reason and Passion: Representations of Gender in a Malay Society. Berkeley: University of California Press. http://ark.cdlib.org/ark:/13030/ft4r29p0jz/

Synnot, Antony . 2003. Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. (Terj. Yudi Susanto). Yogyakarta: Jalasutra.

von Werlhof, Claudia. 2004. “Capitalist Patriarchy and the Struggle for a ‘Deep’ Alternative. " Makalah dipresentasikan dalam Konferensi Internasional bertajuk A radically different world view is possible. The gift-economy inside and outside Patriarchal Capitalism, Las Vegas, USA, 13th - 14th of November 2004. http://uuhome.de/global/downloads/LasVegas.pdf.

Walby, Sylvia . 1989. “Theorizing Patriarchy.” Sociology, 23(2). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun