Peralihan ke Islam membawa peningkatan bagi perempuan, termasuk hak untuk warisan, reduksi poligami (maksimal 4 istri), pemberian hukum bagi pembunuh bayi perempuan, dan hak bagi perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bai’at, pemilihan pemimpin komunitas.
Sepeninggal Muhammad SAW, kepentingan patriarkal kembali menguat dan membahayakan penghormatan Islam terhadap perempuan.
Hal di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya agama tidaklah menyuburkan patriarki, dan sebaliknya, para penafsir agamalah yang kembali memasukkan nilai-nilai agama sebagai penguat tradisi lama masyarakat tribal. Selalu melihat pada teks apa adanya inilah yang menyebabkan para pemuka agama melupakan konteks dari ayat-ayat suci.
Sementara terdapat juga ritual tradisi yang sebenarnya memperbolehkan perempuan untuk ikut berkontestasi dalam wilayah publik. Dalam kajian tentang representasi gender di Negeri Sembilan Malaysia, Peletz (1996) mengemukakan bahwa pada masa awal periode 1450-1680, perempuan sangat aktif dalam ritual komunal sepertihalnya dengan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara.
Perempuan dengan kapasitas reproduktif dan regeneratifnya memperoleh kekuatan magis dan ritual yang sulit ditandingi laki-laki. Kondisi itu berubah pada masa-masa akhir periode tersebut, ketika Islam dan juga “agama-agama besar lainnya” (terutama Budha dan Kritianitas) yang tidak menyediakan basis tekstual bagi partisipasi perempuan berkembang di Asia Tenggara.
Secara umum, posisi ritual tertinggi dari keyakinan dominan tersebut lebih banyak ditempati laki-laki, yang mengendalikan ritual komunal pada level tertinggi. Peran ritual perempuan secara progresif menurun dan peran mereka lebih banyak berkaitan dengan shamanisme dan pemanggilan arwah.
Penjabaran Peletz menegaskan betapa perempuan juga bisa mempunyai peran dalam ranah publik. Masalahnya ketika para penyebar agama, lagi-lagi, berdasarkan tafsir teks ayat suci, membenarkan pemangkasan peran perempuan dalam status ritual yang tinggi. Mereka tidaklah mempraktikkan nilai Islam, tetapi nilai Arab yang dipenuhi dengan tradisi penurunan derajat perempuan.
Satu kritik lain yang mesti diberikan pada struktur dan bentuk patriarki feminis barat lainnya adalah mereka tidak sepenuhnya mampu menjangkau realitas partisipasi perempuan dalam ranah publik, terutama di negara-negara Asia.
Ada banyak contoh yang bisa dikemukakan bahwa di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, perempuan banyak berperan dalam ranah publik dan tidak semata-mata terkungkung untuk urusan “kasur”, “dapur”, dan “sumur” sebelum akhirnya dikendalikan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan budaya dan agama yang juga dalam banyak kasus bercumbu dengan kepentingan kolonial.
Dalam sebuah penelitian etnografi gender di Jawa Tengah, Brenner (1995) mendapati sebuah realitas bahwa sejak dulu perempuan Jawa dari masyarakat biasa banyak melakukan aktivitas-aktivitas publik yang berkaitan dengan sektor ekonomi dan berimplikasi pada peran-peran sosial lainnya.