Dan dalam abad ke-20, signifikansinya adalah menstigmatisasi persahabatan sesama perempuan yang dekat melalui seksualisasinya dan penilaian negatif secara simultan terhadap bentuk seksualitas tersebut.
Apa yang mesti dicermati, seksualitas merupakan praktik sosial sehingga tidak bisa direduksi pada level psikologis ataupun biologis semata. Seksualitas merupakan variabel historis dan lintas budaya dalam bentuknya. Dengan demikian, seksualitas mempengaruhi aspek-aspek relasi gender yang lain.Â
Seksualitas merupakan variabel historis yang cukup signifikan bagi munculnya subordinasi perempuan sehingga ia perlu diidentifikasi dan dispesifikkan sebagai struktur yang terpisah dari gender.
Budaya patriarkal. Dalam pemahaman kritis, budaya patriarkal merupakan struktur yang diciptakan dari rangkaian beragam praktik-praktik yang dikendalikan lelaki. Dalam ranah filsafat, agama, pendidikan, maupun norma-norma tradisi, perempuan seringkali menjadi subjek yang direndahkan, sementara laki-laki adalah subjek yang berhak untuk berkuasa.
Dalam legenda Yunani, misalnya, perempuan adalah Pandora yang diturunkan oleh Zeus untuk menghukum laki-laki dengan cara membuka kotak kecil yang berisi kesulitan, kejahatan, maupun penderitaan (Synnot, 2003: 79-80). Kalau diperhatikan, legenda Pandora sangat mirip dengan cerita penciptaan Hawa untuk Adam dalam agama-agama samawi; Kristen, Yahudi, maupun Islam.Â
Citra-citra negatif perempuan dalam cerita penciptaan inilah yang kemudian menjadikan mereka sebagai subjek dalam agama yang harus mentaati aturan-aturan pengendalian yang cukup ketat yang sebagian besar berorientasi pada kepentingan patriarki serta dikatakan ‘mendapatkan legitimasi dari kitab-kitab suci’.
Sementara Aristoteles, yang seringkali dianggap sebagai pejuang filsafat, merumuskan oposisi binner yang dengan jelas-jelas melemahkan perempuan: pria kuat >< perempuan lemah.Â
Ilmu pengetahuan dan institusi pendidikan juga memberikan kontribusi dalam membedakan perempuan dan laki-laki dimana laki-lakilah yang seringkali mendapatkan keistimewaan.Â
Rousseau, salah satu bapak ilmu sosial, dengan tegas mengatakan bahwa pendidikan wanita harus direncanakan dalam relasinya dengan laki-laki, menyenangkan hati laki-laki, memenangkan penghargaan dan cintanya, melatih laki-laki ketika masih kanak-kanak, Â membentuknya pada saat dewasa, menasehati dan menghiburnya, membuat hidupnya bahagia (Synnot, 2003: 96-105).Â
Bentuk-bentuk Patriarki