Si istri tidak memperoleh upah dari pekerjaan tersebut karena itu semua merupakan konsekuensi dari ikatan pernikahan. Suami bisa mengendalikan buruh istri karena memiliki kekuatan buruh tersebut, sedangkan istri hanya menghasilkan tenaga. Si suami bisa saja menjual tenaga si istri karena itu memang miliknya.
Ada tiga tahapan teoretis dari klaim tersebut. Pertama, bahwa pembagian domestik kerja merupakan bentuk utama dari perbedaan laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa pembagian tersebut mempunyai pengaruh signifikan terhadap aspek lain dari relasi sosial. Ketiga, bahwa dengan sendirinya itu semua merupakan bentuk ketidaksamaan yang cukup signifikan.
Kajian terkait anggaran waktu dan kajian lain tentang pembagian domestik kerja menunjukkan jumlah yang tidak sama dari kerja rumah tangga dan bahkan waktu kerja keseluruhan yang dilakukan oleh pasangan suami istri.
Sementara, kajian lain tentang pembagian yang tidak sama dari sumberdaya rumah tangga menunjukkan bahwa perempuan memiliki lebih sedikit pembagian dalam konsumsi terhadap barang-barang rumah tangga ketimbang laki-laki, dari makanan hingga hiburan untuk waktu luang.
Pembagian kerja merupakan aspek penting dalam relasi patriarkal dalam keluarga. Pembagian yang tidak adil bagi perempuan ini merupakan bagian dari formasi dan praktik yang berlangsung terus-menerus dan pada akhirnya semakin memapankan posisi laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mengenai realitas tersebut Cyba (2005) menjelaskan:
Aspek sentral lain dari ketidaksamaan gender berkaitan erat dengan peran dalam rumah tangga atau keluarga. Lepas dari posisi pekerjaannya (ber-upah, pen), perempuan lebih banyak betanggung jawab terhadap keluarga dibandingkan laki- laki. Pembagian kerja dalam keluarga menjadikan perempuan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.
Meski terdapat perbedaan antarnegara, peran perempuan untuk merawat anak masih saja menjadi objek bagi “pengesahan ideologis” bagi ketidaksamaan gender. Merawat anak bukanlah satu- satunya aspek dari relasi atau peran diskriminastif dalam kehidupan privat.
Pekerjaan rumah sehari-hari bagi anggota keluarga, dan ketika dikombinasikan dengan partisipasi dalam pekerjaan berupah, mengarah pada jumlah menyeluruh waktu kerja yang tidak bisa dikomparasikan dengan anggaran waktu bagi laki-laki.
Posisi yang tidak mengenakkan dalam pekerjaan (berupah) dan kehidupan keluarga yang diskriminatif, pada akhirnya berkaitan erat dengan situasi yang tidak menguntungkan bagi perempuan dalam ruang kehidupan lainnya, yakni kurangnya akses terhadap aktivitas luang dan partisipasi dalam kehidupan publik.
Keluarga, dengan demikian, telah menjadi 'negara kecil’ dengan seperangkat aturan yang merugikan kepentingan perempuan. Keluarga secara ajeg menjadi alat kuasa patriarkal dan menjelma sebagai aparat diskursif di mana suami sebagai kepala keluarga menjadi pemimpin yang menjadi representasi kepentingan masyarakat dan negara patriarkal.