Menurut Brenner, dalam sebagian besar keluarga Jawa era 1990an, dengan mengabaikan kelas sosial dan pekerjaan, seorang istri tetap meneruskan kebiasaan lama untuk banyak mengatur keuangan rumah tangga. Mereka beranggapan bahwa laki-laki tidaklah kompeten dalam mengatur keuangan, dan banyak laki-laki menyetujuinya.Â
Suami diharapkan untuk memberikan semua penghasilannya untuk istri, yang kemudian mengalokasikannya untuk keperluan rumah tangga. Banyak perempuan Jawa yang juga berkarir sebagai pegawai negeri sipil, guru, dokter, pemilik toko, ataupun bisnis wiraswasta lainnya.Â
Para istri biasanya juga memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan suaminya, khususnya kekayaan yang diperoleh dari warisan orang tuanya. Anak perempuan Jawa mendapatkan warisan yang sama dengan anak laki-laki.Â
Laki-laki (mantan suami) tidak mempunyai hak atas kekayaan tersebut, dan ketika menikah, para perempuan tetap bisa membawa kekayaan tersebut. Sedangkan kekayaan yang diperoleh dari hasil jerih payah berdua akan dibagi ketika bercerai.Â
Tradisi peran aktif perempuan dalam mengolah kehidupan rumah tangga, perlahan mulai bergeser ketika pengaruh tradisi priyayi masuk ke dalam kehidupan masyarakat biasa, baik semasa kolonial maupun pascakolonial.Â
Kemampuan perempuan dalam mengatur roda ekonomi baik di ruang keluarga maupun publik (semisal di pasar) inilah yang kemudian memunculkan asumsi bahwa mereka adalah orang-orang yang kasar dan bestatus rendah.Â
Sementara, laki-laki memperoleh citra sebagai mereka yang mampu mengendalikan diri sehingga memiliki kelebihan-kelebihan dalam hal rasionalitas dan kesaktian dibanding perempuan.Â
Hal itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari eksistensi dan perkembangan dua ideologi yang saling bersimbiosis mulualistik dalam sistem sosial masyarakat priyayi Jawa. Pertama, ideologi priyayi yang lebih berorientasi pada sesuatu yang bersifat ‘halus’ yang selalu dikaitkan dengan kesaktian.Â
Kedua, ideologi gender Islam yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang dipenuhi dengan hawa nafsu sehingga termasuk dalam ‘golongan rendah’.Â
Lebih jauh Brenner menjelaskan bahwa ide tentang status rendahan bagi perempuan yang menguasai uang yang tidak hanya menyebar di kalangan priyayi tetapi juga masyarakat kebanyakan, non-elit, menunjukkan betapa kuatnya ideologi priyayi dalam masyarakat Jawa.Â