Kenyataan ini pula yang menjadikan tayub masih bisa survive, meskipun para ustadz sudah membuat banyak pernyataan tentang ke-haram-an kesenian rakyat ini.
Selain rasa senang, bagi seorang lelaki, bisa berpartisipasi sebagai pengibing dalam sebuah pertunjukan tayub merupakan tantangan yang bisa diwujudkan akan memunculkan kebangaan tersendiri. Belum afdol sebagai lelaki di desa kalau belum pernah ikut nayub dan ditonton oleh orang banyak, meskipun syarat itu juga bukan kemutlakan. Â
Berikut tuturan Herman (wawancara 2 Agustus 2014), warga Sambiroto, Lamongan, tentang realitas kultural tersebut:
"Wong ndeso (orang desa) itu punya penilaiannya sendiri tentang tayub. Bagi lelaki yang sudah cukup umur, cukup uang, atau sudah berkeluarga, kalau belum berani beksa, itu namanya durung lanang temenan (belum benar-benar menjadi lelaki).Â
Lelaki yang berani mlebu terob, masuk tempat pertunjukan dan menari, itu dianggap sudah punya punya uang lebih, meski direwangi utang (meminjam terlebih dahulu). Tapi, nanti mereka pasti mengembalikan setelah punya uang dari pekerjaannya. Istilahnya buat semangat kerja.Â
Selain itu, lelaki yang sudah berani beksa berarti dia sudah mempunyai kemampuan cukup untuk menari. Sudah cukup mereka belajar mbeksa dengan cara penonton setiap tayuban. Nah, dengan memamerkan kebolehannya mbekso di depan penonton yang sangat banyak ia merasa ada kebanggaan tersendiri.Â
Kalau sudah terbiasa dengan kesenangan ketika menari itulah akan muncul klangenan, selalu rindu untuk bisa mbekso pada pagelaran tayub. Kayak saya ini, setiap ada tayuban, baik di dusun ini, maupun di dusun lain, selagi punya uang cukup, pasti akan berangkat. Rasa capek-capek setelah bekerja keras rasanya lenyap seketika."Â
Tuturan Herman di atas menegaskan betapa pentingnya posisi tayub dalam bingkai berpikir masyarakat desa. Kemahiran untuk menari bersama tandhak dan membayari mereka dengan beberapa lembar uang berwarna hijau maupun biru merupakan penanda bahwa para penayub memiliki kemampuan lebih. Kebanggaan sosial muncul dalam peristiwa-peristiwa tersebut.Â
Ada ruang untuk mengaktualisasikan diri dan capaian-capaian kemakmuran melalui pagelaran tayub. Rasa bangga dan aktualisasi diri inilah yang tidak bisa dihapuskan begitu saja oleh siraman rohani para ustadz.Â
Bahkan, seorang muadzin salah satu masjid di Dusun Sambiroto, biasa mlebu terob atau mlebu kalangan, meskipun ia berusaha menghindari minuman beralkohol. "Adzan dan sholat itu kewajiban, nayub itu kebiasaan. Sama-sama penting," begitu celetuk seorang muadzin, T, (nama sengaja saya rahasiakan), melengkapi pernyataan Herman.
Menariknya, sebagian besar pengibing mendapatkan restu dari istri mereka ketika akan ikut mbekso dalam pertunjukan, meskipun ada juga yang tidak mendapatkan restu karena kondisi perekonomian yang kurang baik. Bagi tukang bekso sejati, restu dari istri menjadi sangat penting karena hal itu berkaitan dengan persoalan ekonomi yang harus diatur sebaik-baiknya oleh pihak istri.Â