Itupun aspek sinkretisnya sudah semakin kuat. Artinya, keyakinan dan ritual Islam sudah mulai menjadi tradisi bagi masyarakat desa, menggeser sebagian tradisi Jawa tradisional. Sekali lagi, ini merupakan realitas kultural yang menjadi tantangan bagi perkembangan kesenian tayub di tengah-tengah masyarakat desa.
Ketika orang-orang hanya berbahasa Jawa dan semakin jarang membicarakan keyakinan Jawa, keislaman menjadi kekuatan baru karena terbantu oleh syiar yang semakin gencar.
Dengan demikian, dari aspek religi, perkembangan tayub jelas sudah mengalami jalan buntu, bahkan hanya memunculkan stigmatisasi yang berasal dari keprofanan pertunjukannya. Kalaupun masih ada warga desa yang menyelenggarakan bersih desa dengan hiburan tayub, itu pun jumlahnya dari waktu ke waktu semakin berkurang.
Ritual bersih desa memang masih menjadi salah satu penopang daya-hidup tayub di wilayah pedesaan, tetapi juga tidak sepenuhnya. Ketika praktik sinkretis agama dan tradisi Jawa hanya menyentuh aspek doa sebagai usaha spritual umat manusia dengan menolak kesenian yang diyakini melanggar ajaran agama, maka keberadaan tayub bisa menjadi cerita masa lalu.
Namun, ketika sebagian besar warga desa masih memosisikan tayub sebagai bagian integral dari ritual desa yang sekaligus memberikan hiburan live kepada mereka, maka pertunjukan tayub masih akan dipertahankan dan dilangsungkan dengan bermacam argumen; dari "melestarikan tradisi leluhur" hingga "syarat wajib dari para dhanyang penunggu desa."
Cara pandang hitam-putih terhadap kesenian ini memang masih dan semakin kuat pada era terkini. Meskipun demikian, para penggemar seperti tidak pernah menghiraukannya, bahkan, berani melawan pandangan negatif tersebut, dengan terus menggelar tayub.
Mengembangkan Kesadaran Etik-Religi
Kesadaran etik-religi lebih berkaitan dengan usaha para seniman tayub untuk mengembangkan sikap adaptif dan toleran terhadap kegiatan keagamaan. Dalam pertunjukan tayub, pramugari akan menghentikan pertunjukan sementara waktu ketika terdengar adzan ashar dan mengehentikan pertunjukan ketika menjelang waktu maghrib.
Setelah sholat isya’, pertunjukan baru digelar lagi sampai menjelang subuh. Semua itu dilakukan untuk menghargai umat Islam yang akan melaksanakan ritual sholat. Dengan strategi tersebut, pertunjukan tayub dan para senimannya tidak akan dianggap “tidak tahu wayah”, tidak mengerti waktu di mana orang-orang tengah mengerjakan sesuatu yang mereka yakini sebagai kewajiban agama.
Meskipun tidak mampu menghapus stigmatisasi melanggar hukum agama, paling tidak siasat tersebut bisa sedikit mengurangi tegangan antara para pemuka agama vs seniman dan penggemar tayub.
Sementara, para penggemar tayub di desa juga mengembangkan kesadaran etik-religi yang menjadikan mereka tetap mendapatkan tempat terhormat di masyarakat.