Ritual dalam kerangka antropologis merupakan wujud ekspresi kultural yang menunjukkan keterkaitan harmonis antara manusia sebagai mikro-kosmos dengan alam dan kekuatan supernatural sebagai makro-kosmos.Â
Tidak mengherankan, dalam setiap ritual selalu hadir sesajen, piranti, ataupun mantra yang mengekspresikan usaha manusia dalam sebuah komunitas untuk mendekatkan diri terhadap kekuatan supranatural yang diyakini ikut mempengaruhi gerak kehidupan mereka. Modernitas boleh merambah dan merembes ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat petani Indonesia.Â
Namun, sebagian dari mereka tetap memosisikan ritual sebagai praktik ideal untuk memanjatkan doa kepada Tuhan akan usaha personal dan komunal yang dijalani dalam kehidupan. Namun, ketika peradaban pasar, termasuk pariwisata di dalamnya, menjadi kekuatan hegemonik, hal yang bersifat tradisional dan etnis diposisikan sebagai peluang bisnis oleh negara maupun pihak swasta.Â
Hal ini juga berlangsung di Banyuwangi, tempat di mana masih banyak ritual agraris dan religius dipelihara oleh komunitas Using. Keragaman tafsir dan kepentingan yang melibatkan masyarakat di tingkat bawah dan penguasa di tingkat atas menjadikan pelaksanaan ritual di Banyuwangi tidak hanya menarik secara tampilan visual, tetapi juga dinamika dan tegangan yang menyertai pelaksanaannya. Â
Sebagai masyarakat agraris sejak zaman kerajaan, masyarakat Using sudah terbiasa dengan beragam ritual dalam kehidupan mereka; dari ritual siklus hidup dalam keluarga, hingga ritual komunal yang dirayakan oleh seluruh masyarakat desa.Â
Aneka ritual dilakukan untuk membersihkan desa, memohon kemelimpahan hasil panen pertanian, dan sebagai usaha untuk berkomunikasi dengan Tuhan agar warga desa terhindar dari bencana, penyakit, maupun kejadian-kejadian buruk. Meskipun agama mayoritas sudah mereka peluk, modernitas sudah mereka alami dan jalani, ritual-ritual komunal tetap juga dijalankan.Â
Hal ini menegaskan hibriditas kultural masyarakat Using dalam merespons pengaruh-pengaruh budaya baru dalam kehidupan mereka (Subaharianto & Setiawan, 2012). Pemertahanan ritual sekaligus menjadi penanda identitas yang membedakan sebuah komunitas Using dengan komunitas Using lainnya, meskipun dalam hal tujuan memiliki kesamaan.
Di Alasmalang dan Aliyan, misalnya, terdapat ritual Kebo-keboan yang dilakukan sebelum musim tanam padi. Ritual ini melibatkan banyak lelaki yang akan berperan sebagai perwujudan kebo/kerbau, atau kebo-keboan, yang mengalami trance. Mereka akan diarak dari desa menuju lahan pertanian yang akan ditanami padi.Â
Masyarakat meyakini bahwa dengan melaksanakan ritual ini, padi mereka akan tumbuh subur, terhindar dari hama penyakit, dan menghasilkan panen melimpah. Sebaliknya, apabila Kebo-keboan tidak dilaksanakan, tanaman padi mereka akan diserang penyakit, bahkan gagal panen.Â
Artinya, meskipun masyarakat petani Using sudah terbiasa dengan revolusi hijau yang mengandalkan mekanisasi dan kimiawisasi pertanian, mereka tetap meyakini dan menjalani ritual yang sangat tidak masuk akal apabila dibaca dengan nalar modern.Â
Paling tidak, dengan menjalani ritual Kebo-keboan, kaum tani tidak mau larut sepenuhnya dalam peradaban kimia dan mekanik dengan menyisahkan ruang dan pertemuan komunal untuk memperkuat solidaritas serta menegaskan keterkaitan kosmologis petani dengan kekuatan adikodrati. Di Olehsari dan Bakungan terdapat ritual Seblang yang ditandai dengan adegan trance penarin perempuan.Â
Di Olehsari, tari Seblang dimainkan oleh perempuan yang belum akil balik atau perempuan remaja yang tidak melanjutkan sekolah, SMP. Ritual ini dilaksanakan setelah Hari Raya Idul Fitri selama tujuh hari berturut-turut. Sementara, di Bakungan, Seblang dimainkan oleh perempuan tua yang sudah menopouse, satu minggu setelah Hari Raya Idul Adha.Â
Dalam tari Seblang, penari akan kesurupan dalam arahan seorang pawang yang mengundang ruh penjaga desa. Ia mengikuti alunan musik angklung dan gamelan yang ditabuh bertalu-talu. Sama dengan Kebo-keboan, masyarakat takut untuk tidak melaksanakan ritual Seblang karena mereka khawatir akan terjadi bencana atau penyakit yang menimpah warg desa dan mengganggu pertanian mereka.Â
Menurut Ahmad Kholil (2010), Seblang memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan agraris masyarakat Using. Pertama, sebagai sarana untuk bersih desa. Warga Olehsari dan Bakungan melakukan bersih desa beberapa hari menjelang ritual. Kedua, sebagai sarana untuk memohon kesuburan.Â
Melalui adegan trance penari, roh-roh halus utusan Sang Pencipta akan datang dan ikut memanjatkan doa agar usaha pertanian masyarakat diberikan kesuburan dan keberhasilan panen.Â
Ketiga, sebagai sarana untuk penyembuhan penyakit. Pada waktu penari sedang duduk beristirahat, pendamping lelaki akan menerima air dalam gelas yang disodorkan warga. Si pendamping kemudian membisikkan nama orang yang sakit kepada penari. Penari menunduk sejenak dengan memegang gelas yang berisi air.Â
Setelah itu si Seblang memetik daun pisang muda atau bunga yang ada di  omprok (mahkota penari) untuk dimasukkan ke dalam gelas, baru kemudian diserahkan kembali kepada yang meminta. Adapun cara pengobatannya, air tersebut diminumkan kepada penderita atau dioleskan pada bagian-bagian tubuh yang sakit.Â
Keempat, sebagai sarana untuk menghormati leluhur yang telah membabat alas dan membuka desa sehingga bisa dijadikan tempat tinggal secara turun-temurun sampai sekarang.
Menarik kiranya untuk menelaah perbedaan pelaku dan waktu pelaksanaan Seblang di Olehsari dan Bakungan. Perbedaan pertama berangkat dari konsepsi kesucian sebagai simbol dari kesuburan. Bagi masyarakat Olehsari, perempuan yang suci adalah perempuan yang belum akhil balik dan tidak melanjutkan sekolah.Â
Sementara, di Bakungan, perempuan suci adalah perempuan yang tidak lagi mengeluarkan darah haid, menopouse. Perbedaan konsepsi kesucian dan waktu ini biasanya dilarikan ke asal-muasal perintah untuk melakukan ritual Seblang yang berasal dari bisikan ghaib.Â
Terlepas dari kebenaran mistik yang diyakini masing-masing komunitas, perbedaan tersebut, sekali lagi menegaskan adanya kutub yang saling beoposisi di antara komunitas Using, meskipun mereka berasal dari satu keturunan. Lebih jauh lagi, perbedaan tersebut juga berimplikasi pada nilai atraktif dari perhelatan ritual yang mereka laksanakan.Â
Kalau ritual digelar bersama-sama, bisa dipastikan, pengunjung akan terbelah ke dalam dua kutub pertunjukan, sehingga akan mengurangi kemeriahaan di masing-masing desa. Selain itu, perbedaan tersebut juga menjadi bentuk penegasan identitas yang meskipun serupa tetapi tidak sama.Â
Di Kemiren terkenal dengan ritual Ider Bumi dan Tumpeng Sewu. Semua ritual itu merupakan warisan budaya agraris yang masih diyakini dan dijalankan oleh komunitas Using. Ritual Ider Bumi ditandai dengan diaraknya Barong yang dianggap keramat oleh masyarakat Kemiren. Barong ini diarak keliling desa Kemiren.Â
Sementara, ritual Tumpeng Sewu sebenarnya berakar dari tradisi Barikan, yakni ritual untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan dengan membawa nasi di tempat pelaksanaan acara; biasanya di jalan utama desa. Karena tumpeng berisi makanan yang dibawa oleh warga jumlahnya sangat banyak, maka ritual ini dinamai Tumpeng Sewu.Â
Sama dengan ritual lainnya, doa dan rasa syukur menjadi kekuatan yang menggerakkan warga Kemiren untuk terlibat dalam ritual ini. Di balik penamaan ini sebenarnya terselip sebuah kecerdasan tokoh adat Kemiren untuk membesarkan kesan ritual ini dalam konteks pariwisata budaya mengingat desa ini merupakan Desa Wisata Adat Using.
Mereka menginginkan agar ritual adat yang dulunya tidak ada hubungan sama sekali dengan agenda wisata juga didatangi para pengunjung. Maka, para warga lelaki yang hadir dalam Tumpeng Sewu disarankan untuk mengenakan pakaian seragam (kombinasi sarung hijau bergaris biru tua, baju hitam, dan kopyah/songkok hitam).Â
Tentu saja, pakaian seperti itu lebih menarik dan atraktif secara visual dari pada pakaian sehari-hari, sehingga para pengunjung yang datang tidak hanya mendapatkan suguhan makanan, tetapi juga keseragaman pakaian yang menarik untuk dilihat dan difoto.
Dalam konteks komunal, ritual bukan sekedar ungkapan syukur dan doa kepada kekuatan adikodrati yang berada di luar jangkauan nalar masyarakat. Lebih dari itu, di dalam acara ritual, anggota komunitas desa menemukan momen di mana mereka bisa bertemu, membawa sesajen, memanjatkan doa, dan merasakan kebersamaan selama sehari atau beberapa hari.Â
Dengan kata lain, mereka bisa menegaskan sebuah tanda bahwa masih ada komunalisme yang dipelihara di tengah-tengah gerak individual masing-masing anggota dalam menjalani kehidupan modern. Mereka boleh mencari rezeki ekonomi, baik melalui kerja pertanian, wiraswasta, maupun birokrasi.Â
Mereka juga boleh menyerap pengetahuan modern melalui bangku sekolah, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Namun, sebagian besar mereka selalu merasa dipanggil-kembali untuk berkumpul dan merasakan kesamaan identitas ketika ritual digelar.Â
Memang, tidak ada paksaan untuk berperan aktif dalam sebuah ritual, tetapi bagi mereka yang tidak ikut akan merasa malu dengan sendirinya karena tidak memosisikan diri dalam subjektivitas komunal yang sudah menjadi konsensus antarwarga komunitas.
Dalam konteks religi, pelaksanaan ritual bernuansa animisme, seperti Seblang dan Kebo-keboan, juga menegaskan keberbedaan eksistensial identitas sebuah komunitas Using di sebuah desa dengan komunitas-komunitas Using lain serta komunitas-komunitas non-Using.Â
Agama mayoritas yang mereka peluk boleh sama, yakni Islam, tetapi mereka tidak lantas menghapuskan semua ritual yang bukan warisan tradisi Islam di tanah Blambangan. Artinya, mereka masih menyisakan sebuah tanda yang secara esensial dan esksistensial membedakan keyakinan religi dengan agama mayoritas, komunitas Using lain, dan komunitas non-Using.Â
Perbedaan ini, pertama-tama, berkaitan dengan hasrat solidaritas dan komunalitas yang membutuhkan penanda identitas yang menjadikan diri mereka tidak sama, meskipun serupa dengan komunitas-komunitas lain. Kondisi itu akan mempermudah setiap pemuka komunitas untuk mengikat subjektivitas kultural dan religi sekaligus memupuk solidaritas atasnama kesamaan identitas.Â
Kedua, perbedaan ritual berkorelasi dengan keunikan dan kekhususan yang akan menjadikan sebuah komunitas Using mudah dikenal oleh komunitas-komunitas lain. Ketiga, sebagai implikasi dari keterkenalan sebuah ritual adalah semakin meriahnya sebuah ritual karena kunjungan dari warga desa-desa lain atau pengunjung dari luar kota.Â
Implikasi lanjutnya adalah berlangsungnya aktivitas ekonomi maupun kepariwisataan berbasis ritual yang diselenggarakan warga komunitas.Masuknya beberapa ritual Using ke dalam agenda pariwisata budaya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sejak era Orde Baru hingga saat ini membawa beberapa konsekuensi diskursif-politis dan pragmatis-ekonomis.Â
Pertama, meskipun menunjukkan kemampuan inkorporatif rezim negara terhadap budaya residual yang masih berkemampuan membangun solidaritas, masuknya ritual ke dalam kalender pariwisata memberikan pengakuan secara kultural bahwa praktik religi lokal yang dipandang liyan oleh agama mayoritas ternyata mendapatkan legitimasi oleh negara.Â
Hal ini secara langsung memunculkan keyakinan komunal bahwa budaya mereka bukanlah sesuatu yang menyimpang dalam pandangan negara sebagai penguasa politik di Republik ini.Â
Kedua, semakin berkembangnya semangat untuk meneruskan dan meramaikan ritual dengan tambahan-tambahan kegiatan yang kian mempopulerkan identitas mereka. Dengan demikian, penyebaran ide dan praktik terkait identitas komunal menjadi semakin meriah dan tidak tampak sebagai bentuk paksaan untuk terlibat karena bisa memunculkan kebanggaan kolektif antarwarga komunitas Using.Â
Ketiga, semangat untuk memeriahkan ritual berkorelasi dengan motivasi ekonomi-pariwisata yang diharapkan mampu menggerakkan roda ekonomi kecil-menengah di desa tempat pelaksanaan ritual.Â
Keempat, implikasi lanjut dari peramaian ritual adalah usaha untuk mengundang kehadiran sponsor dari perusahaan-perusahaan tertentu untuk turut berkontribusi dalam pembiayaan ritual, khususnya untuk acara-acara tambahan yang menyedot biaya besar, seperti hiburan musik maupun kesenian lokal Using.Â
Praktik komodifikasi ritual berlangsung atas kesadaran panitia untuk mendapatkan dukungan dana, di satu sisi, dan di sisi lain hasrat pemodal untuk memasarkan produk-produk mereka di tengah-tengah ramainya peserta dan pengunjung ritual.
Semakin ramainya perayaan ritual dalam masyarakat Using bukan berarti tidak menimbulkan permasalahan. Hasrat untuk memunculkan ritual berbeda, meskipun sama dalam nama, seperti Endhog-endhogan, di satu sisi, memang menegaskan keberbedaan identitas komunitas Using di sebuah desa dengan komunitas Using di desa lain.Â
Keberbedaan tersebut seringkali memunculkan tafsir dari kelompok lain yang mengakibatkan kesalahpahaman makna dan berpotensi memunculkan konflik. Dalam ritual Endhog-endhogan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW, masyarakat membuat pawai kembang endhog, semacam rangkaian bunga menjulang yang terbuat dari telur rebus dengan macam-macam hiasan.Â
Mereka juga membuat boneka peraga (tapekong) yang terdiri dari bermacam figur, seperti Raja Fir'aun, Ka'bah, Leak Bali, hantu, thuyul, dan lain-lain (Hasan Basri, 2012: 23). Kehadiran bermacam tapekong menjadi atraksi yang banyak dinanti pengunjung. Wajar kalau warga berlomba-lomba membuat tapekong yang atraktif agar perayaan di desa mereka bisa memiliki karakteristik yang berbeda dengan desa lain.
Namun, usaha untuk menampilkan tapekong atraktif itu pula yang melahirkan permasalahan. Berikut saya kutipkan tulisan Hasan Basri (2012: 26-27) terkait permasalahan yang berlangsung.
Tapekong baru menjadi kontroversi ketika pada suatu kesempatan acara penutupan Forum Silaturahmi Alim Ulama...16 Mei 2006 di Pondok Pesantren Robitotul Islam di Dusun Jenisari Desa Genteng, diputarkan VCD tapekong perayaan Maulid Nabi di Desa Macanputih.Â
Tidak diketahui siapa yang membawa VCD tersebut...Singkat cerita VCD tersebut mengundang kontroversi. Karena dalam VCD tersebut ada gambar tapekong berupa wanita yang memakai BH dan para pemikulnya hanya menggunkan celana dalam.Â
Menyadari VCD tersebar luas, panitia Maulid Desa Macanputih melapor ke Polres Banyuwangi. Panitia menilai ada upaya sengaja untuk memprovokasi pelaksanaan arak-rakan maulid Macanputih.Â
Karena VCD itu tidak mewakili suasana secara keseluruhan acara arak-arakan. Tapekong di Macanputih tidak hanya menggambarkan wanita ber-BH, tapi banyak yang lain berupa masjid, unta, ka'bah, gajah dan lain-lain yang baik-baik.Â
Lagian, tapekong wanita itu tidak bermaksud melecehkan wanita, tetapi maunya menggambarkan wanita pelacur besok di akhirat akan ditusuk oleh malaikat. Para pemikul yang bercawat adalah penggambaran setan yang memuja dan menggoda wanita.
Permasalahan yang sengaja dimunculkan melalui pemutaran dan penyebaran VCD perayaan Endhog-endhogan di Macanputih memang bisa dibaca sebagai rekayasa politik untuk memecah-belah kerukunan warga Banyuwangi dengan memobilisasi isu dikotomis Islam vs non-Islam.Â
Meskipun adat itu sendiri merupakan bentuk sinkretisme atau hibriditas yang dilakukan masyarakat Using menyikapi syiar agama Islam di bumi Banyuwangi, masih saja ada endapan-endapan dikotomis atau biner antara kelompok santri maupun non-santri (baca: rakyat kebanyakan).Â
Permasalahan tersebut muncul akibat perbedaan dan ketidakutuhan tafsir terhadap visualitas tapekong yang menurut pemahaman santri dianggap tidak islami. Sama ketika mereka menafsir gandrung yang dianggap mengumbar maksiat. Perbedaaan, ketidakutuhan, dan jarak tafsir ini merupakan bentuk perebutan wilayah identitas yang bersifat kompleks.Â
Di satu sisi, komunitas Using Macanputih yang mewarisi sisa-sisa animisme dan Hinduisme, berusaha mengapropriasi makna keislaman dalam bingkai lokalitas mereka. Di sisi lain, komunitas santri menggunakan kacamata agama untuk melihat tafsir komunitas Using.
Perbedaan tafsir ini memang menjadi semacam "api dalam sekam" yang setiap saat bisa 'dibakar' dan 'diledakkan' sesuai dengan kepentingan politik pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya. Inilah celah dari mobilisasi keberbedaan identitas etnis yang bisa digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik.Â
Sementara, pihak komunitas sendiri sebenarnya tidak bermaksud demikian. Ritual Endhog-endhogan merupakan sinkretisme damai sekaligus siasat kultural-religi masyarakat Using terhadap dominasi agama Islam dalam kehidupan mereka. Mereka memang telah memeluk agama ini sejak era kolonial, tetapi tidak mau meninggalkan sepenuhnya warisan religi yang menjadi identitas komunal.Â
Semestinya, dialog religi ini tidak harus dipahami secara sempit karena terdapat konteks historis yang melatarinya. Namun, kehadiran pihak-pihak yang mengaku memiliki tafsir paling benar terhadap Islam menjadikan kekuatan identitas ini rentan dan mudah dimanfaatkan untuk memobilisasi isu-isu partikular.Â
Untungnya, masih terdapat kelompok Islam moderat, dalam hal ini Nahdlatul Ulama, yang menengahi permasalahan ini, sehingga persoalan tapekong tidak sampai menjadi konflik horisontal.Â
Kegagalan dalam memaknai simbol-simbol yang diusung dalam ritual Endhog-endhogan merupakan kegagalan kultural yang diakibatkan oleh monopoli tafsir permukaan yang dilakukan oleh sekelompok warga berhaluan tekstual-dogmatis. Mereka cenderung melihat dari tampilan permukan dari ritual, tanpa mau memahami pemaknaan historis-filosofis yang diyakini oleh komunitas.
Suhalik, sejarahwan Banyuwangi, menjelaskan bahwa Endhog-endhogan merupakan ritual yang berkaitan erat dengan syiar Islam, khususnya NU, dan dakwah untuk memperkuat keimanan masyarakat Using. Ritual ini diawali pertemuan di Bangkalan antara Mbah Kyai Kholil, Pimpinan Ponpes Kademangan dengan KH Abdullah Fakih pendiri Ponpes Cemoro Balak, Songgon, Banyuwangi.Â
Dalam pertemuan tersebut, Kyai Kholil mengatakan bahwa kembange Islam sudah lahir di nusantara (NU) yang dipersonifikasikan sebagai endhog (telur); kulit melambangkan kelembagaan NU, sedangkan isinya melambangkan amaliyah.Â
Sepulang dari pertemuan, Kyai Fakih pun menyebarkan amanah tersebut dengan cara mengarak keliling kampung gedebog (batang) pisang yang telah dihias dengan tancapan telur dan bunga dengan disertai lantunan sholawat dan dzikir. Inilah cikal-bakal Endhog-endhogan. Â
Masih menurut Suhalik, ritual ini juga mengandung makna filosofis tinggi. Endhog (telur) memiliki tiga lapisan: kuning, putih, dan cangkang. Ketiga lapis telur tersebut merupakan bahasa simbolik. Pertama, kuning telur merupakan embrio dari sebuah proses kehidupan.Â
Dalam bagian ini terdapat protein tinggi, maka dapat di ibaratkan sebagai ihsan dalam kehidupan. Kedua, putih telur yang berfungsi sebagai pembungkus dan pelindung kuning telur merupakan simbol dari Islam. Ketiga, cangkang ibarat iman dalam kehidupan.Â
Sementara, ditancapkannya telur di pohon pisang merupakan simbol dari manusia yang mempunyai qolbu yang dapat tancapkan apa saja, kebaikan ataupun keburukan. Maka iman, Islam dan ihsan adalah harmonisasi risalah yang di bawa Nabi Muhammad SAW, yang jika di tancapkan pada diri manusia akan menghasilkan manusia sesuai dengan kepribadian Beliau.Â
Seandainya pihak-pihak yang kontra terhadap ritual ini mau mempelajari dan mendalami makna filosofis dan asal-muasal kelahirannya, bisa dipastikan bahwa  kegagalan tafsir yang nyaris menimbulkan konflik horisontal bisa dihindari.Â
Keindahan dan kedalaman tafsir yang dimunculkan dari ritual ini menunjukkan kecerdasan lokal dalam memaknai kekuatan agama mayoritas yang mulai disyiarkan di bumi Blambangan sejak zaman kerajaan. Tentu saja, tafsir model ini tidak ditemukan dalam tradisi Islam di wilayah Arab.Â
Sementara, masyarakat Using memiliki tradisi agraris dan estetik yang sudah berkembang sejak lama, sehingga pelajaran-pelajaran tentang hakekat iman, ihsan, dan Islam yang dipancarkan dari kedirian Nabi Muhammad SAW tidak serta-merta dibiarkan menjadi ajaran dogmatis yang hanya membuat orang malas untuk meyakininya.Â
Kecerdasan lokal tersebut sekaligus membentuk identitas kultural-religi yang membedakan masyarakat Using dengan pemeluk-pemeluk Islam lainnya, baik di tanah Jawa, Indonesian, maupun dunia.Â
Perbedaan tafsir terhadap ritual dan adat juga melibatkan rezim kabupaten, khususnya terkait agenda pariwisata yang mereka programkan. Seperti kami jelaskan sebelumnya, pemerintah menginkorporasi pelaksanaan beberapa ritual yang dilaksanakan komunitas-komunitas Using.Â
Kebo-keboan (Alasmalang dan Aliyan), Seblang (Bakungan dan Olehsari), Endhog-endhogan (Kejoyo), Tumpeng Sewu dan Barong Ider Bumi (Kemiren) adalah sebagian ritual yang telah masuk dalam kalender wisata Pemkab Banyuwangi.Â
Masyarakat memang merasa senang karena identitas mereka mendapatkan legitimasi negara, sehingga mereka pun mendapatkan bantuan pendanaan bagi pelaksanaan ritual. Namun, itu semua juga membawa implikasi berupa beberapa penyesuaian tampilan acara yang sesuai dengan selera kultural rezim penguasa.Â
Dalam Seblang Bakungan, misalnya, adegan adu ayam jago dipaksa untuk ditiadakan karena oleh rezim dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa acara tambahan juga digelar dalam pelaksanaan Kebo-keboan. Dalam Seblang Olehsari, tempat pelaksanaan ritual dibuat megah, meskipun pada akhirnya tidak digunakan karena penari tidak bisa trance bila menempati panggung megah.
Yang menarik, ramainya kegiatan ritual yang masuk agenda wisata pemerintah kabupaten telah memunculkan gairah warga Using untuk 'menghidupkan-kembali' ritual-ritual yang lama tidak digelar.Â
Salah satu ritual yang 'dihidupkan-kembali' adalah tradisi Sapi-sapian di Desa Kenjo, Glagah Banyuwangi. Busairi, salah satu tokoh adat Kenjo, menjelaskan bahwa sapi-sapian sudah ada sejak sekira tahun 1700-an sewaktu 3 orang dari Bugis membuka lahan untuk pertama kali (Sapi-sapian).
Karena kesulitan air, mereka memilih lahan yang sekarang berada di Kenjo. Untuk membajak lahan persawahan, mereka menggunakan tenaga manusia; dua orang menjadi sapi yang menarik bajak dan 1 orang mengendalikan bajak. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan tenaga binatang.Â
Pilihan pun jatuh kepada sapi. Untuk mengenang leluhur yang mereka sebut "Mbah Daeng" itulah warga Kenjo menggelar Sapi-sapian. Dalam pelaksanaannya, warga desa mengarak dua penduduk yang memakai penutup kepala berupa tiruan kepala sapi. Bahu mereka diikatkan kepada bambu sehingga menyerupai alat bajak.Â
Mereka berdua diikuti rombongan ibu-ibu yang membawa bermacam hasil bumi dan para petani yang membawa-serta berbagai alat pertanian, juga memainkan berbagai alat musik. Tujuan ritual ini adalah menghormati arwah leluhur, Mbah Daeng, dan mengucapkan syukur dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.Â
Masih menurut Busairi, tradisi ini berhenti pada tahun 1962. Tidak ada alasan yang jelas mengenai penghentian tersebut. Dan mulai dihidupkan kembali beberapa tahun terakhir, dimulai tahun 2013. Â
Dihidupkannya kembali ritual Sapi-sapian dan juga ritual-ritual lainnya bisa dibaca dalam beberapa sudut pandang. Pertama, munculnya keberanian untuk 'mengidupkan-kembali' ritual lama merupakan bentuk ekspresi komunal untuk menegaskan identitas mereka di tengah-tengah keragaman identitas Using dan identitas kultural Banyuwangi.Â
Kedua, di tengah-tengah hegemoni modernitas yang berpotensi menyeragamkan warna kehidupan, masyarakat lokal nyatanya masih belum mau kehilangan subjektivitas kultural mereka. Kondisi ini merupakan warna pascakolonialitas umum di Banyuwangi dan daerah-daerah lain di Indonesia.Â
Bahwa di tengah-tengah hasrat menjadi modern yang semakin menguat, masyarakat lokal masih bisa memainkan identitas komunal untuk kepentingan-kepentingan partikular.Â
Ketiga, kekhasan dan keberbedaan dari komunitas Using lainnya merupakan modal kultural untuk mendapatkan perhatian dari para pengunjung dan media sehingga bisa menjadi alasan untuk masuk menjadi agenda wisata kabupaten.Â
Sebenarnya, dalam konsep wisata budaya berbasis komunitas, pemeriahan sebuah ritual yang melibatkan warga bisa menjadi atraksi kultural yang sekaligus sebagai pemantik untuk mempromosikan potensi desa.Â
Namun, ketika tidak bisa mengelola dengan baik, ritual hanya akan menjadi perayaan sesaat yang tidak memberikan implikasi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, bagi masyarakat lokal, ketika tujuan utama dari ritual ditujukan sebagai ungkapan syukur, maka target ekonomi bukanlah utama.
Ritual-ritual bercorak agraris memang masih dijalankan oleh komunitas-komunitas Using untuk menegaskan keberbedaan dan keunikan identitas di antara mereka, meskipun sama-sama ditujukan untuk menghormati kekuatan adikodrati yang ada dalam kehidupan mereka.Â
Namun, perayaan identitas komunal dalam pelaksanaan ritual juga tidak murni lagi menjadi milik mereka. Rezim negara sejak Orde Baru hingga saat ini juga merasa menjadi 'pemilik legal' dari ritual-ritual komunal tersebut, sehingga mereka bisa berinvestasi di dalam pelaksanaannya.Â
Bahkan, rezim Abdullah Azwar Anas (AAA) hingga rezim saat ini membuat program wisata dengan label Banyuwangi Festival, di mana pelaksanaan ritual menjadi agendanya.Â
Di tengah-tengah kehadiran negara dan sponsor, ritual memang bukan lagi semata-mata menjadi upaya untuk memperkuat identitas yang mengikat dan menggerakkan semua anggota komunitas Using, tetapi juga menjadi ajang perayaan, inkorporasi, dan komodifikasi dengan alasan menggerakkan ekonomi rakyat.Â
BacaanÂ
Basri, Hasan. 2012. "Adat Endog-endogan". Dalam Lembar Kebudayaan, No. 22: 23-28.
Kholil, Ahmad. 2010. "Seblang dan Kenduri Masyarakat Olehsari: Relasi Ideal antara Islam dan Budaya Jawa di Banyuwangi". Makalah disampaikan dalam Annual Conference on Islamic Studies ke-10, Banjarmasin, 1-4 November.
Subaharianto, Andang & Ikwan Setiawan. 2012. "Menjadi Sang Hibrid: Hibriditas Budaya dalam Masyarakat Lokal, Studi Kasus di Masyarakat Using dan Tengger." Laporan Penelitian. Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H