Apa yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut merupakan "pembajakan terhadap gerakan politik identitas" atau politisasi identitas karena para elit memahami bagaimana masyarakat yang memiliki kesamaan identitas agama dan budaya mudah sekali disulut untuk mendukung kepentingan mereka. Inilah yang sering menimbulkan salah sangka dan tuduhan stigmatik terhadap politik identitas.
Gimenez (2006: 431-432) melontarkan beberapa kritik terhadap penggunaan politik identitas dewasa ini. Pertama, politik identitas, sebagai ideologi dan praktik, mengaburkan persoalan kelas sebagai sumber pengalaman dan permasalahan bersama, membuka dan menutup kesempatan-kesempatan edukasional, sosial, dan ekonomi.Â
Kedua, kebersamaan dalam komunitas seringkali mentransendenkan perbedaan rasial, etnik, dan kultural serta bisa menjadi basis bagi mobilisasi dan pengorganisasian kolektif dalam latar yang beragam, seperti ketetenggaan, sekolah, komunitas, dan tempat kerja.Â
Memang, politik identitas menjadikan orang dengan perbedaan historis dan keturunan mengalami kesamaan secara kultural, namun kondisi material dan kebutuhannya tidak pernah serupa. Sebagai contoh, minoritas etnik kelas pekerja, khususnya dari strata miskin, membutuhkan pelatihan kerja, pekerjaan layak, rumah terjangkau, perawatan kesehatan, dan lain-lain.Â
Karena politik identitas tidak pernah berdasarkan pada kondisi-kondisi struktural yang menghasilkan kepentingan objektif, seperti kelas, ia bisa menjadi senjata ideologis bagi semua kepentingan politik: menggiring orang dengan kesamaan kepentingan untuk melawan yang lain, mengaburkan kondisi-kondisi bagi kerjasama dan penerimaan potensial bagi kekuatan politik.Â
Lebih dari itu, politik identitas bisa digunakan kelas dominan dan identitas dominan untuk mengklaim opresi dan eksklusi dengan kebijakan-kebijakan dini yang ditujukan untuk menata kembali pengaruh dari ketidaksamaan, melalui klaim "diskriminasi berbalik" dan "pembenaran politik."
Kelompok supremasi kulit putih di Amerika Serikat (AS), misalnya, melakukan gerakan identitas untuk menunjukkan posisi dominan mereka dalam sejarah dan pemerintahan. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS tidak lepas dari politisasi identitas kulit putih, sehingga kebijakan yang ia buat lebih menguntungkan kelompok dominan.
Terlepas dari kritik-kritik di atas, banyak gerakan sosial-politik minoritas etnis/ras/gender/kelas yang dilakukan dengan menggunakan politik identitas berbasis mobilisasi budaya khas mereka.Â
Mereka berusaha menegosiasikan dan memperjuangkan hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan kultural kepada rezim negara yang dianggap telah me-liyan-kan komunitas mereka dalam proses berbangsa dan bernegara dengan memobilisasi identitas esensial (West-Newman, 2004; Thornberry, 2002; Harvey, 2005).Â
Mereka juga menegaskan keberbedaan kultural mereka di tengah-tengah negara multikultural agar eksistensi mereka diakui (Anthias, 2002; Jimenez, 2004; Da Silva, 2005; Hopkins, 2007).Â