Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Melampaui Rasa Takut: Tiga Film Pendek Berlatar Timur Tengah

14 Desember 2022   15:53 Diperbarui: 8 Januari 2023   07:40 1486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Mary memandangi foto putranya. Sumber: Trailer Mary Mother/Youtube

Apakah orang-orang yang dikalahkan oleh hasrat berkuasa rezim politik harus pasrah dan diam menerima keadaan yang sebenarnya tidak pernah mereka impikan atau bayangkan? Apakah mungkin bagi mereka melakukan ikhtiar-ikhtiar sederhana untuk ‘bermain’ di tengah-tengah penindasan yang seringkali saja mengatasnamakan agama ataupun kepentingan tertentu?

Awalan

Dua pertanyaan tersebut bisa menjadi pemandu alternatif untuk memahami narasi tiga film yang diproduksi oleh sineas dari kawasan Timur Tengah, yakni Mary Mother (Sadam Wahidi, 2016) berlatar Afganistan, The Pianist of Yarmouk (Virkam Ahluwalia, 2017) berlatar Syiria, dan  It's Back Then (Wathab Siga, 2017) berlatar Irak. 

Ketiga film tersebut mengusung permasalahan sosial, budaya, dan politik yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat akibat peperangan. Sebagai karya film yang diproduksi berdasarkan masalah yang berlangsung di kawasan Timur Tengah, para sineas memang menghadirkan visualitas tipikal yang berpotensi untuk menawarkan sesuatu yang esensial. 

Bagi saya , esensialisasi bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, senyampang ada kepentingan penegasan atau penguatan sesutau yang secara sadar dilakukan oleh subjek-subjek yang terlibat di dalamnya. 

Mengikuti pemikiran Spivak tentang esensialisme strategis (Morton, 2007), identitas bisa dimanfaatkan secara esensial untuk kepentingan penguatan sebuah komunitas atau sekelompok subjek yang berada dalam dominasi rezim tertentu. 

Perspektif tersebut akan saya gunakan untuk melihat bagaimana para sineas dari Timur Tengah mengeksploitasi permasalahan rumit dalam masyarakat serta identitas kultural yang sangat khas sebagai sumber wacana untuk membangun rangkaian narasi. 

Prinsip esensialisme strategis memudahkan sineas untuk menghadirkan secara renyah permasalahan-permasalahan yang tampak sederhana dalam kehidupan para subjek filmis di dalam komunitasnya masing-masing. Namun, sejatinya, permasalahan tersebut tidak berdiri sendiri karena berjalin-kelindan dengan persoalan ekonomi, politik, maupun budaya yang lebih besar. 

Dalam konteks demikian, ketiga film tersebut sejatinya tidak sedang mengajak kita untuk menikmati hiburan eskapis. Alih-alih, mereka mengajak kita membuka peristiwa demi peristiwa sederhana untuk selanjutnya memahami mereka dalam hubungannya dengan kepentingan ekonomi dan politik dalam bingkai nasional dan global. 

Dalam peristiwa-peristiwa naratif itulah kita akan menemukan bagaimana orang-orang yang di-marjinalisasi secara ekonomi dan politik berusaha untuk “tidak hanya diam” di tengah-tengah penindasan yang mereka rasakan secara fisik maupun psikis. 

Meskipun, resistensi secara frontal tidak disajikan, keberlanjutan usaha mereka untuk meng-ada merupakan keberanian dan terobosan yang asyik diperbincangkan lebih jauh lagi. 

Konflik berdarah di kawasan Timur Tengah, seperti Afghanistan, Palestina, Lebanon, Syiria, dan Yaman selalu menghadirkan kengerian dan kesedihan mendalam. Nyawa manusia begitu murah dan setiap saat bisa dilenyapkan oleh manusia-manusia bengis berlagak malaikat dan berdalih agama. 

Rasa-rasanya tidak ada harapan lagi untuk bertahan di tanah yang disebut-sebut sebagai tempat turunnya agama-agama samawi tersebut. Pilihan untuk mengungsi ke Eropa seringkali menjadi alternatif terakhir ketika harapan semakin lenyap. Sementara, pilihan bertahan adalah keluarbiasaan yang menantang bermacam kengerian. 

Dalam konsteks seperti itulah Mary Mother, The Pianist of Yarmouk, dan It’s Back Then diproduksi. Masing-masing film memiliki kekuatan sinematik untuk membahasakan permasalahan personal dan keluarga sebagai representasi yang mewakili permasalahan bangsa yang berada dalam kondisi krisis kemanusiaan akibat perang.

Ketika Ibu Mary Menjaga Harapan

Domestikisasi peran subjek perempuan dalam aktivitas dan kehidupan keluarga merupakan salah satu proses kultural yang dilawan banyak aliran feminisme; dari liberal hingga radikal. 

Kerja-kerja domestik hanya akan memasukkan para perempuan dalam habitus dan rutinitas yang tidak membawa perempuan dann hanya membentuk mereka sebagai objek subordinat yang harus mengabdikan keseluruhan hidupnya untuk para suami dan anak-anaknya. 

Namun, bagi perempuan timur, menjadi ibu tidak harus dimaknai negatif karena mereka terbiasa dengan kultur partisipasi di ruang publik, meskipun harus mengurusi keperluan rumah tangga. 

Ibu Mary memandangi foto putranya. Sumber: Trailer Mary Mother/Youtube
Ibu Mary memandangi foto putranya. Sumber: Trailer Mary Mother/Youtube

Dengan budaya domestik pula, mereka bisa mengkonstruksi kekuatan ekonomi, politik, dan kultural yang selalu dinegosiasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga posisi dan pemosisian mereka berada dalam ruang dan praksis dinamis, termasuk menyiapkan generasi masa depan yang akan meneruskan keberlanjutan keluarga.  

Mary Mother adalah cerita seorang ibu yang menolak untuk pasrah; membiarkan putranya menjadi korban perang di Afghanistan. Anak lelakinya adalah seorang tentara pemerintah yang harus mempertahankan kota Kunduz dari serangan Taliban. Berita radio yang menyiarkan diserang dan dikuasainya Kunduz oleh pasukan Taliban membuat Ibu Mary dilanda ketakutan yang luar biasa. 

Bisa dikatakan, ketakutan stereotip ini merupakan kewajaran karena setiap ibu pasti tidak menginginkan anak yang sudah dikandung, dilahirkan, dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan welas asih mengalami peristiwa buruk. Eksploitasi ketakutan ini menghadirkan representasi esensial seorang ibu yang tidak bisa menolak kesedihan akan sebuah kemungkinan untuk kehilangan. 

Ibu Mary meminta informasi terkait putranya. Sumber: Trailer Mary Mother/Youtube
Ibu Mary meminta informasi terkait putranya. Sumber: Trailer Mary Mother/Youtube
Namun, sineas film ini tidak ingin berhenti pada penggambaran esensial tersebut. Ibu adalah kekuatan yang berusaha melampaui ketakutan, kesedihan, dan, bahkan, kemarahan di balik semua peran domestik yang ia mainkan dalam kehidupan rumah tangga. 

Kekuatan Ibu Mary adalah sebentuk ketulusan yang bisa mengatasi semua hambatan dan tantangan selama perjalanan panjang untuk menemukan si buah hati. Seorang diri ia memutuskan untuk menemukan anak lelakinya.

Setelah melalui perjalanan panjang, Ibu Mary bisa bertemu putranya yang mengalami luka dan harus mendapatkan perawatan intensif di atas bus tua oleh salah satu warga lelaki yang menemani para tentara Taliban. Meskipun sempat mendapatkan rayuan dari pemimpin tentara Taliban, Ibu Mary tetap bertahan demi bisa menemani buah hatinya. 

Apapun yang terjadi, ia harus berada di sisi putranya. Peran esensial yang mengharuskan perempuan selalu siap untuk anak-anaknya menjadikan adegan-adegan di dalam bus semakin, setidaknya, menawarkan wacana “kehebatan seorang ibu” dihadirkan melalui rangkaian adegan naratif tersebut. Kesadaran sinematik tersebut merupakan politik representasi yang dijalankan oleh sineas. 

Ibu Mary mengenakan burkah, menenemani putranya yang terluka di dalam bus dalam pengawasan Taliban. Sumber: Trailer Mary Mother/Youtube
Ibu Mary mengenakan burkah, menenemani putranya yang terluka di dalam bus dalam pengawasan Taliban. Sumber: Trailer Mary Mother/Youtube
Hal itu diperkuat dengan adegan terakhir yang meskipun terkesan terlalu mudah, si lelaki muda yang menolong anak Ibu Mary berhasil mengendalikan dan membawa kabur bus ketika para tentara Taliban sedang sholat. Namun, narasi tersebut menyiratkan adanya sebuah harapan yang harus diperjuangkan dalam kondisi peperangan.  

Dalam sejarah Afghanistan, kehadiran rezim Taliban memang cukup mengerikan. Keberhasilan mereka merebut kendali negara dari pemerintah sah menyebabkan banyak kengerian dan tragedi kemanusiaan. Perempuan keluar rumah harus mengenakan penutup muka dan harus ditemani oleh suami atau muhrimnya. 

Dalam banyak kasus, ketika mereka keluar sendirian, akan mendapatkan hukuman. Yang lebih mengerihkan, mereka dilarang bersekolah di sekolah publik sehingga akses terhadap pendidikan benar-benar dimatikan. Kondisi menyedihkan tersebut tidak harus menjadikan para perempuan berada dalam lingkaran kengerian terus-menerus tanpa bisa melakukan apa-apa. 

Tentara Taliban memeriksa sebuah rumah. Sumber: Trailer Mary Mother/Youtube
Tentara Taliban memeriksa sebuah rumah. Sumber: Trailer Mary Mother/Youtube
Pasrah kepada kondisi merupakan pilihan filosofis yang bisa mengamankan tubuh, tetapi tidak dengan pikiran dan batin para perempuan. Ketika pikiran dan batin tidak pernah bisa merasakan kemerdekaan, di saat itulah jaminan fisik oleh rezim Taliban sebenarnya membunuh kualitas kemanusiaan perempuan Afghanistan. 

Berada dalam konteks historis tersebut, pilihan sinematik Mary Mother merupakan tawaran wacana kepada warga Afghanistan dan warga negara lain yang mengalami kondisi serupa tentang perjuangan perempuan sebagai sebagai ibu yang berfungsi secara esensial-strategis. 

Ibu Mary, dengan demikian, adalah nyala kehidupan yang tidak boleh dikalahkan oleh kekuatan apapun yang hendak mendominasi mereka.

Meninggalkan Yarmouk

Dalam situasi normal, rasa-rasanya, tidak ada manusia yang mau meninggalkan tempat kelahirannya. Peristiwa sehari-hari bersama keluarga, tetangga, dan komunitas membentuk ikatan kultural yang ikut mempengaruhi gerak kehidupan dan visi masa depan seorang individu. 

Namun, ketika perang dikobarkan oleh manusia-manusia haus kekuasaan berdalih agama memporak-porandakan struktur batin, impian, dan harapan manusia, bertahan memang menjadi pilihan yang prosentasenya semakin kecil. 

Si pianis bermain musik bersama anak-anak Yarmouk sebelum perang terjadi. Sumber: Trailer The Pianist of Yarmouk/Youtube
Si pianis bermain musik bersama anak-anak Yarmouk sebelum perang terjadi. Sumber: Trailer The Pianist of Yarmouk/Youtube

Sementara, mengungsi ke negara yang relatif aman dari perang menjadi pilihan eksistensial yang harus dipilih dan diperjuangkan, meskipun tidak mudah dan seringkali harus bertaruh nyawa. Kondisi itulah yang dialami warga Syiria, Afghanistan, Yaman, Lebanon, Palestina, dan negara-negara lain yang dilanda perang berkepanjangan.

Pilihan sulit itu pula yang harus diambil oleh Aeham Ahmad dan keluarganya. Sebagai warga Yarmouk Syiria keturunan Palestina, awalnya mereka hidup dalam suasana damai; kota bergerak dinamis mengikuti pertumbuhan warganya. Semua berubah ketika pemberontak mulai melawan rezim Asa’ad. 

Perang memporak-porandakan bangunan fisik dan tubuh sosial, melenyapkan harapan untuk berkehidupan yang layak. Hasrat untuk berkuasa atau mempertahankan kuasa telah menegasikan perintah kitab suci untuk memelihara kehidupan buat umat manusia. Awalnya, Aeham dan keluarganya masih berusaha bertahan sembari berharap perang akan segera redah. 

Warga Yarmouk menderita akibat perang. Sumber: Trailer The Pianist of Yarmouk/Youtube
Warga Yarmouk menderita akibat perang. Sumber: Trailer The Pianist of Yarmouk/Youtube
Ia menggunakan piano kesayangannya untuk bernyanyi, mengharap para pengungsi tidak jadi meninggalkan Yarmouk dan Syiria, memanggil para pengungsi untuk kembali. Piano menjadi ‘alat ideologis’ untuk mengumpulkan ingatan warga akan Yarmouk dan segenap ceritanya. 

Sayangnya, mereka tidak pernah kembali karena trauma akan kematian yang menimpa keluarga, kerabat, dan kawan. Dihancurkannya piano Aeham menjadi titik akhir kesabarannya sebagai warga Yarmouk.

Sebagai film dokumenter yang mengambil alur flash back, The Pianist of Yarmouk menarasikan betapa perjalanan menuju Jerman bukanlah perjalanan mudah. Dibayang-bayangi kengerian dan tragedi yang menyebabkan banyak pengungsi meninggal atau terluka, Aeham memulai perjalanan panjang yang benar-benar menguji nalurinya sebagai manusia. 

Apalagi ia harus berpisah dari istri dan kedua buah hatinya. Memang, Aeham tidak menjadi pelaku langsung dalam proses pengungsian, karena film ini dibuat ketika dia sudah berada di Jerman. Namun, itu semua tidak mengurangi wacana yang disampaikan karena ia adalah ‘otoritas film’ yang memilliki cerita dengan segala seluk-beluknya. 

Si pianis bertutur tentang awal perang di Yarmouk. Sumber: Trailer The Pianist of Yarmouk/Youtube
Si pianis bertutur tentang awal perang di Yarmouk. Sumber: Trailer The Pianist of Yarmouk/Youtube
Menjaga harapan untuk hidup dalam ketidakmenentuan perang dan pengungsian menjadi kekuatan yang terus diperjuangkan. Dan, hanya dengan kekuatan itulah Aeham dan pengungsi lainnya bisa mengatasi banyak masalah. Hadiah terindah baginya adalah pertemuan kembali dengan istri dan kedua anaknya yang sempat tinggal di Damaskus.

Keahliannya bermain piano, nyatanya, menjadi “media spiritual” yang bukan hanya berfungsi untuk pemuas kerinduan Aeham untuk Yarmouk, tetapi juga untuk memelihara memori dan memperkuat kesadaran komunal di negeri baru. Aeham memainkan lagu sedih yang berkisah tentang Syiria yang dihancurkan. 

Ingatan komunal warga Syiria di Jerman menjadi tersambung dan tetap terjaga karena meskipun berduka dengan kehancuran Syiria, sebagai subjek diasporik di negara Barat, mereka masih enggan menghapuskan ingatan komunal di kampung halaman. 

Bagaimanapun juga, Yarmouk dan Syiria adalah keabadian yang akan selalu diingat melalui denting piano yang dimainkan Aeham serta peristiwa dan medium lainnya. Tidak mengherankan, Aeham banyak mendapatkan job pertunjukan di Jerman.

Lebih jauh lagi, apa yang menarik untuk dicermati dari film ini adalah pilihan medium simbolik bernama piano. Pasti banyak medium yang bisa digunakan untuk membincang kompleksitas permasalahan dan perjuangan para pengungsi Timur Tengah untuk survive  di negeri induk baru. 

Namun, dipilihnya piano yang biasa dimainkan Aeham bisa dibaca sebagai penekanan sinematik tentang signifikansi produk kebudayaan dalam memperkuat solidaritas, memelihara ingatan, dan menyemaikan semangat survival di tengah-tengah masyarakat induk. 

Bagi Aeham dan warga diasporik di Jerman, piano dan permainan musikal merupakan proses berkebudayaan yang selalu menghadirkan makna-makna baru tentang harapan untuk menghidupkan kehidupan yang begitu menyedihkan dengan visi baru di negeri orang, tempat di mana mereka juga harus bersiasat dan beradaptasi dengan manusia, nilai budaya, masyarakat, dan konstitusi baru. 

Keceriaan anak-anak Yarmouk. Sumber: Trailer The Pianist of Yarmouk/Youtube
Keceriaan anak-anak Yarmouk. Sumber: Trailer The Pianist of Yarmouk/Youtube
Meskipun demikian, mereka tidak mungkin melupakan semua peristiwa dan kenangan tentang Yarmouk dan Syiria, sehingga dalam lirik lagu kesedihan melihat hancurnya tanah air mereka begitu dominan. 

Merawat kenangan, seburuk apapun, akan selalu menghubungkan mereka dengan keinginan sederhana untuk melihat tanah air dan kampung halaman lebih baik lagi; entah itu kapan. Setidaknya, dengan berkumpul sembari menikmati permainan piano dan lagu-lagu tentang Syiria, mereka masih disatukan oleh solidaritas dan kerinduan untuk kehidupan yang lebih baik.

Spritualitas Air dan Keikhlasan Berkorban untuk Sesama

Karbala, kota di utara Irak, diyakini sebagai salah satu tempat suci bagi komunitas Syi’ah karena di kota ini terdapat makam Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Setiap tahun warga Syi’ah melakukan ritual suci di Karbala. 

Selama berlangsungnya Perang Teluk, koalisi pimpinan Amerika Serikat, sangat berhati-hati di kota ini agar tidak menimbulkan kerusakan, khususnya untuk bangunan masjid. 5-19 Maret 1991, meledaklah perlawanan kelompok-kelompok Syi’ah di Karbala terhadap rezim Saddam Husein yang dianggap berlaku semena-mena (Karbala/Wikipedia). 

Pada 5 Maret, warga Syi’ah keluar rumah menggunakan senjata pisau dan tangan kosong menyerang pasukan pemerintah. Mereka juga merampas senjata dari tentara Partai Baath, serta berhasil mengambilalih RS al-Hussaini. Makam suci para imam menjadi markas perlawanan Syi’ah. Para pejuang Syi’ah juga membunuh anggota dan agen top Partai Baath serta membunuh staf gubernur. 

Kehancuran akibat akibat peristiwa Karbala. Sumber: wikishia.net
Kehancuran akibat akibat peristiwa Karbala. Sumber: wikishia.net

Kemenangan itu hanya berlangsung sehari, karena pada 6-11 Maret, pasukan loyalis Saddam menggunakan senjata berat, helikopter, dan tank untuk memberangus perlawanan tersebut. Mereka, bahkan, menyerang makam suci dan membunuh mayoritas warga yang berada di sana. Tentara menangkap dan membunuh para pemuda yang diduga ikut memberontak. 

Demikian juga para agamawan Syi’ah ditahan dan tidak pernah lagi terdengar kabarnya. Rezim Saddam Hussein benar-benar membunuh banyak warga Syi’ah dan meninggalkan mereka di jalanan serta melarang orang untuk menguburkannya. Tindakan tentara Saddam ini meninggalkan luka mendalam bagi warga. 

Film pendek, It’s Back Then, mengambil kondisi yang begitu menakutkan dan mencekam selama perlawanan komunitas Syi’ah di Karbala sebagai latarnya. Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuan mengalami masa-masa sulit di tengah-tengah berkecamuknya upaya tentara pemerintah untuk membereskan perlawanan warga Syi’ah. 

Mereka kesulitan bahan makanan dan air. Kondisi tersebut membuat sang istri marah kepada suaminya yang hanya diam di rumah sembari membuat memoar; entah apa yang sedang ia tulis. Ketika si istri mengajak anak perempuannya ke tempat penampungan, si suami masih berdiam di rumah, dicekam rasa takut untuk keluar, meskipun ia juga merasakan haus dan lapar. 

Menyadari bahwa istri dan anaknya membutuhkan air, si lelaki memberanikan diri untuk keluar rumah. Di sebuah jalan ia ikut berebut air dari mobil tangki bersama warga lainnya. Sayangnya, air dalam tangki pun habis. Namun, si suami tetap berusaha mendapatkan setetes demi setetes air yang keluar dari kran mobil tangki yang beranjak pergi.

Adegan di atas, meskipun tidak menghadirkan kengerian karena pembunuhan yang dilakukan tentara Saddam, berhasil memberikan gambaran betapa menyedihkannya kondisi warga biasa di tengah-tengah peristiwa politik-berdarah tersebut. 

Si suami dan para lelaki lain yang berebut air merupakan manusia-manusia yang berusaha mempertahankan dan memperjuangkan kehidupan di tengah-tengah penindasan yang dilakukan rezim. Perang ataupun konflik politik selalu saja menghadirkan tragedi bagi manusia-manusia yang tidak berdosa. 

Bukan hanya karena letupan senapan dan berondongan tank, tetapi juga karena kelaparan dan kehausan. Kemauan si suami untuk berjuang mendapatkan beberapa tetes air demi istri dan buah hatinya, dengan demikian, bisa dibaca sebagai kegigihan lelaki yang bertanggung jawab kepada keluarganya. 

Memang, kita bisa membaca adanya esensialisme superioritas lelaki dalam kondisi apapun. Akan tetapi, kita juga tidak boleh melupakan bahwa esensialisme strategis ini dibuat untuk mengabarkan secara luas bahwa masih ada para lelaki biasa yang memperjuangkan kehidupan keluarganya di tengah-tengah tragedi kemanusiaan. 

Lelaki bukan lagi mewakili subjektivitas personalnya, tetapi subjektivitas komunal yang harus ditetap dihidupkan, meskipun bertaruh nyawa. 

Suara rintihan perempuan tua yang meminta tolong karena kehausan dan kelaparan menantang semua nalar dan isi batin si suami. Antara mengikuti keinginanya untuk segera memberikan air kepada istri dan anaknya atau memberikannya kepada si perempuan. Pada akhirnya, si suami memilih untuk mencari di perempuan dan ketika menemukannya ia segera memberikan sedikit air itu. 

Spiritualitas yang sungguh agung ditunjukkan melalui adegan tersebut. Pilihan eksistensial yang dipilih memang mengalahkan pertimbangan rasional terkait keluarganya yang juga membutuhkan air. Kualitas kemanusiaan menjadi kata kunci spiritualitas yang dilandasi perhatian kepada sesama manusia. 

Keyakinan bahwa semua kebaikan untuk sesama manusia merupakan perintah mulia Tuhan yang harus dijalankan apapun kondisinya memang bisa menguji tingkat keimanan seseorang. Kemauan dan keberhasilan untuk menjalankannya, meskipun tanpa dalil dan ekspresi religi yang luar biasa, akan selalu diberikan balasan terbaik oleh Tuhan. 

Film ini, akhirnya, harus menghadirkan balasan tersebut dalam wujud hujan yang dinantikan banyak orang yang tengah kesulitan air. Ekspresi kegembiraan si suami, si istri, si anak perempuan, dan warga lain yang di-shooting dengan sudut pandang close up dan extreme close up merupakan penegasan betapa indahnya balasan yang diberikan Tuhan. 

Untuk memperkuat kuasa Tuhan yang selalu memberikan kebaikan ke muka bumi ketika manusia mau menjalani spiritualitas dengan penuh keikhlasan, film ini menghadirkan visualisasi air hujan yang turun dari langit dan jatuh dari atas bagian atap rumah susun yang terbuka. 

Air itu meluncur deras dari atas, dari Tuhan Sang Pemberi Kebaikan. Segala pilihan spiritualis yang ditempuh manusia merupakan perjuangan untuk mengabarkan dan memberikan kebahagiaan kepada manusia lain. Dengan demikian, untuk menghadirkan ajaran kemanusiaan berbasis agama, film ini tidak perlu ‘bermandikan’ ayat-ayat suci. 

Cukup dengan pilihan dan laku spiritual kecil, maka kita akan mendapatkan balasan yang cukup indah; ia akan kembali kepada kita. Begitupula beberapa tetes air yang kembali dalam wujud limpahan air hujan yang sangat membahagiakan.  

Catatan Penutup

Dalam situasi absurditas perang, para sineas Mary Mother, The Pianist of Yarmouk, dan It's Back Then menawarkan bukan fatalisme, tetapi kemauan dan kekuatan menemukan celah dan kesempatan untuk bersiasat dan melanjutkan kehidupan. 

Ketika fatalisme yang dipilih, manusia-manusia yang sejatinya dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan dominan ataupun kelompok berbasis agama akan menjadi debu yang hanya bisa berterbangan ditiup angin atau musnah dari sejarah kehidupan. 

Menjaga harapan, sekecil apapun, menjadi penting di tengah bermacam tragedi kemanusiaan dan permasalahan ekonomi-sosial-politik yang tidak menguntungkan rakyat biasa. 

Menurut saya pilihan wacana para sineas dari ketiga film tersebut menegaskan politik sinematik yang memproyeksikan tragedi bukan sebagai kemutlakan yang bisa menjadikan manusia-manusia yang dikalahkan benar-benar kalah. Sebaliknya, manusia-manusia yang dikalahkan itu tidak boleh menyerah kalah. 

Mereka bisa mengupas dan mengungkap lebih jauh lagi  ketidakadilan yang menyebabkan mereka dikalahkan dan, untuk selanjutnya, memperjuangkan kehidupan. 

Politik sinematik tersebut juga memberikan kritik sekaligus peringatan kepada kelompok dominan, apapun bentuk dan ideologinya, bahwa kekuasaan yang mereka miliki dan praktikkan bukanlah jaminan mutlak bahwa rakyat akan kalah.  

Bacaan 

Morton, S. 2007. Gayatri Spivak. London: Routledge.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun