Bisa dikatakan, ketakutan stereotip ini merupakan kewajaran karena setiap ibu pasti tidak menginginkan anak yang sudah dikandung, dilahirkan, dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan welas asih mengalami peristiwa buruk. Eksploitasi ketakutan ini menghadirkan representasi esensial seorang ibu yang tidak bisa menolak kesedihan akan sebuah kemungkinan untuk kehilangan.
Namun, sineas film ini tidak ingin berhenti pada penggambaran esensial tersebut. Ibu adalah kekuatan yang berusaha melampaui ketakutan, kesedihan, dan, bahkan, kemarahan di balik semua peran domestik yang ia mainkan dalam kehidupan rumah tangga.
Kekuatan Ibu Mary adalah sebentuk ketulusan yang bisa mengatasi semua hambatan dan tantangan selama perjalanan panjang untuk menemukan si buah hati. Seorang diri ia memutuskan untuk menemukan anak lelakinya.
Setelah melalui perjalanan panjang, Ibu Mary bisa bertemu putranya yang mengalami luka dan harus mendapatkan perawatan intensif di atas bus tua oleh salah satu warga lelaki yang menemani para tentara Taliban. Meskipun sempat mendapatkan rayuan dari pemimpin tentara Taliban, Ibu Mary tetap bertahan demi bisa menemani buah hatinya.
Apapun yang terjadi, ia harus berada di sisi putranya. Peran esensial yang mengharuskan perempuan selalu siap untuk anak-anaknya menjadikan adegan-adegan di dalam bus semakin, setidaknya, menawarkan wacana “kehebatan seorang ibu” dihadirkan melalui rangkaian adegan naratif tersebut. Kesadaran sinematik tersebut merupakan politik representasi yang dijalankan oleh sineas.
Hal itu diperkuat dengan adegan terakhir yang meskipun terkesan terlalu mudah, si lelaki muda yang menolong anak Ibu Mary berhasil mengendalikan dan membawa kabur bus ketika para tentara Taliban sedang sholat. Namun, narasi tersebut menyiratkan adanya sebuah harapan yang harus diperjuangkan dalam kondisi peperangan.
Dalam sejarah Afghanistan, kehadiran rezim Taliban memang cukup mengerikan. Keberhasilan mereka merebut kendali negara dari pemerintah sah menyebabkan banyak kengerian dan tragedi kemanusiaan. Perempuan keluar rumah harus mengenakan penutup muka dan harus ditemani oleh suami atau muhrimnya.
Dalam banyak kasus, ketika mereka keluar sendirian, akan mendapatkan hukuman. Yang lebih mengerihkan, mereka dilarang bersekolah di sekolah publik sehingga akses terhadap pendidikan benar-benar dimatikan. Kondisi menyedihkan tersebut tidak harus menjadikan para perempuan berada dalam lingkaran kengerian terus-menerus tanpa bisa melakukan apa-apa.
Pasrah kepada kondisi merupakan pilihan filosofis yang bisa mengamankan tubuh, tetapi tidak dengan pikiran dan batin para perempuan. Ketika pikiran dan batin tidak pernah bisa merasakan kemerdekaan, di saat itulah jaminan fisik oleh rezim Taliban sebenarnya membunuh kualitas kemanusiaan perempuan Afghanistan.
Berada dalam konteks historis tersebut, pilihan sinematik Mary Mother merupakan tawaran wacana kepada warga Afghanistan dan warga negara lain yang mengalami kondisi serupa tentang perjuangan perempuan sebagai sebagai ibu yang berfungsi secara esensial-strategis.
Ibu Mary, dengan demikian, adalah nyala kehidupan yang tidak boleh dikalahkan oleh kekuatan apapun yang hendak mendominasi mereka.