Apakah orang-orang yang dikalahkan oleh hasrat berkuasa rezim politik harus pasrah dan diam menerima keadaan yang sebenarnya tidak pernah mereka impikan atau bayangkan? Apakah mungkin bagi mereka melakukan ikhtiar-ikhtiar sederhana untuk ‘bermain’ di tengah-tengah penindasan yang seringkali saja mengatasnamakan agama ataupun kepentingan tertentu?
Awalan
Dua pertanyaan tersebut bisa menjadi pemandu alternatif untuk memahami narasi tiga film yang diproduksi oleh sineas dari kawasan Timur Tengah, yakni Mary Mother (Sadam Wahidi, 2016) berlatar Afganistan, The Pianist of Yarmouk (Virkam Ahluwalia, 2017) berlatar Syiria, dan It's Back Then (Wathab Siga, 2017) berlatar Irak.
Ketiga film tersebut mengusung permasalahan sosial, budaya, dan politik yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat akibat peperangan. Sebagai karya film yang diproduksi berdasarkan masalah yang berlangsung di kawasan Timur Tengah, para sineas memang menghadirkan visualitas tipikal yang berpotensi untuk menawarkan sesuatu yang esensial.
Bagi saya , esensialisasi bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, senyampang ada kepentingan penegasan atau penguatan sesutau yang secara sadar dilakukan oleh subjek-subjek yang terlibat di dalamnya.
Mengikuti pemikiran Spivak tentang esensialisme strategis (Morton, 2007), identitas bisa dimanfaatkan secara esensial untuk kepentingan penguatan sebuah komunitas atau sekelompok subjek yang berada dalam dominasi rezim tertentu.
Perspektif tersebut akan saya gunakan untuk melihat bagaimana para sineas dari Timur Tengah mengeksploitasi permasalahan rumit dalam masyarakat serta identitas kultural yang sangat khas sebagai sumber wacana untuk membangun rangkaian narasi.
Prinsip esensialisme strategis memudahkan sineas untuk menghadirkan secara renyah permasalahan-permasalahan yang tampak sederhana dalam kehidupan para subjek filmis di dalam komunitasnya masing-masing. Namun, sejatinya, permasalahan tersebut tidak berdiri sendiri karena berjalin-kelindan dengan persoalan ekonomi, politik, maupun budaya yang lebih besar.
Dalam konteks demikian, ketiga film tersebut sejatinya tidak sedang mengajak kita untuk menikmati hiburan eskapis. Alih-alih, mereka mengajak kita membuka peristiwa demi peristiwa sederhana untuk selanjutnya memahami mereka dalam hubungannya dengan kepentingan ekonomi dan politik dalam bingkai nasional dan global.
Dalam peristiwa-peristiwa naratif itulah kita akan menemukan bagaimana orang-orang yang di-marjinalisasi secara ekonomi dan politik berusaha untuk “tidak hanya diam” di tengah-tengah penindasan yang mereka rasakan secara fisik maupun psikis.