Pengetahuan tradisional Tengger terbukti mampu menjadikan masyarakat Tengger terus menjalani kehidupan dengan harmonis, di tengah-tengah pengaruh modernitas yang begitu kuat. Menjaga keseimbangan antara jagat cilik (manusia dan masyarakat) dengan jagat gedhe (semesta, kekuatan adikodrati serta Tuhan Sang Pencipta) merupakan formula yang terus dilakoni masyarakat Tengger.Â
Maka, untuk terus menjaga dan mengembangkan pengetahuan lokal tersebut, para dhukun pandita dan orang tua Tengger terus mengajak anak-anak dan generasi muda terlibat dalam acara-acara adat agar mereka bisa belajar sembari mempraktikkan (ngelmu kanti laku) warisan para leluhur di masa kini.Â
Dengan tetap mempertahankan dan melakoni pengetahuan tradisional tentang kehidupan, manusia dan masyarakat Tengger bisa terus melakukan evaluasi dan refleksi secara komprehensif bagaimana harus menempatkan diri mereka dalam hubungan sosial, hubungan dengan guru, hubungan dengan pemerintah, hubungan dengan semesta, dan hubungan dengan Hong Pukulun.Â
Dengan begitu, kehidupan Tengger akan terus bergerak secara dinamis di antara poros modernitas dan poros hila-hila yang menempatkan kawasan Bromo dan sekitarnya sebagai kawasan suci dengan bermacam laku adat dan religi yang harus dijalani.Â
Mereka adalah manusia-manusia gunung yang hidup secara dinamis yang menyerap dan menjalankan modernitas sesuai kebutuhan, tanpa melupakan pengetahuan dan religi warisan leluhur dalam kehidupan masa kini.Â
*Tulisan ini saya persembahkan kepada guru kinasih (alm) Prof. Dr. Ayu Sutarto yang sudah mengenalkan saya dengan masyarakat, budaya, dan religi Tengger sejak tahun 2003. Suwargi langgeng, Prof. Hong Ulun Basuki Langgeng.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI