Zaman dulu sebelum ada tanaman sayur-mayur, mereka menanam jagung putih yang berusia sembilan bulan. Sekarang, mereka menamam sayur-mayur (wortel, kentang, bawang pre, tomat, kubis, dan lain-lain) untuk bisa membeli beras dari wilayah bawah dan membangun rumah tembok sebagai pengganti rumah kayu.Â
Mereka juga  bisa membeli pakaian yang layak, baik untuk pakaian adat maupun pakaian sehari-hari, membiayai sekolah anak-anak mereka agar bisa mendapatkan pengetahuan yang luas, maupun berobat ke kota ketika sakit keras.Â
Selain dengan bekerja keras, sesuai dengan bidang masing-masing, untuk bisa mencapai tahapan walima dalam kehidupan, masyarakat Tengger harus selalu berdoa kepada Hong Pukulun serta menjalankan ritual sesuai dengan ajaran leluhur. Â
Malima
Lima hal atau perkara yang harus dihindari atau dijauhi oleh warga Tengger untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidup dalam situasi walima. Lima hal tersebut biasa disebut malima, yakni maling (mencuri), main (berjudi), madat (mengkonsumsi candu/narkoba), minum (mengkonsumsi minuman beralkohol), dan madon (main perempuan).Â
Orang-orang yang menjalani malima akan mendapatkan kesengsaraan dalam hidup karena setiap rezeki yang mereka peroleh selalu terkuras untuk menuruti hawa nafsunya. Akibatnya, mereka akan kesulitan mewujudkan walima dan anak-turunnya akan menanggung penderitaan.
WalatÂ
Sama dengan konsep kuwalat dalam masyarakat Jawa di dataran rendah, konsep walat bagi masyarakat Tengger merupakan keyakinan akan datangnya musibah bagi mereka yang melanggar atau tidak mematuhi adat-istiadat dan keyakinan warisan leluhur.Â
Warga yang tidak melakukan ritual atau terlibat dalam pelaksanaan ritual besar akan mendapatkan musibah, seperti rezekinya sulit, sakit-sakitan, susah mendapatkan pekerjaan, atau menerima penderitaan-penderitaan lain dalam menjalani kehidupan. Ketakutan terhadap walat inilah yang menjadikan masyarakat Tengger selalu mematuhi ataupun menjalankan ajaran leluhur hingga saat ini.Â
Orang yang terkena walat, selain mendapatkan penderitaan secara fisik juga akan merasa malu dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, generasi muda Tengger yang menempuh kuliah di kota-kota besar masih meyakini konsep walat tersebut, meskipun mereka sudah terbiasa dengan pikiran-pikiran modern dan pergaulan kota.
Menjaga dan Melakoni Kehidupan di Tengah Kabut