Keempat, percaya kepada punarbawa (reinkarnasi), yaitu bahwa manusia terikat pada hukum hidup berkali-kali sesuai dengan adanya dharma (perbuatan) semasa hidupnya. Kelima, percaya kepada moksa (sirna dari kehidupan bumi). Apabila manusia sudah mencapai tahapan moksa, ia tidak akan terikat lagi pada punarbawa dan akan hidup dalam kedamaian abadi (zaman kelanggengan).
Kekuatan adikodrati (supernatural) adalah kekuatan yang tak kasat mata, tetapi sangat menentukan dalam kehidupan manusia. Nalar manusia sangat terbatas untuk bisa menjangkau kekuatan-kekuatan adikodrati yang ada di sekitar mereka. Bagi masyarakat Tengger, keterbatasan itu menghasilkan keyakinan mendalam terhadap kekuasaan di luar jagat manusia.Â
Maka, mereka sangat meyakini kekuatan dan kekuasaan Hong Pukulun yang memulai, memelihara, dan mengakhiri kehidupan. Tak seorang pun yang bisa lepas dari kekuatan Hong Pukulun, sehingga dalam setiap mantra Tengger yang dibacakan dalam ritual Hong Pukulun selalu menjadi ucapan suci yang dilafalkan pertama kali.
Ruh leluhur atau atma adalah arwah nenek moyang, sesepuh desa, maupun orang tua yang telah meninggalkan kehidupan duniawi. Dalam keyakinan Tengger, mereka tetap mengawasi atau berada di sekitar kehidupan manusia, sehingga pada hari-hari tertentu, khususnya malam Jum'at Legi, selalu disediakan sesajen di masing-masing rumah sebagai hidangan pada para ruh tersebut.Â
Tujuannya agar mereka tidak mengganggu kehidupan duniawi manusia. Inilah yang sangat khas dari keyakinan Tengger, yakni memperlakukan ruh-ruh leluhur atau kekuatan-kekuatan ghaib tetap hidup dalam alam mereka yang berdampingan dengan alam manusia, tanpa diganggu.Â
Pemberian sesajen merupakan bukti bahwa manusia Tengger berusaha agar ruh-ruh tersebut bisa tetap hidup dalam kedamaian serta tidak mengganggu keberadaan manusia.
Dalam ajaran semua agama, pada dasarnya, terdapat ajaran tentang hukum sebab-akibat. Artinya, siapa yang berbuat sesuatu, maka mereka akan menanggung akibatnya, baik berupa pahala ataupun dosa. Dalam ajaran Tengger, konsep tersebut disebut karmapala, yang tidak hanya berlaku bagi manusia setelah meninggal, tetapi bisa pula berlaku ketika mereka masih hidup.Â
Artinya, ketika manusia Tengger melakukan kesalahan yang berakibat buruk bagi orang lain, maka ia pada suatu saat akan mendapatkan balasan setimpal. Keyakinan inilah yang menjadikan mereka berusaha sebisa mungkin tidak melakukan perbuatan atau ucapan yang bisa merugikan orang lain.Â
Perbuatan-perbuatan jahat juga akan berakibat pada punarbawa, di mana manusia akan ber-reinkarnasi untuk menebus perbuatan-perbuatan tersebut dalam bentuk kehidupan-kehidupan baru. Ketika perbuatan-perbuatan jahat itu belum selesai ditebus, mereka akan terus ber-reinkarnasi dalam kehidupan-kehidupan baru yang lain.Â
Apabila semua tahapan-tahapan tersebut sudah selesai dilakoni, maka mereka baru bisa moksa, sirna dari muka bumi dan terbebas dari hukum sebab-akibat serta masuk ke alam keabadian.
Dhasar Pitung PerkawisÂ