Artinya, orang tua dan institusi keluarga memiliki peran penting dalam menanamkan kebaikan dan kebajikan serta menyiapkan anak-anak untuk menghadapi kehidupan bermasyarakat.
Guru ilmu dalam pemahaman masyarakat Tengger terdiri dari "dhukun" dan guru umum/sekolah. Dhukun atau dhukun pandita adalah pemimpin adat dan 'penjaga gawang' pemertahanan budaya dan religi Tengger di tengah-tengah arus besar perubahan dunia.Â
Mereka berperan dalam mengajarkan adat-istiadat dan agama kepada generasi muda Tengger, memimpin upacara adat, dan memimpin peribadatan (Hindu Tengger). Kehadiran dukun sangatlah penting  bagi kehidupan masyarakat Tengger. Karena dhukun akan selalu mengawal dan menjaga keyakinan masyarakat terhadap adat-istiadat leluhur yang diwariskan secara turun-temurun.Â
Ketika adat-istiadat warisan leluhur tersebut tetap dipertahankan dan dikembangkan, masyarakat Tengger akan selalu dilimpahi kesejahteraan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan terhindar dari bencana dahsyat, sehingga mereka masih tetap eksis hingga saat ini.
Sementara, guru umum/sekolah dihormati karena mengajarkan generasi penerus Tengger ilmu-ilmu pengetahuan umum yang menjadikan mereka tidak ketinggalan zaman. Dari para guru umum mereka belajar membaca dan menghitung serta mengenal ilmu-ilmu modern, seperti matematika, sains, bahasa Indonesia dan Inggris, dan lain-lain.Â
Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan modern, selain tidak menjadikan mereka masyarakat tertinggal, juga amat berguna untuk berhubungan dengan masyarakat lain, baik yang datang untuk kepentingan berwisata ataupun perdagangan. Mereka juga bisa mendapatkan pengetahuan yang menunjang usaha pertanian maupun usaha-usaha jasa di kawasan Tengger.
Adapun yang dimaksud dengan guru pemerintah adalah aparat pemerintah dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Penghormatan terhadap guru pemerintah tidak bisa dilepaskan dari sejarah masyarakat Tengger yang berasal dari kaum pandhita (ahli agama) yang diberikan tanah perdikan (bebas pajak) oleh para raja Singasari dan dilanjutkan oleh para raja Majapahit.Â
Sejarah itulah yang menjadikan mereka patuh kepada pemerintah Indonesia dari zaman kepemimpinan Soekarno, Soeharto, hingga kepemimpinan di zaman pasca Reformasi saat ini. Meskipun demikian, untuk urusan partai politik, orientasi mereka tetaplah partai berhaluan nasionalis.Â
Kepatuhan terhadap pemerintah menjadikan mereka terlindungi sebagai suku minoritas di Jawa Timur dan Indonesia, sehingga pelestarian masyarakat dan budaya Tengger bisa terus berjalan dari waktu ke waktu, meskipun rezim berganti.
Sama dengan penganut agama lain, masyarakat Tengger juga sangat meyakini kekuasaan Tuhan Yang Mahaesa atau Hong Pukulun yang berkuasa terhadap alam dan segala isinya, termasuk manusia di dalamnya.Â