Menurut saya, kelebihan yang tidak bisa dianggap remeh dari film ini adalah kejeliaan Abe untuk memasukkan celetukan-celetukan spontan para pelaku. Celetukan-celetukan itu merupakan representasi “dunia orang kecil” yang tengah memandang dan memaknai apa-apa yang tengah terjadi dalam masyarakatnya, yang tentu saja tidak bisa dipisahkan dari konteks regional maupun nasional.
Celetukan-celetukan itu pula yang mampu ‘menolong’ film ini. Artinya, wacana-wacana nakal yang dilontarkan para tokoh bisa dibaca sebagai kekuatan kritis ala orang kecil yang memperkaya film ini dengan fragmen-fragmen yang sebenarnya tengah menggugat sesuatu yang sudah mapan.
Dalam sebuah adegan di kamar, misalnya, Ci menceritakan ajakan kerabatnya agar ia masuk ke dalam “Majelis” di sebuah gereja. Dengan santai, sembari tertawa kecil, Nokas menimpali, “Majelis = Mayor Jendral Iblis”. Lontaran ini adalah bahan candaan mereka berdua sekaligus pintu masuk bagi perbincangan yang lebih serius.
Ci memberikan satu alasan bahwa orang yang masuk ke Majelis haruslah orang yang bersungguh-sungguh bukan sembarang orang, bukan sekedar masuk tetapi juga berbuat sesuatu. Kalau memang belum siap, tidak perlu menjadi anggota Majelis. Bagi Nokas, kalau semua pemuda masuk Majelis, siapa nanti yang akan menggarap sawah dan membersihkan kotoran ayam ternak.
Kritik yang dikonstruksi dalam celetukan tersebut adalah bahwa keaktifan dalam ritual ataupun organisasi keagamaan bukan menjadi kemutlakan ketika berhadapan dengan kebutuhan pokok dalam kehidupan yang harus diperjuangkan oleh subjek miskin. Ketika sebuah majelis atau organisasi keagamaan tidak mampu mengakomodasi suara dan kepentingan orang kecil yang lebih memilih sibuk bekerja untuk memenuhi nafkah ataupun memperjuangkan belis, maka majelis hanya akan menjadi “Mayor Jendral Iblis”.
Celetukan berikutnya disampaikan oleh kerabat perempuan Nokas ketika mereka beristirahat di pinggir sawah. Bersama kakak perempuannya, si kerabat bercakap-cakap tentang ia berani bersikap tegas kepada suaminya. Ketika suaminya berbuat salah, kerabat perempuan itu tidak memasak nasi dan tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis.
Meskipun dilontarkan dalam bentuk candaan, pernyataan-pernyataan kerabat perempuan menegaskan ‘kekuasaan’ perempuan di ruang domestik yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat nilai tawar mereka di depan suami. Sementara banyak pakar feminis luar negeri mengatakan bahwa ruang domestik dan segala aktivitas di dalamnya merupakan situs yang terus mensubordinasi perempuan.
Meskipun di ruang publik dan ritual subjek istri berada dalam posisi subordinat, tetapi mereka punya kendali di ruang domestik dengan menggunakan kekuatan dan kemampuan esensial mereka sebagai perempuan. Dengan demikian dominasi patriarki yang selalu menempatkan lelaki sebagai pihak superior yang bebas untuk mengeksploitasi perempuan, sedikit banyak diganggu dan ditunda dalam budaya domestik.
Begitu juga pilihan kakak perempuan Nokas yang membesarkan kedua anak kembarnya seorang diri, tanpa kehadiran lelaki yang telah menghamilinya. Memang, dalam sistem patriarki hal itu menunjukkan kekuasaan lelaki yang bisa berbuat semena-mena. Namun, ketika perempuan lebih memilih hidup tanpa lelaki yang tidak bisa dan tidak berani bertanggung jawab, saya menafsirnya sebagai sebuah pilihan strategis dan menunjukkan kekuatan seorang perempuan.
Bahwa ia dengan segala kekuatan dan usahanya bisa terus menghadirkan kehidupan bagi kedua buah hatinya. Pilihan ini sekaligus menjadi ejekan luar biasa bagi kaum lelaki di NTT yang tidak punya nyali sebagai subjek yang seharusnya menjunjung tinggi kehormatannya dengan cara bertanggungjawab, bukannya malah pergi dan menikah dengan perempuan lain.
Dan, celetukan lain yang diungkap pada bagian awal film ini adalah sebuah papan kecil di pinggir jalan tentang penolakan waduk. Meskipun tidak dieksplorasi lagi keterkaitan antara posko penolak waduk yang akan dibuat pemerintah dengan rangkaian cerita dalam film ini, kita bisa membaca sebuah kritik yang dilancarkan sutradara.