Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membumikan Pancasila dari Desa melalui Jalan Kebudayaan

13 November 2022   07:51 Diperbarui: 13 November 2022   07:51 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pentas kesenian glundengan. Dokumentasi penulis

"Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia." (Ir. Sukarno, Presiden RI dalam Orasi Peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 1964, dikutip dalam Latif, 2011: 21)

Pengantar 

Saya sengaja mengutip pidato Bung Karno di atas sebagai pintu masuk untuk membicarakan bagaimana posisi Pancasila dalam praktik kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia. 

Ketika Bung Karno mengatakan ia menggali Pancasila dari "bumi, tanah, air Indonesia" kita bisa memformulasi beberapa pemahaman konseptual yang bisa membantu untuk memosisikan dasar negara ini di tengah-tengah arus perubahan ekonomi, sosial, politik, dan kultural. 

Pancasila bukanlah dasar negara yang tiba-tiba lahir dari perdebatan di dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 

Pengakuan Bung Karno di atas merupakan refleksi sosiologis-historis-kultural yang menegaskan bahwa sila-sila dari Pancasila berasal dari manusia, masyarakat, dan bangsa yang hidup di bumi Indonesia dengan bemacam-macam sejarah, praktik sosial dan budaya.

Mengapa harus digali dari sejarah, praktik sosial, dan budaya bangsa? Karena Pancasila digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai dasar negara serta identitas, falsafah, dan etika bangsa, sehingga semua aparat negara dan rakyat bisa memahami dan mempraktikkannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. 

Untuk itu, dasar yang dipakai sudah semestinya yang tidak asing dari pikiran dan pengalaman warga negara. Meskipun di dalam Pancasila juga terdapat nilai-nilai asing yang diserap karena kepentingan nasional, bukan berarti kekayaan budaya masyarakat diabaikan. 

Ketuhanan, misalnya, mewujud dalam keyakinan dan pratik religi yang sudah dijalankan oleh para leluhur sejak masa sebelum datangnya agama-agama besar sampai dengan perkembangan Hindu, Budha, Islam, Katolik, Protestan, dan Konghucu. Para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa juga dengan sepenuh hati menjalankan keyakinan mereka. 

Acara Ogoh-ogoh dalam Tawur Agung Kesanga, Desa Sukoreno. Dokumentasi Memorandum
Acara Ogoh-ogoh dalam Tawur Agung Kesanga, Desa Sukoreno. Dokumentasi Memorandum
Bahkan, dari masyarakat Desa Sukoreno, Kecamatan Umbulsari, Jember, kita bisa belajar bagaimana kerukunan, gotong-royong, dan toleransi dilakoni dalam ritual Tawur Agung Kesanga maupun kehidupan sehari-hari.

Dengan memahami genealogi tersebut, sejatinya tidak ada masalah serius dalam pembumian Pancasila di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, sejak pasca Reformasi 1998 hingga saat ini, muncul kekhawatiran terkait memudarnya pemahaman dan  pengamalan nilai-nilai Pancasila. 

Meskipun dalam setiap undang-undang dan peraturan pemerintah Pancasila menjadi rujukan utama, hal itu tidak menjamin nilai-nilainya dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah dan warga masyarakat. Sehebat apapun kampanye dan kebijakan yang dibuat oleh Negara, pemahaman terhadap Pancasila memang sudah berubah. 

Namun, apa yang perlu diingat, bahwa kita tidak bisa menyalahkan secara mutlak kaum muda, karena terdapat latar belakang historis, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang menyebabkannya.

Titik Balik Pancasila

Banyak orang tidak menyangka bahwa indoktrinasi besar-besaran Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) selama Orde Baru akan mudah dilupakan oleh manusia-manusia Indonesia yang hendak dicetak sebagai manusia Pancasilais oleh rezim Suharto. 

Penataran P4 untuk warga dewasa dan kaum muda, dari desa hingga kota, dilangsungkan dengan pedoman baku berupa Butir-butir Pancasila. Namun, pasca ambruknya rezim Suharto, Pancasila seperti diposisikan tidak begitu penting lagi sebagai identitas warga masyarakat. Sampai-sampai, (alm) B.J. Habibie dalam sebuah acara refleksi Hari Lahir Pancasila memaparkan:

... sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. . (Maharanie, 2011)

Peringatan yang diberikan Habibie, tentu bukan omong-kosong. Bermacam kasus intoleransi agama, konflik etnis, ketidakadilan ekonomi, eksploitasi alam secara besar-besaran dan destruktif merupakan tanda bahwa Pancasila mulai diabaikan dari memori kolektif bangsa. 

Yang disasar Habibie sejatinya bukan hanya warga negara, tetapi juga elit pemerintahan, parpol, pemodal, dan yang lain. Memang, Pancasila masih diucapkan dalam acara-acara kenegaraan, tetapi semakin banyak elit pemerintahan dan warga negara yang tidak paham substansinya. 

Sistem ekonomi Pancasila yang dulu dikembangkan oleh para ekonom pun semakin tidak familiar karena adopsi kapitalisme neoliberal dalam sistem perekonomian Indonesia.  

Peserta Dialog Interaktif di Balai Desa Sukoreno, Umbulsari, Jember. Dokumentasi penulis
Peserta Dialog Interaktif di Balai Desa Sukoreno, Umbulsari, Jember. Dokumentasi penulis

Salah satu perspektif yang menguat di tengah-tengah komunitas kritis adalah bagaimana rezim otoriter memanfaatkan Pancasila untuk menopang kekuasaannya dengan bermacam tindakan yang mengancam warga negara. 

Dampaknya, ketika rezim tersebut tumbang, banyak warga negara yang tidak ingin memperhatikan secara serius apa-apa yang berlangsung secara massif di era Orde Baru.  Penolakan terhadap kebijakan dan praktik yang berkaitan dengan rezim Orde Baru, menjadi faktor utama mengapa Pancasila banyak diabaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Lebih-lebih, terjadi proses mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur, dan massif, sehingga tak jarang mereka yang tidak sepaham dengan pemerintah dikatakan "tidak Pancasilais," "anti-Pancasila," dan, bahkan, seringkali dilabeli "komunis". 

Penguasa menggunakan instrumen Pancasila untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan. Dampaknya, ketika rezim Orde Baru tumbang, berlangsung upaya demistifikasi terhadap Pancasila sebagai ornamen dan instrumen politik penguasa sebelumnya. 

Tidak berlebihan kalau banyak pihak mengatakan bahwa pada masa Orde Baru, berlangsung penyalahgunaan Pancasila secara massif di tengah-tengah indoktrinasi yang dilakukan rezim kepada aparatur negara dan rakyat (Welianto, 2021). 

Pertama, berbagai macam praktik penyimpangan dan beragam kebijakan yang berlindung di balik fungsi Pancasila sebagai dasar negara. Kedua, penyimpangan terhadap prinsip kekeluargaan di mana Suharto lebih banyak memilih orang-orang terdekatnya untuk menguasai usaha-usaha strategis negara, seperti pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya mineral. 

Bahkan, anak-anaknya juga terlibat dalam jaringan bisnis dengan memanfaatkan fasilitas Suharto sebagai kepala negara. Ketiga, kritik terhadap Suharto, keluarga, dan kroninya dilarang dengan argumen mengganggu program pembangunan. Padahal, Pancasila jelas-jelas menghormati perbedaan pendapat yang diwujudkan dalam bentuk kritik terhadap pemerintah. 

Yang menjadikan publik kecewa adalah bagaimana rezim Orde Baru memobilisasi butir-butir Pancasila sebagai kebenaran dalam banyak ruang dan praktik kehidupan warga negara. 

Pemerintah mewacanakan bermacam kebaikan Pancasila sebagai dasar negara dan  identitas bangsa untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar menjalankannya secara menyeluruh dan konsekuen. Sebagian besar warga negara pun mengikuti apa-apa yang diperintahkan pemerintah dalam hal pengamalan Pancasila. 

Namun, yang sangat menyakitkan adalah ketika warga negara diminta untuk menjalankan Pancasila, banyak penyelewengan yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Masyarakat diminta untuk hidup hemat, tetapi keluarga Suharto dan kroninya hidup bergelimang harta dengan cara korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dibungkus banyak peraturan. 

Temuan-temuan penting pasca lengsernya Suharto, 1998, dengan terang-benderang menunjukkan betapa korupnya penguasa ini bersama keluarga dan kroni-kroninya. Transparancy International pada tahun 2004 mengungkap bahwa perkiraan dana yang terkumpul dari korupsi Suharto adalah 15-25 miliar dolar AS, sehingga ia dijuluki "diktator terkorup di dunia". 

Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional Indonesia, menamai praktik korupsi Suharto sebagai grand corruption karena dilakukan secara sistemik, terstruktur, dan rapi; melibatkan aparat negara dan dibungkus dengan peraturan yang legal (Rini, 2014)). 

Abdul Fikhar Hadjar, pakar hukum Universitas Trisakti, mengemukakan bahwa korupsi sistemik dilakukan melalui peraturan undang-undang dan keputusan presiden tentang tata niaga; "korupsi yang diselimuti aturan" (Seputra, 2018). 

Implikasi mengerikan dari praktik tersebut adalah "regenerasi" atau "pengembangbiakan" korupsi di semua ranah pemerintahan; eksekutif, yudikatif, legislatif, hingga aparat keamanan. Akibatnya, tidak ada kekuatan dalam pemerintahan yang berani mengungkap praktik korupsi berbalut aturan tersebut.    

Realitas itu menghasilkan berbagai macam ketidakadilan dan kemiskinan, padahal sila kelima Pancasila dengan jelas menuntut berlangsungnya keadilan bagi semua warga negara. 

Pemerintah menganjurkan masyarakat untuk melestarikan lingkungan, tetapi pada saat bersamaan mereka mengizinkan perusakan lingkungan atas nama perkebunan dan pertambangan. Inilah yang melahirkan "luka historis" sehingga berdampak kepada keacuhan mereka terhadap segala program dan kebijakan yang berkaitan dengan Pancasila. 

Apalagi pemerintahan pasca Reformasi yang diharapkan bisa memberikan harapan bagi perbaikan dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan kultural juga masih diwarnai dengan kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Bahkan, pemberantasan korupsi seperti memasuki era senjakala yang diwarnai kemunduran dalam penindakan dan masih banyaknya praktik korupsi yang melibatkan aparatur negara, wakil rakyat, elit politik, dan pengusaha (Diansyah, 2009; Hertanto & Maryanah, 2022).   

Selain itu, sampai saat ini, masih banyak kejahatan yang melibatkan aparatur negara, elit politik, wakil rakyat, aparat keamanan, dan pengusaha. Tidak hanya korupsi, tetapi juga kejahatan ekologis di mana mereka melakukan bermacam praktik perusakan hutan untuk pertambangan ilegal. 

Pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan, kebijakan yang melegitimasi perusakan lingkungan atas nama pembangunan, pembiaran terhadap tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas, dan tindakan-tindakan destruktif lainnya masih seringkali terjadi. 

Dalam sistem ekonomi, meskipun Pancasila diposisikan sebagai dasar dalam semua kebijakan dan perundang-undangan, pemerintah semakin terbiasa dengan adopsi kapitalisme pasar yang ditandai dengan bermacam deregulasi hal-hal yang berkaitan dengan publik, seperti pengurangan atau pencabutan subsidi.   

Menjadi wajar kalau banyak warga negara yang mulai berpikir apatis terkait penerapan Pancasila karena penyelenggara negara tidak memberikan contoh terbaik. 

Ditambah lagi dengan semakin bebasnya ideologi dan gaya hidup asing masuk ke dalam pikiran dan batin warga negara Indonesia, penyebarluasan dan pembumian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi pekerjaan yang tidak mudah. 

Bahkan, dijadikannya Pancasila sebagai materi pelajaran sekolah dan matakuliah di perguruan tinggi, tidak bisa menjadi jaminan bagi implementasi nilai-nilai Pancasila ketika proses pembelajarannya monoton dan tidak kontekstual. 

Apalagi kalau pemerintah saat ini membuat tafsir tunggal nilai-nilai Pancasila sebagaimana dilakukan pemerintah Orde Baru, pasti banyak warga negara yang menolak karena mereka tidak ingin mengulangi peristiwa traumatik di masa lalu.  

Alternatif Bernama Jalan Kebudayaan dari Desa

Sebagaimana saya singgung di awal bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari sari pati bumi Indonesia. Artinya, kita bisa menemukan teladan dalam kehidupan bermasyarakat yang memiliki spirit ke-Pancasila-an. Masyarakat desa adalah salah satu entitas yang bisa kita jadikan rujukan untuk menggali nilai-nilai Pancasila. 

Selain itu, dari masyarakat desa kita bisa menemukan model alternatif untuk membumikan Pancasila. Meskipun kita tidak bisa lagi menempatkan desa sebagai kawasan romantis karena bermacam perubahan ekonomi, sosial, dan budayanya, setidaknya, kita masih bisa menemukan nilai-nilai kemanusiaan, ketuhanan, kekeluargaan, persatuan, dan keadilan. 

Dari mana kita bisa menemukannya? Salah satunya dari kebudayaan. Bagaimana bisa kebudayaan desa bisa menjadi rujukan dan menyediakan model alternatif untuk membumikan nilai-nilai Pancasila? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita membuka UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. UU ini merupakan upaya konstitusional pemerintah untuk memberikan landasan dalam upaya perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan ragam budaya, baik yang dilakukan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, maupun desa.

Sebagai produk konstitusional, UU ini bisa dikatakan menawarkan rujukan-rujukan yang sangat bagus ketika pemerintah maupun masyarakat umum ingin mengembangkan dan memanfaatkan keragaman budaya. 

Dari ragam objek pemajuan kebudayaan (OPK) dan usaha-usaha untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina kebudayaan itulah kita bisa menemukan rujukan untuk menggali sekaligus memformulasi model pembumian nilai-nilai Pancasila. 

Itulah yang disebut sebagai jalan kebudayaan untuk membumikan Pancasila. Artinya, kita bisa menciptakan mekanisme kontekstual untuk menyebarluaskan dan membumikan nilai-nilai Pancasila dengan menggunakan ragam budaya, baik dalam bentuk nilai, praktik, karya ekspresif, maupun orientasi berpikir. 

Jalan kebudayaan tidak mendasarkan aktivitas pembumian Pancasila melalui indoktrinasi kepada generasi muda dan warga masyarakat karena terbukti cara seperti itu hanya menghasilkan subjek penghafal tetapi sulit dalam menerapkan. 

Untuk memudahkan menggali nilai-nilai Pancasila, maka kita, pertama-tama, perlu mengetahui karakteristik substansi nilai positif yang ada dalam sepuluh OPK, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.   

Dalam tradisi lisan seperti cerita rakyat, dongeng, pantun, pitutur, dan ekspresi lainnya, kita bisa menemukan ajaran-ajaran luhur tentang budi pekerti, kemanusiaan, kejujuran, ketuhanan, cinta-kasih, harmoni antara manusia-kekuatan adikodrati-Tuhan, tabu dan larangan dalam kehidupan sosial, dan yang lain. 

Dengan substansi tersebut, kita bisa menempatkan tradisi lisan sebagai rujukan untuk mendapatkan nilai-nilai ideal yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Memang, di tengah-tengah kuatnya pengaruh dunia internet yang memudahkan akses terhadap bermacam cerita baru yang disukai anak-anak dan generasi muda, pemertahanan dan pengembangan tradisi lisan memang terhambat. 

Namun, itu tidak menutupi fakta bahwa banyak nilai-nilai Pancasila yang bisa ditemukan dari tradisi lisan. Tantangannya adalah bagaimana mentransformasi ragam cerita rakyat ke dalam ekspresi atau bentuk kreatif kontekstual yang bisa menarik para minat para penerus untuk menyerap dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Manuskrip berupa kitab-kitab kuno merupakan kekayaan literasi yang memiliki banyak fungsi dalam peradaban manusia. Dari kitab-kitab kuno yang masih terawat kita bisa mempelajari berbagai aspek kehidupan masyarakat di masa lampau seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, pengetahuan, pengobatan tradisional, bencana alam, fisikologi manusia, dan sebagainya (Saraswati, 2017). 

Bisa jadi, dalam naskah-naskah kuno kita bisa menemukan identitas, kebanggaan dan warisan budaya yang berharga serta bisa jadi masih relevan dengan kehidupan masa kini, seperti ajaran-ajaran kebajikan di tengah ketidakmenentuan situasi sosial. 

Dari adat-istiadat dalam masyarakat ketika menyelesaikan persoalan sosial, menyukseskan hajatan, mengelola sebuah kawasan hutan, dan yang lain, kita bisa menggali nilai kebersamaan, mekanisme kultural untuk memperkuat ikatan sosial, dan kebajikan ketika meemukan permasalahan. 

Prosesi ritual Petik Laut. Dokumentasi penulis
Prosesi ritual Petik Laut. Dokumentasi penulis

Ritus menjadi bentuk kebudayaan yang bersifat kompleks karena melibatkan banyak aspek. Terkait bermacam doa, mantra, sesajen, dan tata cara, kita bisa menggali nilai ketuhanan, khususnya terkait bagaimana manusia memaknai relasi dan komunikasi simbolik dengan Tuhan, sesama makhluk hidup, kekuatan adikodrati dan semesta. 

Menariknya, sebuah ritual yang dijalankan oleh pemeluk agama atau penghayat keyakinan tertentu seringkali melibatkan banyak warga yang memeluk agama lain.  Mereka berbondong-bondong secara sukarela ikut berusaha memperjuangkan kesuksesan sebuah ritual. Dari sini nilai kebersamaan dan gotong royong cukup menonjol. 

Begitupula melalui kesenian, kita bisa melihat bagaimana perjuangan dan semangat survive para pejuang seni  yang selalu menghadirkan pesan-pesan positif kepada warga masyarakat di tengah-tengah kompetisi dengan bermacam kesenian dari negara maju dan budaya digital. 

Sama dengan ritus, dalam pertunjukan seni kita menjumpai kerjasama dan kebersamaan, baik antarseniman maupun antara seniman dengan perangkat desa dan warga masyarakat. Bahkan, tidak jarang para pelaku seni bekerjasama dengan tokoh agama untuk memperkuat dan melegitimasi perjuangan kreatif mereak bagi masyarakat, bangsa, dan negara. 

Pentas kesenian glundengan. Dokumentasi penulis
Pentas kesenian glundengan. Dokumentasi penulis

Di desa-desa, para ibu bekerjasama untuk membuat masakan terbaik yang diberikan kepada para pelaku seni. Begitupula para bapak yang gotong-royong untuk membangun panggung yang sangat vital keberlangsungan pertunjukan. 

Pengetahuan dan teknologi tradisional merupakan ekspresi budaya yang menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara memiliki peradaban tinggi. Pengetahuan tradisional terkait musim tanam dalam masyarakat Jawa, pranata mangsa, memberikan acuan penting bagi petani kapan boleh menanam dan kapan harus diam tanpa menanam. 

Pranata mangsa menjadikan manusia tidak rakus dan tidak eksploitatif terhadap tanah karena mereka memiliki mekanisme jeda dalam menanam. Pengetahuan tentang neptu-weton juga cukup penting bagi nalar pikir manusia-manusia Jawa di tengah-tengah modernitas yang semakin biasa. 

Sayangnya, proses panjang kolonialisme dan kuasa rasionalitas dalam kurikulum pendidikan di negeri ini semakin meminggirkan dan menundukkan ragam pengetahuan tradisional tersebut. Dalam teknologi, bangsa kita juga sangat kaya, dari teknologi pembuatan candi dan rumah, teknologi peragian, teknologi pembuatan perahu dan kapal kayu, dan yang lain. 

Semua itu menunjukkan bahwa masyarakat kita sejatinya memiliki tingkat keberadaban tinggi.  Salah satu ciri teknologi tradisional kita adalah pelibatan banyak warga dalam pengerjaannya dan tidak berorientasi eksploitatif. 

Dalam permainan rakyat dan olahraga tradisional dengan mudah kita bisa menemukan nilai-nilai unggul yang sangat bermanfaat bagi kehidupan bangsa ini. Kebersamaan, persatuan, kompetisi dengan riang gembira, dan sportifitas merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan sudah semestinya selalu ditransformasi dalam segala zaman. 

Permainan rakyat Gobak Sodor. Dokumentasi penulis
Permainan rakyat Gobak Sodor. Dokumentasi penulis
Salah satu yang sangat khas dari permainan dan rakyat dan olahraga tradisional adalah kegembiraan dan kebahagiaan dalam berkompetisi. Dari aktivitas kebahasaan kita juga bisa mengetahui banyak hal terkait pandangan dunia sebuah masyarakat. 

Tidak heran, bahasa daerah yang jumlahnya cukup banyak merupakan pintu masuk untuk mengetahui kehidupan dan dinamika budaya masyarakat yang kompleks. 

Saya tidak mengatakan bahwa desa-desa di Indonesia masih memiliki semua OPK karena proses modernisasi dan masuknya ragam budaya asing ikut berperan dalam marjinalisasi ragam budaya tersebut. Namun demikian, kita masih bisa menjumpai bagaimana masyarakat desa berbasis budaya yang masih ada terus mengembangkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. 

Mereka melakoni jalan kebudayaan dengan riang gembira. Dengan prinsip tersebut, Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa tidak lagi dipahami dalam perspektif top-down, tidak doktriner.

Itulah "Pancasila pascadoktrin" di mana pemahaman dan penyebaran ajaran-ajaran Pancasila dilakukan dengan prinsip "melampaui doktrin," sebagai antitesa model doktrin yang kaku berbasis tasfir Negara sebagaimana yang dilakukan selama masa Orde Baru dan dalam beberapa aspek masih dilanjutkan hingga saat ini (Setiawan, 2022a). 

Pascadoktrin lebih dimaksudkan sebagai pemahaman baru yang mengkritisi pola dan model indoktrinasi yang dijalankan selama ini. Konsep pascadoktrin memberikan peluang bagi penyebarluasan kandungan nilai Pancasila dalam konteks kekinian berbasis ragam budaya di masyarakat, baik desa maupun kota. 

Dari masyarakat desa kita tahu bagaimana mereka menggunakan aktivitas budaya untuk tidak menjadikan Pancasila sekedar bacaan dan hafalan. Jalan kebudayaan yang mereka tempuh menjadikan Pancasila sebagai nilai dan praksis yang menggerakkan warga desa untuk kerja bhakti atau gotong-royong dan membantu dan menyukseskan hajatan tetangga. 

Mereka menghormati keberbedaan agama sebagai keniscayaan yang tak perlu diperdebatkan ketika di kota banyak orang sibuk dengan politisasi identitas agama. Dengan senang hati warga desa untuk membantu perayaan hari-hari besar agama meskipun berbeda agama. 

Banyak dari mereka berkenan membayar iuran guna mementaskan pertunjukan wayang, janger, jaranan, reyog, tayub, atau gandrung untuk meramaikan acara Agustusan ataupun Sedekah Bumi, termasuk mengumpulkan hasil bumi untuk membuat gunungan yang digunakan dalam ritual desa.

Masyarakat desa telah, tengah, dan akan terus "ber-Pancasila dari bawah." Melalui konsep dan praktik ber-Pancasila dari bawah kita bisa melihat bagaimana melalui aktivitas sehari-hari dan aktivitas kebudayaan, masyarakat desa terus menumbuhkan, mentransformasi, mengembangkan, dan mewariskan nilai dan ajaran unggul Pancasila tanpa menekankan pada tafsir 'mutlak-mutlakan', tetapi tafsir kontekstual berbasis kekayaan kultural dan permasalahan yang ada dalam kehidupan mereka. 

Di sinilah jalan kebudayaan benar-benar mewujud. Bahkan, dalam banyak aktivitas kultural yang dilakoni warga masyarakat bersama pemerintah desa, kita bisa mendapatkan banyak fungsi dan kontribusi positif dalam mencegah atau mengatasi permasalahan pelik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Pertunjukan angklung caruk di Banyuwangi. Dokumentasi penulis
Pertunjukan angklung caruk di Banyuwangi. Dokumentasi penulis

Tumbuhnya komunitas seni dan budaya di banyak desa di Indonesia, misalnya, bisa membantu generasi muda untuk menumbuhkembangkan imajinasi dan laku kreatif yang memungkinkan mereka menciptakan banyak karya estetik yang memperkaya budaya bangsa. 

Selain itu, aktivitas kreatif dalam komunitas dan even kultural yang mengutamakan keindahan dan harmoni juga mencegah mereka untuk terpapar dan terpengaruh ideologi transnasional seperti radikalisme dan terorisme yang membahayakan bangunan persatuan dan kesatuan bangsa (Setiawan, 2022b). 

Jadi, pembumian Pancasila melalui laku-laku budaya bukan hanya menjadikan generasi muda dan warga masyarakat desa meyakini dan menjalani nilai-nilai unggul yang mendukung harmoni masyarakat, tetapi juga menjadikan mereka sebagai subjek atau agen yang secara aktif mempromosikan pencegahan ideologi berbahaya, meskipun mereka tidak menyadarinya. 

Bahkan, seringkali even-even budaya yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat desa bergerak lebih maju dalam menanggapi isu-isu nasional dan global seperti krisis lingkungan. Dalam banyak ritual tahuan seperti Sedekah Bumi, Petik Laut dan ritual sejenis, kita bisa menemukan ajaran-ajaran yang mengedepakan relasi harmonis antara manusia-Tuhan-alam-makhluk lain. 

Aktivitas industrial rakus menjadikan lingkungan alam rusak dan terjadi banyak bencana. Pemanasan global menjadikan banyak pakar mulai menoleh pengetahuan ekologis tradisional yang dianggap bisa memberikan alternatif dalam mengatasi permasalahan lingkungan akut yang tidak bisa diatasi oleh pengetahuan dan teknologi barat (Setiawan, 2022c). 

Dalam ritual tahunan atau pertunjukan-pertunjukan kolaboratif di desa yang dikerjakan secara gotong-royong, ajaran keharmonisan sejatinya menyampaikan pesan agar manusia tidak rakus dan merusak dalam melakukan kerja-kerja yang berkaitan dengan alam (Setiawan, 2022d, 2022e, 2022f).  

Artinya, melalui pelaksanaan ritual tahunan kita bisa mendapati bagaimana aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan dijalankan untuk menjawab permasalahan nasional dan gloal.  

Pemerintah dan Masyarakat Desa sebagai Kunci

Dari paparan tentang jalan kebudayaan di atas, pemerintah desa memiliki peran strategis dan praksis untuk memformulasi kebijakan dan menjalankan program untuk menyatukan upaya pemajuan kebudayaan desa dan pembumian Pancasila. 

Aktivitas-aktivitas pemajuan kebudayaan sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2017, memberikan peluang dan kesempatan untuk pemerintah desa berbuat lebih kreatif dan progresif. 

Pada tahun 2021 Direktorat Jenderal Kebudayaan telah meluncurkan program Pemajuan Kebudayaan Desa bekerjasama dengan dukungan penuh dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. 

Selain itu, dalam UU No. 6 Tahun 2014 dikatakan bahwa tujuan pengaturan desa di antaranya adalah mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama serta melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa. 

Artinya, dalam aspek konstitusional, pemerintah desa tidak memiliki hambatan berarti dalam memobilisasi sumberdaya guna melakukan aktivitas-aktivitas pemajuan kebudayaan yang juga berarti membumikan Pancasila. 

Program Pemajuan Kebudayaan Desa secara garis besar bertujuan untuk mendukung proses dan mewujudkan inisiatif pemajuan kebudayaan melalui pemberdayaan masyarakat desa (Siaran Pers Kemendikbud, 2021). 

Program ini diharapkan bisa memformulasi rekomendasi umum pembangunan desa, dengan target dibuatnya peraturan desa yang berpihak pada masyarakat desa serta dapat membangun rasa bangga terhadap jati diri budaya desa. 

Pada tahapan pertama program ini, masyarakat desa diharapkan bisa memetakan potensi warisan budaya, sejarah, kekayaan alam, serta memetakan permasalahan dan harapan tentang masa depan desa yang lebih baik di masa depan. 

Potensi yang telah dipetakan kemudian dilanjutkan ke tahapan kedua (pengembangan) melalui mekanisme sarasehan desa yang merupakan forum diskusi masyarakat untuk menyelaraskan pemetaan serta perumusan masalah desa. 

Pada tahapan kedua tersebut diharapkan forum diskusi desa dapat menghasilkan usulan-usulan pemanfaatan potensi desa, yang akan direalisasikan melalui tahapan ketiga (pemanfaatan) yang bertujuan menjadikan desa budaya yang berdaya. 

Sebagai program baru, sangat mungkin banyak desa di Jember dan di wilayah lain yang belum mengetahuinya, sehingga Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek perlu untuk melalukan sosialisasi secara massif dan terukur. 

Titik tekan dari program tersebut adalah pemerintah dan masyarakat desa sebagai kunci bagi pertumbuhan dan perkembangan budaya desa yang merupakan identitas kebangsaan. Tentu saja, pemerintah desa bisa bekerjasama dengan peneliti dan akademisi untuk melakukan kerja-kerja awal seperti penelitian dan penulisan dokumen pemajuan kebudayaan. 

Apa yang lebih penting adalah menjalankan musyawarah bersama tokoh dan warga masyarakat agar mereka mau terlibat dan mendukung program-program yang diajukan. 

Berdasarkan pengalaman saya melakukan pendampingan di beberapa desa di Jember, masyarakat desa sejatinya masih memiliki kepedulian luar biasa terhadap upaya-upaya pemajuan kebudayaan. Mereka rela mengumpulkan hasil bumi dan, bahkan, membayar iuran untuk menyukseskan acara kebudayaan asalkan tahu tujuan dari kegiatan tersebut. 

Selain itu, pemerintah desa perlu melibatkan anak-anak dan generasi muda dalam upaya pemajuan kebudayaan desa karena merekalah yang akan melanjutkan estafest sosial bangsa ini. Anak-anak dan kaum muda perlu dikenalkan sejak usia dini tentang makna dan fungsi budaya lokal dalam kaitannya dengan nilai-nilai unggul Pancasila. 

Sejatinya, banyak komunitas seni di desa seperti jaranan, reyog, can macanan kaduk, ta' buta'an, dan yang lain sudah melakukan proses pemajuan budaya melalui latihan dan pertunjukan. Namun, biasanya para anggota komunitas itu kurang memahami apa hubungan pertunjukan seni yang mereka tampilkan dengan nilai-nilai Pancasila. 

Di sinilah perlu intervensi dari pemerintah desa dan ketua komunitas untuk mengajak mereka diskusi tentang keterkaitan pertunjukan dengan pemajuan kebudayaan desa dan pembumian Pancasila. Harapannya, mereka bisa lebih bersemangat dalam berkesenian dan berkebudayaan karena menjadi subjek atau agen bagi aktivitas kebangsaan. 

Apa yang perlu dicatat adalah bahwa jalan kebudayaan membutuhkan keajegan di tengah-tengah arus perubahan masyarakat akibat kuatnya pengaruh budaya dari luar. Jalan kebudayaan juga tidak tergesa-gesa menjadikan even-even budaya di desa sebagai bagian dari industri pariwisata, karena bisa mengurangi dan mengabaikan substansi nilai dan keunggulan lokal yang hendak dikembangkan. 

Tidak pula harus  terburu-buru menjadikan keunikan budaya sebagai modal untuk membuat desa wisata. Jalan kebudayaan mengedepankan kegiatan-kegiatan yang ajeg setiap tahunnya dengan target yang jelas dan mendorong partisipasi warga masyarakat lintas-umur untuk memperluas pembumian Pancasila. 

Penciptaan atau maksimalisasi ruang-ruang kultural seperti balai desa, balai dusun, ataupun sanggar merupakan bagian penting jalan kebudayaan karena bisa menjadi tempat berlangsungnya pewarisan dan regenerasi kultural. Lebih dari itu semua, penguatan ekosistem budaya di wilayah-wilayah desa tidak bisa bersifat parsial. 

Prinsip integrasi memungkinkan kerjasama strategis antara pemerintah desa, pelaku seni-budaya, tokoh/sesepuh desa, pendidik, dan warga masyarakat, sehingga kebijakan dan program yang dicanangkan bisa mendapatkan dukungan publik dan berdampak luas.

Simpulan

Alih-alih memproduksi dan menyebarluaskan tafsir yang bersifat dogmatis, lebih baik Negara melalui institusi terkait melakukan kerja-kerja serius terkait upaya pembumian Pancasila yang bersifat kontekstual dan berbasis temuan-temuan dari kehidupan masyarakat. 

Artinya, pemerintah bisa membuat kebijakan terkait pembumian Pancasila, tetapi sudah seharusnya berasal dari kajian mendalam sehingga bisa jadi memunculkan multi-program berbasis kondisi dan permasalahan. 

Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Ristek telah memberikan contoh bagaimana mendesain kebijakan pemajuan kebudayaan desa yang mengutamakan proses bottom up di mana pemerintah dan masyarakat desa menjadi subjek.

Jalan kebudayaan merupakan sumbangan masyarakat desa terhadap upaya Negara untuk terus membumikan Pancasila. Jalan kebudayaan bukanlah sesuatu yang baru karena pemerintah dan masyarakat desa sudah terbiasa melakukan aktivitas-aktivitas kultural secara gotong-royong. 

Dalam aktivitas-aktivitas itulah, nilai-nilai Pancasila akan menyebar dan dijalani dengan sukacita, tanpa beban karena memang itulah karakteristik ideologi yang dicintai oleh warga negara. Maka, menciptakan ekosistem budaya di desa dengan kebijakan dan program yang tepat akan berdampak terhadap menguatnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai luhur dan unggul Pancasila.

Pemerintah sudah semestinya mengakomodasi jalan kebudayaan yang dilakukan masyarakat desa sebagai salah satu formula untuk membumikan Pancasila tanpa harus terjebak dalam mekanisme dogmatis.  Dengan model jalan kebudayaan, bisa jadi pemerintah memiliki beragam mekanisme dalam pembumian Pancasila di masing-masing wilayah. 

Di wilayah komunitas Jawa, misalnya, mekanisme kebudayaan memungkinkan menggunakan kesenian Jawa yang masih digemari masyarakat untuk memberikan contoh bagaimana nilai-nilai Pancasila masih dikonstruksi dalam pertunjukan dan dilakoni dalam kerja-kerja di luar panggung. 

Di komunitas Madura, bisa jadi akan ada mekanisme yang berbeda. Hal ini tidak perlu menjadi permasalahan, alih-alih, bisa menjadi bukti betapa kayanya bangsa ini.

Selain itu, evaluasi terus-menerus perlu dilakukan agar muncul kritik dan perbaikan atau mungkin reformulasi yang bisa memperbaiki jalan kebudayaan. Pemaksaan satu model pembumian Pancasila dengan satu jalan kebudayaan untuk semua komunitas etnis hanya akan menciptakan kekerasan simbolik dan praksis.

* Artikel ini merupakan makalah yang dipresentasikan dalam Dialog Interaktif "Dari Desa Memajukan Kebudayaan dan Membumikan Pancasila" yang diselenggarakan oleh Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, di Balai Desa Sukoreno, Kec. Umbulsari, Jember, 12 November 2022.

Daftar Bacaan

Diansyah, Febri. 2009. "Senjakala Pemberantasan Korupsi: Memangkas Akar Korupsi dari Pengadilan Tipikor." Jurnal Konstitusi, 6(2): 7-42.

Hertanto, E. & Tabah Maryana. 2022. "Korupsi Elit Politik di Era Reformasi." Perspektif, 11(4): 1394-1406. 

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia. 

Maharanie, Esthi. 2011. "Ini Dia Pidato Lengkap Presiden Ketiga RI BJ Habibie." https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/06/01/lm43df-ini-dia-pidato-lengkap-presiden-ketiga-ri-bj-habibie.

Pusat Ekonomi Rakyat UGM. 2019 (22 Oktober). "Sistem Ekonomi Pancasila." https://dek.feb.ugm.ac.id/2019/10/22/sistem-ekonomi-pancasila/.

Rini, C. Listya. 2014 (4 Juli). "Soeharto Diktator Terkorup Sedunia." https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/07/04/n85dwn-soeharto-diktator-terkorup-sedunia-abad-ke20.

Saraswati, Ufi. 2017. "Arti dan Fungsi Naskah Kuno Bagi Pengembangan Budaya dan Karakter Bangsa melalui Pengajaran Sejarah." http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/arti-dan-fungsi-naskah-kuno-bagi-pengembangan-budaya-dan-karakter-bangsa-melalui-pengajaran-sejarah/.

Seputra, Muhammad G. 2018 (6 Desember). "Korupsi Era Orde Baru Dilakukan Secara Besar dan Sistemik." https://www.merdeka.com/peristiwa/korupsi-era-orde-baru-dilakukan-secara-besar-dan-sistemik.html.

Setiawan, Ikwan. 2022a (6 Juni). "Pancasila Pascadoktrin." Kompasiana. https://www.kompasiana.com/search_artikel?q=Pancasila+Pascadoktrin.

______________. 2022b (4 November). "Komunitas dan Even Seni: Ruang Kultural untuk Mencegah Radikalisme." https://www.kompasiana.com/dekajekita/63517b83c3ce1f375160fac2/sanggar-dan-even-seni-ruang-kultural-untuk-mencegah-radikalisme.

______________. 2022c (8 Pebruari). "Pengetahuan Ekologis Tradisional: Konsep Strategis, Masalah, dan Tantangan." Kompasiana. https://www.kompasiana.com/search_artikel?q=Pengetahuan+Ekologis+Tradisional.

______________. 2022d (26 Juni). "Gunungan, Kekuatan Kultural, dan Seruan Ekologis dari Lojejer Jember." Kompasiana. https://www.kompasiana.com/search_artikel?q=Seruan+Ekologis+.

______________. 2022e (2 September)." Sedekah Bumi dan Pesan Ekokultural dari Curahnongko Jember." Kompasiana. https://www.kompasiana.com/dekajekita/630e305edbfe1707ca195c52/sedekah-bumi-dan-pesan-eko-kultural-dari-curahnongko-jember

______________. 2022f (10 November). "Opera Watu Jubang, Krisis Ekologis dalam Tatapan Kreatif Remaja." Kompasiana. https://www.kompasiana.com/dekajekita/636a644c4addee47e755d3d2/opera-watu-jubang-krisis-ekologis-dalam-tatapan-kreatif-remaja.

Welianto, Arie. 2021. "Penyimpangan terhadap Pancasila pada Masa Orde Baru." Kompasiana. https://www.kompas.com/skola/read/2020/08/25/153000169/penyimpangan-terhadap-pancasila-pada-masa-orde-baru?page=all.

Siaran Pers Kemendikbud. 2021. "Kemendikbud Luncurkan Program Pemajuan Kebudayaan Desa Tahun 2021." https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/04/kemendikbud-luncurkan-program-pemajuan-kebudayaan-desa-tahun-2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun