Hal itu juga tidak bisa dilepaskan dari kerjasama strategis militer dan Freeport selama puluhan tahun untuk mengamankan usaha pertambangan mereka.Â
Dengan mobilisasi makna dan praktik diskursif yang cukup apik, film ini mampu menunjukkan bahwa kehadiran militer dan pemodal internasional bukanlah sesuatu yang harus ditakuti karena merekalah yang bisa mengantarkan masyarakat Papua menuju kesejahteraan dan kemajuan; sebuah pelembutan diskursif dari kenyataan yang 'menyesakkan dada'. Â
Narasi televisi juga tidak kalah menariknya. Bukan hanya dalam bentuk tayangan fiksi seperti sinetron, tetapi juga dalam tayangan reality show kita bisa menemukan betapa makna dan wacana dimainkan untuk mendukung ideologi dominan.Â
Inkorporasi tema-tema kemiskinan dalam Bedah Rumah dan Tolong, misalnya, memang mampu merepresentasikan persoalan sosial yang dihadapi, orang miskin.Â
Dengan teknik-teknik naratif sedemikian rupa, kedua tayangan tersebut dianggap menjadi pembeda di antara banyak tayangan televisi yang mengumbar gaya hidup metropolitan. Namun, kalau kita telisik lebih jauh lagi, para penolong sebenarnya dalam acara tersebut adalah sponsor yang berasal dari kelas pemodal.Â
Artinya, dengan menyuguhkan filantropisme yang ditujukan untuk orang-orang miskin, kelas pemodal berusaha memperkuat relasi kuasanya, karena di tengah-tengah kerakusan untuk mangakumulasi modal, mereka masih memiliki kebaikan hati dan tidak perlu dipersalahkan terus-menerus.
Contoh-contoh di atas menunjukkan betapa sebagai produk representasional, narasi film dan televisi merupakan medium populer yang tidak hanya diarahkan untuk memperoleh keuntungan kapital. Lebih jauh lagi, dalam kepopuleran mereka, terdapat mobilisasi makna-makna ideologis dan praktik diskursif yang terhubung 'secara manis' dengan kepentingan-kepentingan dominan dalam masyarakat kontemporer.Â
Inilah keberhasilan para sineas dan tim kreatif televisi dalam menginkorporasi dan mengartikulasikan beragam kepentingan dan budaya dalam struktur naratif yang tidak menggurui dan tidak dogmatis, sehingga kehadiran apapun yang bersifat ideologis tampak sekedar menjadi hiburan, tanpa pretensi politis di dalamnya.Â
Pendalaman terhadap struktur naratif dengan perspektif semiotika mitos Barthesian dan wacana Foucauldian bisa mengantarkan kita untuk membongkar bagaimana ideologi direpresentasikan tanpa harus menamai ideologi yang bersangkutan, termasuk bagaimana relasi dan operasi kuasa ikut dikonstruksi di dalam narasi film dan tayangan televisi.Â
Maka dari itu, mengikuti pemikiran Hall (2002), jangan menganggap remeh film populer dan tayangan televisi, karena dalam yang remeh itulah ideologi dan kepentingan kuasa dimainkan dalam ragam narasi yang seolah-olah tidak membawa misi ideologis dan politis.
Bahan BacaanÂ