Susahnya Jaga Keperawanan di Jakarta (sutradara Joko Nugroho, 2010) adalah salah satu contohnya. Tiga sahabat dari dusun yang memiliki impian untuk menikmati kemakmuran di ibu kota direpresentasikan berani melawan kehendak orang tua.Â
Di kota mereka harus berjuang keras sebagai perempuan penghibur (bukan pelacur, karena mereka tidak sampai melacurkan diri) menghadapi kerakusan lelaki, baik pribumi maupun mancanegara.Â
Dengan siasat tubuh mereka mampu keluar dari jeratan-jeratan lelaki, meskipun pada akhirnya harus mengalami fase katarsis yang mendorong mereka untuk kembali ke dusun. Artinya, narasi komedi film ini mampu menunjukkan kelemahan dan kebodohan lelaki serta mengusung kekuatan subjek perempuan meskipun mereka berasal dari desa.Â
Namun, apa yang tidak boleh dilupakan adalah ketiga perempuan ini, tidak menolak kuasa kapitalisme industri budaya dengan memutuskan-kembali lagi ke ibu kota menjadi pemain film.Â
Dengan demikian, representasi perempuan yang kuat dan liat memang mampu melawan kehendak rakus laki-laki, tetapi tidak menjadikan mereka menolak pesona metropolitan dan kemakmuran yang dijanjikan kapitalisme industri budaya. Â
Sementara, dalam genre film anak-anak era 2000-an kita bisa menyaksikan bagaimana makna-makna keluarga tradisional dibaca-ulang dan di-oposisi-biner-kan dengan makna-makna impian dalam bingkai modernitas.Â
Kehendak untuk melampaui ketradisionalan demi merasakan kehidupan yang lebih dinamis, menjadikan tokoh anak-anak direpresentasikan melakukan perjuangan yang tidak hanya mampu mengharumkan nama keluarga, tetapi juga masyarakat dan bangsanya; sebuah wacana nasionalisme (Setiawan, 2013).Â
Denias Senandung Di Atas Awan (Sutradara John De Rantau, 2006), misalnya, mendapatkan pujian karena merepresentasikan makna keberanian anak Papua untuk keluar dari kekangan tradisional demi bisa mengenyam pendidikan dasar yang lebih baik di Kuala Kencana.Â
Seorang guru Jawa dan anggota Kopassus menjadi subjek perantara yang ikut meng-encourage motivasi berpendidikan dari seorang Denias. Perjuangan beratnya akhirnya menuai hasil ketika seorang guru di sebuah sekolah dasar di Kuala Kencana mau memperjuangkannya untuk diterima di sekolah tersebut.Â
Masuknya Denias ke sekolah tersebut sekaligus memasukkannya ke dalam nasionalisme ke-indonesia-an tanpa harus mengingat fakta kekejaman militer di tanah Papua. Kombinasi aparat militer yang baik hati dan filantropisme Freeport yang membiayai sekolah tersebut menjadikan persoalan nasionalisme sebuah situs negosiasi antara rezim negara dan rezim pemodal internasional.Â