Mengikuti alur pemikiran Foucauldian, film dan program televisi bisa didefinisikan sebagai:Â
struktur dunia naratif yang diproduksi para sineas dalam institusi industri perfilman di mana di dalamnya berlangsung praktik diskursif yang memproduksi wacana dan pengetahuan tentang permasalahan tertentu yang berkelindan dengan permasalahan dalam masyarakat pada latar historis partikular, sekaligus sebagai bentuk mekanisme kuasa.Â
Dengan kerangka film sebagai wacana dan kuasa/pengetahuan yang menekankan praktik diskursif dalam pembentukan subjek dan mekanisme kuasa dalam rentang historis partikular, perlu pula dibaca permasalahan yang berlangsung dalam masyarakat, termasuk persoalan sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang menjadi sumber material bagi para sineas dalam memproduksi narasi film.Â
Maka, sekali lagi, wacana merupakan jembatan yang menghubungkan struktur dunia naratif yang diproduksi para sineas dengan konteks sosio-historis dari produksi film, yakni permasalahan-permasalahan riil dalam masyarakat dan kepentingan ekonomi-politik yang melibatkan rezim negara dan pemodal.Â
Artinya, sebagai person-person yang berhak berbicara dan bersuara melalui film, para sineas akan membuat struktur dunia naratif yang memobilisasi makna-makna sebagai pembentuk subjek yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan riil dalam masyarakat tanpa melupakan pertimbangan ideologis dan komersil.
Film dan Tayangan Televisi sebagai Aparatus HegemoniÂ
Ketika narasi film dan televisi membentuk makna ideologis dan wacana dominan, kita bisa mengubungkannya dengan kepentingan kuasa dari kelompok tertentu dalam masyarakat. Dalam kerangka pikir demikian, narasi film dan televisi merupakan "sebuah media untuk menciptakan konsensus dan kuasa melalui artikulasi beragam kepentingan kelompok/kelas, wacana, dan permasalahan yang berlangsung dalam masyarakat". Â
Mengikuti pemikiran Kellner (1995: 1) tentang budaya media, struktur naratif film bukan hanya menyediakan bermacam materi dan citra tentang permasalahan sehari-hari, tetapi juga menegosiasikan pengetahuan yang bisa membantu pemahaman penonton dalam memaknai budaya dan menciptakan identitas ideal di tengah-tengah perkembangan masyarakat kontemporer.
Dengan memroduksi pengetahuan ideal berbasis permasalahan kultural dalam masyarakat, struktur naratif dan praktik diskursif film, mengikuti pemikiran Hall (1997b: 425-426), akan mempertemukan kepentingan ideologis bermacam kelompok/kelas, termasuk di dalamnya negara, dalam sebuah blok historis, sebuah aliansi strategis dari bermacam kelas dan kepentingan mereka yang diarahkan oleh kelas penguasa.Â
Terbentuknya blok hitoris dalam narasi film menjadikan perbedaan-perbedaan kelas lebur. Namun, kelas penguasa  tidaklah hilang, tetapi bertransformasi menjadi kelas pemimpin. Tentu saja, kategori kelas dalam narasi tidak dimunculkan secara vulgar, tetapi lebih dihadirkan melalui tokoh tertentu dengan wacana-wacana yang ia sampaikan.Â
Kehadiran blok historis yang diikat oleh pengetahuan ideal sebagai konsensus akan mempermudah berlangsungnya relasi kuasa-hegemonik. Dengan kata lain, film merupakan aparatus hegemoni yang kontribusinya lebih pada proses menegosiasikan kepentingan kelompok dominan.Â
Hegemoni merupakan relasi kuasa yang dibangun dengan kepemimpinan intelektual, kultural, dan moral, sehingga prinsip artikulasi dan negosiasi menjadi lebih dominan karena kelas pemimpin mengutamakan penerimaan kuasa secara konsensual (Gramsci, 1981: 191-192; Boggs; 1984: 161; Williams, 2006: 134-137; Hall, 1997c: 425-426; Howson & Smith, 2008; Hall, 1982: 87-88).