Ada yang bilang harta karun itu merupakan peninggalan zaman kerajaan. Ada juga yang bilang peninggalan Presiden RI, Sukarno. Tentu saja, cerita tentang harta karun bukanlah sesuatu yang aneh.Â
Saya sudah seringkali mendengar dan membaca tentang kisah harta karun yang diperuntukkan untuk melunasi hutang Indonesia.Â
Bagi saya, harta karun yang sebenarnya dari kawasan Kucur dan Watangan adalah air yang terus mengalir dari sumber sepanjang tahun, tanpa henti. Sumber yang berasal dari keberadaan hutan di kawasan karst tersebut merupakan harta yang tak ternilai karena banyak masyarakat Jember dan luar Jember yang merasakan kebahagiaan ketika berkunjung ke tempat ini.Â
Bagi saya, Kucur merupakan bukti nyata restu bumi, meminjam judul lagu Dewa 19, di mana terjaganya kawasan hutan di kawasan ini menjamin cadangan air yang keluar melalui sumber. Restu bumi itulah yang memungkinkan aktivitas kehidupan berlangsung di kawasan tepi Samudra Indonesia ini.Â
Restu bumi itulah yang menjadi amanah bagi pemerintah dan masyarakat, khususnya dalam wujud tanggung jawab untuk terus merawat dan melestarikannya.Â
Maka, kita bisa menilai betapa perhatiannya pemerintah kolonial Belanda yang menjadikan kawasan Kucur dan Watangan sebagai cagar alam agar bisa terlindungi dari upaya jahat manusia untuk merusaknya.Â
Ketika hutan dan kawasan karst di Kucur dan Watangan rusak akibat ulah manusia, baik untuk kepentingan pertambangan, hutan produksi, ataupun pertanian yang kurang bertanggung jawab, maka ketersediaan air akan terganggu serta bisa berdampak pada berhentinya sumber. Ini tentu sebuah kerugian besar bagi masyarakat.Â
MENINGGALKAN KUCUR
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB ketika perahu motor yang mengantar saya dan kawan datang menjemput. Meskipun masih ingin berlama-lama di Kucur, saya harus segera kembali ke Jember. Dari atas perahu, saya memuaskan hasrat visual untuk menikmati keindahan Kucur dari kejauhan, juga pesona muara sungai di sore hari.Â