Sinar matahari mulai menerobos batang dan daun bambu di Lingkungan Jambuan, Kelurahan Antirogo, Jember, ketika puluhan anak mulai berkumpul di bawah kawasan "papringan" (kebun bambu), di depan rumah salah satu warga, Minggu, 11/9. Cuaca pagi yang begitu sejuk dan cerah menyambut kehadiran mereka. Batang dan daun bambu serta harum tanah pagi mengabarkan bahagia dari semesta.
Anak-anak itu berkerumun untuk mendaftarkan kelompok mereka kepada panitia Lomba Permainan Rakyat Gobak Sodor. Gobak sodor merupakan permainan rakyat yang mengedepankan usaha mempertahankan dan menerobos 'wilayah' dan dimainkan oleh beberapa anak, tergantung kebutuhan dan kesepakatan.Â
Meskipun di kawasan kota permainan ini sudah jarang dimainkan, anak-anak di desa dan pinggiran kota masih memainkannya di waktu senggang, setelah sekolah atau pada hari libur.
Lomba tersebut merupakan bagian dari hajatan multibentuk Purnama di Jambuan yang diselenggarakan secara kolektif oleh Pusat Studi Pemajuan Kebudayaan (Pusakajaya-UNEJ), Lingkar Kajian Ekokultural dan Pengembangan Komunitas (NiraEntas FIB-UNEJ), Dewan Kesenian Jember (DeKaJe), dan Derap Kebudayaan Jember (Daya-Jember).Â
Purnama di Jambuan mengambil waktu bulan purnama untuk menyelenggarakan kegiatan yang direncanakan akan digelar secara rutin setiap dua bulan sekali ini.
Selain Lomba Permainan Rakyat Gobak Sodor, dalam Purnama di Jambuan panitia bersama warga masyarakat juga menggelar "Rokat Sumber" dan Pertunjukan Kesenian Rakyat, pada sore hari dan malam harinya. Gotong-royong dalam pembiayaan dan pelaksanaan setiap even menjadi warna dominan dalam kegiatan ini.Â
MEMILIH JAMBUAN
Adapun Lingkungan Jambuan dipilih sebagai tempat dan nama hajatan karena beberapa pertimbangan. Pertama, Jambuan merupakan kawasan di pinggiran kota dan tidak jauh dari beberapa kampus seperti Universitas Jember, Politeknik Negeri Jember, dan Universitas Muhammadiyah Jember yang masih memiliki dan menjalankan karakteristik budaya Madura.Â
Dalam komunikasi sehari-hari, warga Jambuan menggunakan bahasa Madura. Mereka juga masih menjalankan tradisi leluhur seperti ritual berbasis ajaran agama seperti tahlilan dan rokat/rokatan (ruwatan dalam tradisi Jawa). Selain itu, model pemukiman warga juga berada di beberapa kawasan bukit seperti yang terdapat di Pulau Madura.Â
Kedua, di Jambuan masih terdapat banyak rumpun bambu dan lahan pertanian yang sangat subur, tetapi sudah banyak lahan di sekitarnya yang dibeli oleh pengembang perumahan dan individu untuk kepentingan pribadi mereka. Rumpun bambu menjamin ketersediaan banyak sumber air di Jambuan. Lahan subur menjadi kekuatan pangan bagi warga.Â
Ekspansi para pengembang dan individu untuk menguasai lahan pertanian dan rumpun bambu, masyarakat Jambuan akan kehilangan akses ekonomi mereka dan bisa berdampak kepada kehidupan sosial dan budaya. Ruang-ruang bermain anak-anak, misalnya, perlahan-lahan akan hilang. Budaya agraris akan hilang ketika mereka sudah tidak lagi menggarap sawah.Â
Selain itu, hilanganya rumpun bambu juga akan mempercepat hilangnya sumber air yang biasa digunakan sehari-hari oleh warga masyarakat untuk mandi dan mencuci. Akar bambu dan pohon endemik lain merupakan penahan air yang cukup bagus, sehingga sumber air di kawasan ini mengalir sepanjang tahun.Â
Ketiga, di Jambuan masih terdapat beberapa kesenian dan permainan rakyat yang tumbuh dari tradisi agraris, seperti "glundengan" (alat musik menyerupai gamelan yang terbuat dari kayu bayur atau kayu nangka), gobak sodor, dan tota'an dara (balapan merpati). Selian itu, beberapa seniman lengger senior pernah tinggal di Jambuan sebelum mereka meninggal. Artinya, secara kultural, Lingkungan Jambuan memiliki keunikan tersendiri sehingga bisa terus dikembangkan.Â
GOBAK SODOR, MENANAMKAN NILAI-NILAI UNGGUL
Adalah sebuah kesengajan untuk menggelar lomba gobak sodor di tempat yang berdekatan dengan rumpun bambu. Selain untuk mendapatkan hawa sejuk dan segar karena oksigen yang melimpah, mendekatkan para peserta lomba dengan rumpun bambu diharapkan semakin memperkuat ikatan mereka dengan bambu yang berkontribusi penting bagi kehidupan masyarakat.Â
Gobak sodor, sebagai permainan rakyat, memiliki nilai-nilai unggul yang cukup penting bagi anak-anak. Ketika Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengkampanyekan nilai-nilai unggul bagi siswa dan mahasiswa, permainan rakyat sejak dulu sudah menanamkannya.Â
Terdapat beberapa nilai unggul dari permainan gobak sodor, antara lain: komitmen untuk berjuang bersama-sama, semangat kompetisi, sportifitas, dan kesadaran untuk mempertahankan wilayah.Â
Komitmen untuk berjuang bersama-sama bisa kita lihat dari bagaimana para pemain gobak sodor berusaha untuk 'memasuki wilayah musuh' dan sebaliknya 'mempertahankan wilayah.' Para pemain yang mendapatkan giliran untuk memasuki wilayah lawan' akan berusaha memancing para lawan yang sedang berjaga agar lengah dan bisa menerobos masuk.Â
Bagi pihak yang giliran 'mempertahankan wilayah' juga akan berjuang bersama-sama agar garis pertahanan mereka tidak bisa diterobos lawan. Apapun harus dilakukan demi mempertahakan wilayan mereka. Sekali mereka lengah, lawan akan menerobos masuk dan itu berarti kekalahan.Â
Kesadaran dan komitmen bersama untuk memperhatankan wilayah yang sekaligus menjadi kedaulatan dalam permainan merupakan nilai unggul yang harus terus ditanamkan ke generasi penerus. Tantangan ke depan akan semakin kompleks sehingga dibutuhkan generasi penerus yang memiliki semangat dan energi besar untuk terus menjaga dan mempertahankan wilayah dan kedaulatan.Â
Semangat berkompetisi merupakan nilai unggul lain dari gobak sodor dan banyak permainan rakyat lainnya. Dalam gerak cepat zaman, keberanian dan kemampuan berkompetisi menjadi tuntutan yang harus diperjuangkan. Tentu, untuk menumbuhkannya, anak-anak harus dibiasakan untuk berpikir dan bertindak kompetitif, sesederhana apapun bentuknya.Â
Dari permainan sederhana, anak-anak dengan riang gembira bisa menanamkan dalam pikiran mereka kebiasaan kompetisi yang harus terus diperjuangkan bersama-sama. Ini merupakan karakteristik komunal yang berbeda dengan kompetisi dalam perspektif kapitalisme yang menekankan kapasitas dan kebebasan individual untuk berkompetisi, khususnya dengan kemampuan modal.Â
Sportifitas menjadi nilai unggul yang akan menumbuhkan sikap menerima apapun hasil sebuah lomba atau pertandingan, baik kalah ataupun menang. Wajah anak-anak Jambuan menunjukkan betapa mereka bahagia meskipun harus menerima kekalahan. Karena bermain bukan semata-mata tentang menang atau kalah, tetapi juga mengasah kesabaran dan keterbukaan untuk menerima hasil.Â
Sikap demikian, apabila ditanamkan sejak kecil, akan mencetak generasi unggul yang tidak takut berkompetisi, tetapi tetap mengedepankan nilai kebersamaan dan sportifitas sehingga bisa meminimalisir beragam hal negatif karena tidak mau menerima kekalahan.Â
Menimbang bermacam nilai unggul tersebut, sudah sepatutnya permainan rakyat dijadikan salah satu penanda komunitas Jambuan dalam gerak dinamis Kota Jember. Harapannya, anak-anak tetap memiliki rasa suka dan rasa memiliki terhadap gobak sodor yang memberikan banyak nilai unggul kepada generasi penerus.Â
ROKAT SUMBER: MENUMBUHKAN KESADARAN EKOLOGIS BERBASIS BUDAYA
Salah satu ciri Lingkungan Jambuan adakah keberadaan rumpun bambu atau yang dalam bahasa Madura disebut "papringan" ("barongan" dalam bahasa Jawa). Jenis bambu yang paling banyak adalah bambu petung dan ori. Keduanya merupakan jenis bambu yang laris di pasaran.Â
Selain untuk kebutuhan membangun rumah, keberadaan bambu juga sangat baik dalam menjamin keberadaan sumber air yang sangat vital bagi warga masyarakat. Dengan demikian, keberadaan rumpun bambu di Jambuan mutlak harus dipertahankan dan dilestarikan. Demikian pula keberadaan sumber air, harus dirawat.
Sebagai upaya untuk terus menumbuhkan kesadaran ekologis melalui jalan kebudayaan, warga masyarakat bersama panitia Purnama di Jambuan menyelenggarakan "Rokat Sumber". Ritual ini diikuti oleh para ibu Jambuan dan mahasiswa program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang sedang menempuh maksimal 20 SKS di Universitas Jember.Â
Program PMM diselenggarakan oleh Kemendikbudristek dengan tujuan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk menempuh perkuliahan di luar kampus mereka. Untuk mereka yang sedang PMM di Universitas Jember berasal dari perguruan tinggi di luar Jawa. Untuk mahasiswa PMM, setiap akhir pekan, didampingi para dosen pendamping, mereka harus belajar kekayaan budaya  Jemberan.
"Rokat Sumber" merupakan ritual untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas melimpahnya air yang keluar dari sumber. Raya syukur tersebut diwujudkan dengan doa bersama sembari membawa sesajen lengkap sesuai kebutuhan. Mereka melaksanakannya di salah satu sumber air dekat pemukiman warga, di bawah rumpun bambu di tepi sungai.Â
Dengan khusyuk dan khidmat, warga dan mahasiswa PMM mengikuti tahapan demi tahapan ritual. Arak-arakkan warga dan mahasiswa berangkat dari pemukiman menuju sumber di tepi sungai. Semua berjalan natural tanpa diberi tambahan tari ataupun rekayasa tertentu. Hal ini dilakukan untuk bisa lebih menyatukan ritual dengan lingkungan alam.Â
"Rokat Sumber" Jambuan bisa dibaca dari perspektif pengetahuan ekologis tradisional bisa diposisikan sebagai ekspresi kultural dan komunal sebagai cara untuk menyebarluaskan pentingnya memahami sumber air secara terintegrasi dengan eksistensi lingkungan alam. Ekspresi kultural ini diharapkan mampu melahirkan sikap menghormati sumber air dan lingkungan yang begitu baik kepada warga Jambuan.Â
Apa yang menarik, selepas ritual, para mahasiswa PMM UNEJ berdiskusi dengan warga Jambuan. Mereka saling bertukar informasi tentang budaya lokal mereka. Meskipun sederhana, diskusi ini bisa menumbuhkan pertautan batin lintas-batas daerah dan budaya karena didasari atas kehendak untuk menyebarluaskan keragaman budaya.Â
Selain itu, para mahasiswa PMM juga bisa membandingkan ritual terkait sumber air dan lingkungan di daerah mereka dengan apa yang mereka saksikan di Jambuan. Ini menjadi penting karena kesadaran untuk mengkampanyekan potensi dan persoalan ekologis melalui bahasa kultural bisa memperluas dan mempermudah pemahaman tentang penting nya menjaga lingkungan.Â
Apalagi, banyak kawasan di luar Jawa juga mengalami masalah ekologis yang cukup serius. Komitmen untuk menyebarkan gagasan terkait pentingnya merawat lingkungan alam melalui kerja-kerja budaya setidaknya bisa menjadi energi positif yang bergerak terus ke banyak wilayah Indonesia.Â
PERTUNJUKAN DI BAWAH RUMPUN BAMBU
Banyaknya bambu di kawasan Jambuan menjadi keuntungan tersendiri ketika hendak menggelar pertunjukan seni. Kebutuhan untuk dekorasi panggung bisa dengan mudah terpenuhi, yakni batang bambu. Selain itu, tidak butuh panggung mewah, cukup menggelar terpal dan karpet serta menjadikan rumpun bambu sebagai background.Â
Lampu pun tidak butuh terlalu gemerlap, karena yang terpenting adalah cahaya untuk menerangi jalannya pertunjukan.  Demikian pula, sound system juga tidak harus berkekuatan besar. Cukuplah bisa mengeluarkan suara yang bagus agar musik selama pertunjukan bisa didengar dengan jelas.Â
Pembuatan panggung yang memanfaatkan potensi lokal merupakan sebuah tanda untuk mengajak warga Jambuan bahwa untuk menggelar pertunjukan seni tidak harus menggunakan panggung buatan dengan membayar sewa yang mahal. Kegiatan seni yang melibatkan masyarakat bisa menggunakan panggung alami dengan memanfaatkan apa-apa yang ada di lokasi.Â
Selain itu, dengan mengambil lokasi di kawasan rumpun bambu, pertunjukan ini secara langsung mengingatkan kepada warga Jambuan, bahwa menjaga keberadaan bambu bukan sekedar untuk keperluan sumber air dan kebutuhan rumah tangga. Lebih dari itu, rumpun bambu juga bisa memperkaya ekskpresi kultural dengan udaya segar dan pemandangan indah.Â
Dalam pertunjukan, dua kesenian rakyat ditampilkan selain pembacaan puisi. Kesenian rakyat itu adalah glundengan dan lengger. Glundengan merupakan kesenian khas Jember yang menampilkan komposisi musikal dengan alat musik bila-bila kayu bayur atau nangka yang disusun menyerupai gamelan. Nada yang keluar dari glundengan yang dipukul secara rancak juga mirip dengan gamelan Jawa.Â
Glundengan merupakan seni musikal yang dimainkan secara kelompok dengan kondisi yang cukup mengenaskan karena hampir punah. Kesenian ini biasanya digunakan untuk mengiri tota'an dara (semacam balapan burung merpati). Glundengan biasanya membuat tota'an dara menjadi  lebih meriah dan hidup.Â
Bisa dikatakan glundengan merupakan kesenian berdimensi ekologis karena bahan untuk alat musik berupa kayu bayur atau nangka. Tentu, untuk bisa mempertahankan kesenian ini, ketersediaan kayu bayur dan nangka menjadi penting. Dengan demikian, kalau para seniman dan warga masih ingin menikmati glundengan, mereka harus merawar kayu bayur atau nangka.Â
Itulah yang saya maksudkan sebagai dimensi ekologis yang mengaitkan kesenian glundengan dengan pemertahanan ekosistem kawasan Jambuan, utamanya berkaitan dengan ketersediaan kayu bayur atau nangka. Dengan mempertahankan keberadaan kedua kayu tersebut, maka rancak glundengan akan terus mengalun akan terus bisa dinikmati.Â
Pembacaan puisi dipersembahkan oleh salah satu penyair perempuan Jember, Sikma Tri Pangestu. Dengan suara lantangnya, Sikma mempersembahkan puisi terkait budaya lokal dan bagaimana masyarakat mesti menyikapinya. Walaupun kehidupan mereka sudah masuk ke dalam modernitas, tetapi budaya lokal seyogyanya masih bisa menjadi penanda eksistensi.Â
Malam purnama pun semakin meriah dengan pertunjukan lengger, kesenian musikal dan tari yang cukup terkenal di Jember pada era 1980 hingga 1990-an akhir. Para pelaku lengger biasanya menggelar pertunjukan di salah satu sudut Pasar Tanjung dan di depan Stasiun KA Jember. Dengan iringan alat musik gamelan sederhana, para penari perempuan menghibur penonton dengan menari diiringi lagu-lagu Madura dan Banyuwangi.Â
Ketenaran lengger tersebut mulai tergusur pada awal 2000-an seiring dengan semakin banyaknya pilihan hiburan. Selera kultural masyarakat mulai bergeser mengarah ke selera budaya global. Lengger mulai kehilangan penggemarnya. Dampaknya, pertunjukan lengger berhenti di kawasan kota.Â
Sayangnya, dinas terkait di Pemkab Jember sampai sekarang tidak melakukan usaha untuk melakukan konservasi kesenian ini. Padahal kesenian ini merupakan salah satu penanda budaya Jemberan yang memiliki potensi untuk dikembangkan melalui pertunjukan dalam banyak even.Â
Maka, digelarnya pertunjukan lengger dalam Purnama di Jambuan merupakan salah satu rintisan untuk kembali menghidupkan kesenian yang sangat digemari oleh warga Jambuan ini. Setidaknya, warga masyarakat, khususnya generasi muda jadi tahu bagaimana wujud dan penampilan kesenian lengger, sehingga mereka bisa tertarik.Â
Karena sudah begitu lama tidak ada pertunjukan lengger, para warga pun cukup antusias. Banyak di antara mereka yang ikut menari dan "nyawer", baik untuk penari maupun penabuh gamelan.  Tentu saja, sebagai tradisi "nyawer" menjadikan pertunjukan lengger menjadi semakin meriah.Â
KESADARAN EKOKULTURAL DALAM KEGEMBIRAAN
Cahaya purnama yang menerobos melalui daun-daun bambu menjadikan gelar seni menjadi lebih hangat dan syahdu. Suasana purnama di masa lalu ketika anak-anak dan warga bergembira kembali hadir di Jambuan. Wajar kiranya kalau banyak warga yang menginginkan Purnama di Jambuan digelar secara rutin, apakah satu bulan atau dua bulan sekali.Â
Permintaan warga tersebut menegaskan bahwa mereka juga rindu untuk bersama-sama merasakan ekspresi dan atmosfer kultural. Kerinduan tersebut merupakan modal untuk mengajak mereka menggarap even ini secara rutin, sehingga secara perlahan kawasan Jambuan akan memiliki agenda rutin.Â
Tentu, agenda Purnama di Jambuan harus terus mengedepankan kesadaran ekokultural. Masyarakat diajak untuk terus merawat ekosistem lingkungan berupa lahan pertanian, bukit-bukit kecil, kebun bambu, dan pepohonan lainnya melalui ekspresi kultural yang membahagiakan.Â
Kesadaran ekologis tidak mesti selalu digerakkan dengan kampanye formal. Ekspresi kultural yang melibatkan warga masyarakat tempat dilaksanakannya acara merupakan cara sederhana yang cukup efektif. Dengan ikut menyiapkan sesajen, prosesi ritual, permainan rakyat, hingga pertunjukan, mereka secara langsung bisa merasakan kebutuhan untuk menjaga lingkungan.Â
Dengan lingkungan yang tetap terjaga, mereka bisa terus mendapatkan manfaat dari sang bumi, tanpa harus melakukan perusakan. Secara rutin mereka bisa bergembira dengan permainan dan pertunjukan yang digelar di kawasan rumpun bambu, sehingga mereka bisa terus-menerus merasakan pentingnya menjaga bambu karena bisa bermanfaat secara kultural dan praksis.Â
Apa yang lebih penting dari itu adalah menumbuhkan kesadaran bagi warga Jambuan untuk terus mempertahankan kawasan tempat tinggal dan tempat bertani mereka dari rayuan para pemodal besar. Dengan kekuatan uang, para pemodal tersebut terus mengincar kawasan Jambuan karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari kota. Tentu untuk perumahan sangat strategis.Â
Dengan adanya aktivitas ekokultural rutin di Jambuan, warga diharapkan juga mendapatkan rezeki ekonomi dari berjualan makanan dan minuman kepada penonton. Manfaat ekonomi, ekologis, dan kultural diharapkan terus memupuk kesadaran mereka untuk tidak menjual lahan pertanian yang menjadi tumpuhan kehidupan warga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H