Kehadiran para banci dalam pertunjukan ludruk sangat dominan karena mengisi absensi tokoh perempuan. Secara historis kehadiran tokoh lelaki ataupun lelaki banci yang memerankan tokoh perempuan dalam pertunjukan ludruk bukanlah sesuatu yang baru. Menurut beberapa pelaku ludruk, pilihan tersebut untuk menghindari stigma kaum agamawan yang tidak menyukai kehadiran perempuan dalam pertunjukan publik.
Sayangnya, para banci pun mendapatkan stigma yang mengkonstruksi mereka sebagai Liyan dalam norma heteroseksual yang menghendaki kehidupan dalam dua kutub gender belaka, lelaki dan perempuan. Masih banyak warga yang memosisikan travesti sebagai sampah masyarakat.
Melalui pilihan lakon yang secara gamblang menggabungkan praktik “ritual” dan realitas “travesti” dalam masyarakat, Meimura secara kreatif dan kritis mengirim pesan bahwa semangat Besut adalah semangat egalitarian dalam semua bidang kehidupan.
Prinsip mengedepankan keterbukaan, kesetaraan, dan kelenturan dalam memahami kahanan (kondisi dan situasi di ruang dan masa partikular) harus mampu melampaui batasan-batasan stigmatik dalam kehidupan bermasyarakat, berbudaya, berbangsa, dan bernegara, termasuk melampaui stigamtisasi komunitas transgender.
Toh, masyarakat di kawasan Arek juga tidak begitu mempermasalahkan kehadiran para banci itu dalam kehidupan sosial dan kehidupan kultural. Saya masih ingat, ketika masih duduk di bangku SD, ada tetangga banci atau wandu. Masyarakat pun tidak pernah memusuhi atau meminggirkan mereka.
Begitupula dalam pertunjukan ludruk di lapangan desa, warga penonton cukup terhibur dengan kehadiran para travesti. Sampai saat ini di kawasan Arek, seperti Surabaya, Mojokerto, Jombang, Lamongan, dan sekitarnya, kehadiran mereka ditanggapi dengan gembira, bukan dengan caci-maki.
Dalam bangunan kerakyatan dan kebudayaan, kehadiran travesti merupakan kontribusi penting untuk terus mempertahankan kesenian rakyat di tengah-tengah hegemoni budaya global yang semakin nyata dari waktu ke waktu. Maka, stigmatisasi tidak dibutuhkan karena mereka juga memberikan tubuh, pikiran, imajinasi, dan karya untuk eksistensi budaya lokal yang dalam ideal negara selalu mendukung budaya nasional.
Pilihan mentransformasi tubuh Besut menjadi tubuh Rusmini merupakan perjalanan kultural manusia untuk memaknai tubuh dalam ruang kehidupan yang bergerak dinamis. Kenyataannya, tubuh Besut dan Rusmini di masa lampau adalah dua tubuh yang berbeda. Namun, dua tubuh yang berbeda itu sudah tidak ada atau tidak hadir dalam kehidupan masa kini.
Meskipun demikian, energi dan spirit ke-Besut-an dan ke-Rusmini-an tetaplah hadir dalam imajinasi dan pikiran para seniman ludruk dan teater. Kelenturan dalam memahami performativitas gender, mengadopsi konsep Buttler (1990), menjadikan kedua tubuh tersebut bisa dihadirkan dan saling berganti peran.
Performativitas gender merupakan konsep yang menegaskan bahwa manusia yang terlahir sebagai perempuan ataupun lelaki, tidak menjamin mereka akan berlaku sebagaimana kebiasaan dalam masyarakat. Manusia bisa belajar untuk menyesuaikan dengan apa-apa yang ada dalam sebuah masyarakat.