Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Petik Laut Tanjung Papuma dalam Perspektif Pariwisata Ekokultural

2 Agustus 2022   13:27 Diperbarui: 9 Agustus 2022   14:11 1650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari pagi mulai menghangatkan birunya air Samudra Indonesia dengan segenap kasihnya. Pasir putih mulai berkilau dicumbu ombak yang tidak terlalu besar. Satu demi satu pengunjung mulai menikmati Pantai Tanjung Papuma, Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Jember. 

Orang tua menemani anak-anak mereka bermain air. Kaum muda berjalan menyusuri bibir pantai, menikmati angin laut. 

Soal keindahan Papuma, tentu tidak usah diragukan lagi. Komposisi pasir putih yang berpadu dengan jernihnya air laut dan hijaunya pepohonan di kawasan tanjung, menghadirkan rasa takjub yang selalu saya rasakan setiap kali ke destinasi pariwisata ini sejak kuliah S1 (1996) sampai sekarang ketika bekerja dan menetap di Jember. 

Ratusan kapal kayu nelayan yang bersandar membentuk narasi visual yang indah. 

Tepi pantai Papuma menjelang siang. Dok. penulis
Tepi pantai Papuma menjelang siang. Dok. penulis
Namun, ada sesuatu yang berbeda pada Sabtu pagi, 30 Juli 2022. Orang-orang berpakaian adat Keraton Ngayogyakarta, baik laki-laki dan perempuan, berdatangan, menuju kawasan Siti Hinggil, bukit di sudut Papuma untuk melihat luasnya Samudra Indonesia. 

Para lelaki berpakaian baju lurik dan perempuan berpakaian ala marlena (Madura) juga menuju tempat pertemuan di sisi selatan Papuma, di bawah Siti Hinggil. 

Puluhan perempuan berpakaian penari juga bersiap di beberapa tempat dekat tempat pertemuan. Wajah mereka begitu sumringah, bahagia, meskipun sinar matahari semakin menghangatkan suasana. 

Kepala Desa Lojejer memberi sambutan. Dok. Sulis
Kepala Desa Lojejer memberi sambutan. Dok. Sulis

Setelah semua siap, pembawa acarapun memandu berlangsungnya upacara pembukaan Petik Laut Tanjung Papuma 2022. Even ini terselenggara atas kerjasama Pemerintah Desa (Pemdes) Lojejer dengan KBM Ekowisata Perhutani Jawa Timur.

 Beberapa pihak yang mendukung terselenggaranya acara adalah Dewan Kesenian Jember (DeKaJe), Komunitas Puri Asih, Sanggar Seni Sotalisa, UKM Kesenian Universitas Jember, dan Sanggar Seni Putra Tanjung. 

Tari Lenggang Jember. Dok. penulis
Tari Lenggang Jember. Dok. penulis

Enam penari perempuan menyemarakkan suasa pembukaan acara sambutan. Para penari yang berasal dari Sanggar Seni Sotalisa tersebut menarikan tati Lenggang Jember. 

Tari ini menggambarkan keragaman etnis, budaya, dan religi masyarakat Jember sebagai akibat proses historis dari era kerajaan, kolonial, hingga saat ini. 

Makna keragaman tersebut diwujudkan dalam rancak gerak tari yang menyerap kekayaan gerak Jawa, Madura, Eropa, dan yang lain. Kelincahan dan kegembiraan para penari menghadirkan suasana budaya Jemberan yang begitu semarak dan dinamis. 

Selain dalam wujud gerak, keragaman tersebut disuguhkan dalam wujud ilustrasi musik digital yang mengkolaborasikan rancak suasana musikal Madura, Jawa, Eropa, dan yang lain. 

Tari Gambyong Marikangen. Dok. Tim Video
Tari Gambyong Marikangen. Dok. Tim Video

Sajian tarian berikutnya adalah tari Gambyong Marikangen yang dipersembahkan oleh para penari perempuan dari UKM Kesenian Universitas Jember. 

Dengan busana kombinasi hijau tua dan kuning, para dengan khidmat dan seksama menyampaikan ajakan untuk selalu bersyukur atas bermacam karunia Tuhan untuk manusia dalam kehidupan. Ilustrasi musik Jawa yang lumayan lambat terdengar kontras dengan suara debur ombak laut selatan. 

Meskipun demikian, kontras tersebut menghasilkan komposisi yang bertubrukan tetapi tetap enak didengar. 

Pulau-pulau karang di Papuma. Dok. penulis.
Pulau-pulau karang di Papuma. Dok. penulis.

Bagi saya, sajian indah kedua tari tersebut semakin sempurna dengan background pulau-pulau karang, biru air Samudra Indonesia, dan debur ombak yang membentuk komposisi estetik alamiah. 

Pilihan untuk tidak menambahkan aspek dekoratif apapun di atas panggung sangatlah tepat, karena para penonton dan tamu undangan bisa menikmati sajian koreografis sekaligus keindahan pemandangan pantai dan laut. Pasir putih yang ditaburkan di atas panggung juga memberi kesan para penari tidak menari di atas panggung, melainkan langsung di atas pasir putih. 

Ritual Petik Laut Wajah Baru

Lazimnya ritual Petik Laut di banyak tempat, setelah upacara pembukaan dan pembacaan doa, warga masyarakat nelayan akan membawa aneka sesajen dan kepala sapi/kambing untuk di-larung ke tengah laut. Namun, Petik Laut Tanjung Papuma 2022 menghadirkan komposisi ritual yang belum pernah dilakukan di Jember. 

Pembawa gunungan dan sesajen. Dok. penulis
Pembawa gunungan dan sesajen. Dok. penulis
Kebaruan itu dihadirkan dalam bentuk prosesi ritual yang menggunakan adat Jawa Ngayogyakarta dengan pernik-pernik sesajen dan gunungan hasil bumi. 

Mengapa demikian? Kades Lojejer, Mohammad Sholeh, memiliki pertimbangan khusus, yakni untuk memberikan makna yang lebih sakral karena Petik Laut memang ditujukan sebagai doa dan harapan kepada Tuhan Yang Mahaesa agar warga nelayan dan semua warga yang bekerja di sektor kelautan mendapatkan yang terbaik dan terhindar dari musibah. 

Untuk sampai kepada tujuan tersebut, tentu rangkaian ritual harus digarap dengan serius, tidak asal arak-arakan. Untuk itulah, Pemdes Lojejer meminta bantuan desain acara proses ritual kepada DeKaJe, Puri Asih, dan Sanggar Seni Sotalisa. 

Tidak lupa, Kades Lojejer juga meminta masukan dari para akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember terkait penguatan makna dan pengetahuan ritual Petik Laut. 

Warga Puri Asih menyiapkan sesajen ritual. Dok. penulis
Warga Puri Asih menyiapkan sesajen ritual. Dok. penulis

Tata aturan ritual ala Ngayogyakarta dipilih karena para warga Puri Asih selama ini sudah terbiasa melakukan ritual yang berkaitan dengan larung sesaji dengan adat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Sebagai warga Jawa yang tinggal di wilayah multikultural bernama Jember, mereka yang bergabung di Pura Asih memang masih terus berusaha melestarikan adat-istiadat leluhur dari Yogyakarta. 

Maka, proses ritual Petik Laut Tanjung Papuma dimulai dengan iring-iringan warga Puri Asih dari Siti Hinggil. Dengan pakaian adat Jawa Ngayogyakarta lengkap, puluhan warga berjalan menuruni tangga demi tangga secara khusuk. 

Diarahkan oleh seorang cucuk lampah (pembuka dan pengarah jalan), mereka menuju rombongan perangka dan warga desa Lojejer bersama para mahasiswa KKN yang sudah siap dengan gunungan hasil bumi dan aneka sesajen. 

Pimpinan Puri Asih dan istri diikuti rombongan turun dari Siti Hinggil Papuma. Dok. penulis
Pimpinan Puri Asih dan istri diikuti rombongan turun dari Siti Hinggil Papuma. Dok. penulis

Iring-iringan warga masyarakat, perangkat desa, mahasiswa dan penghayat Puri Asih selanjutnya bergerak ke arah para tamu undangan. Para tamu pun diajak bergabung, berjalan bersama menuju bagian tengah Papuma. 

Meskipun harus berjalan di atas pasir putih dengan sinar matahari yang mulai menyengat, mereka tetap bersemangat. 

Di tengah perjalanan rombongan hapsari menyambut mereka dengan tarian sakral selama beberapa menit. Puluhan perempuan muda memerankan hapsari, peri samudra/lautan, dengan busana Jawa berwarna-warni. 

Sesampai di lokasi, para hapsari mengambil posisi melingkar di depan para pengunjung yang merangsek ingin melihat lebih dekat prosesi ritual yang akan dilaksanakan di tepi laut. 

Barisan hapsari. Dok. Tim Video
Barisan hapsari. Dok. Tim Video
Setelah ustadz memimpin doa dengan cara Islam, beberapa warga Puri Asih pun memulai ritual dengan mantra Jawa. Dengan sesajen, mereka dengan khusuk merapal mantra sambil menghadap laut selatan, Samudra Indonesia. 

Ratusan pengunjung pun mengikuti ritual dengan penuh ketertarikan. Banyak dari mereka yang mengabadikan prosesi ritual yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya dengan kamera HP. Tidak ketinggalan, para jurnalis dan fotografer pun membidik prosesi ritual dengan kamera profesional. Panas matahari tidak menyurutkan sama sekali semangat mereka. 

Warga Puri Asih memimpin ritual di tepi pantai. Dok. penulis
Warga Puri Asih memimpin ritual di tepi pantai. Dok. penulis

Sampai akhirnya, beberapa nelayan diberikan tugas khusus untuk melarung sesajen dan hasil bumi ke samudra. Para pengunjung pun beramai-ramai ikut mendorong perahu motor yang ditumpangi beberapa nelayan. 

Menariknya, dalam ritual ini tidak ada kepala sapi, kerbau, atau kambing yang dilarung ke samudra. Tentu ini berbeda dengan pelaksanaan petik laut atau larung sesaji di tempat lain.

Apa yang perlu dicatat, tidak ada kewajiban dalam tata adat Jawa untuk melarung kepala sapi, kerbau, atau kambing dalam ritual petik laut. Kalau ada masyarakat yang melakukannya, itu merupakan pilihan berdasarkan kesepakatan bersama.

Jadi, kalaupun dalam Petik Laut Tanjung Papuma 2022 hanya melarung sesajen dan hasil bumi, tidak menjadi masalah. Apa yang terpenting adalah niatan dan doa untuk kebaikan bersama.

Ratusan warga melepas nelayan dan perahu motornya, membawa sesajen dan hasil bumi. Dok. Tim Video
Ratusan warga melepas nelayan dan perahu motornya, membawa sesajen dan hasil bumi. Dok. Tim Video
Bagi saya, apa yang juga cukup membahagiakan adalah menyaksikan banyaknya pengunjung yang bertahan hingga pembagian hasil bumi dari gunungan. Mereka berebut untuk mendapatkannya. Ini tentu menjadi sinyal positif. Warga masyarakat ataupun wisatawan tertarik untuk mengikuti prosesi ritual Petik Laut. 

Meskipun awalnya mereka hanya ingin menikmati keindahan Pantai Tanjung Papuma, gelaran ritual bisa menarik rasa ingin tahu mereka. Apalagi banyak di antara mereka adalah generasi muda.

Memaknai Petik Laut dalam Kerangka Ekokultural & Kepariwisataan

Setelah mengikuti keseluruhan proses ritual Petik Laut Tanjung Papuma 2022, saya akan menghadirkan pembacaan dengan analisis sederhana yang menekankan perspektif ekologis dan kultural dalam aktivitas kepariwisataan di kawasan Perhutani yang memiliki keindahan pantai dan kawasan hutan dengan beragam flora dan faunanya. 

Iring-iringan ritual menuju lokasi. Dok. penulis
Iring-iringan ritual menuju lokasi. Dok. penulis
Perhutani melabeli aktivitas wisata di kawasan Tanjung Papuma sebagai ekowisata (ecotourism). Tentu saja, mereka memiliki pertimbangan strategis berkaitan dengan keindahan alam dan kepentingan konservasi sebagai karakteristik ekowisata. Apalagi di kawasan hutan Tanjung Papuma terdapat aneka macam satwa seperti kera berkulit coklat dan hitam, biawak, aneka macam burung dan yang lain. 

Secara internasional, ekowisata dipahaami sebagai pariwisata berkelanjutan yang bercirikan: (a) berbasis sumber daya alam yang memberikan pengalaman dan pembelajaran tentang alam dan sejarahnya serta aspek-aspek lain yang berasal dari keterkaitan erat manusia dan bumi; 

(b) dikelola secara etis dan komunal sehingga tidak membahayakan lingkungan; dan, (c) bertujuan konservasi untuk pelestarian kawasan dan meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan warga komunitas (Fennell, 2003, 2002; Conway & Cawly, 2016; Donohoe & Needham, 2006). 

Bocah bermain di pinggir pantai. Dok. penulis
Bocah bermain di pinggir pantai. Dok. penulis

Ekowisata penting dalam usaha untuk membangun kawasan secara berkelanjutan karena menekankan pada aspek konservasi dan pemanfaatan alam secara arif dan tidak eksploitatif serta mengedepankan partisipasi warga komunitas dan wisatawan (Mondino & Beery, 2018; Boley & Green, 2015; Gale & Hill, 2009;).

Jika ekowisata dikelola secara benar dengan melibatkan pemerintah dan komunitas bisa memberdayakan kehidupan warga, seperti yang berlangsung di Thailand (Sonjai et al, 2018; Palmer & Chuamuangphan, 2018), Brasil (Rodrigues & Pridaeux, 2017), Bostwana dan Rwanda (Black & Cobbinah, 2016), Zimbabwe (Muzvidziwa, 2013), dan India (Das & Hussain, 2016). Bahkan, Singapura yang secara geografis memiliki keterbatasan wilayah dengan kekayaan alam, juga mengembangkan ecotourism (Tham, 2017).

Berdasarkan pemahaman di atas, pilihan Perhutani mengelola Tanjung Papuma dengan model ekowisata memang sudah tepat. Prinsip berkelanjutan yang disyaratkan ekowisata memang berat karena harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan segala isinya untuk generasi mendatang. 

Padahal, godaan untuk investor besar bagi aktivitas kepariwisataan di Tanjung Papuma terbuka lebar. 

Para hapsari membentuk pagar, mengawal ritual. Dok. penulis
Para hapsari membentuk pagar, mengawal ritual. Dok. penulis
Risiko eksploitasi kawasan untuk kepentingan pembangunan fasilitas seperti hotel dan resto serta taman permainan memang bisa terjadi ketika aspek konservasi dan keberlanjutan kawasan tidak diperhatikan. 

Itulah mengapa sampai sekarang di kawasan ini tidak terdapat hotel mewah, hanya penginapan standar yang dikelola Perhutani. Fasilitas selain kamar mandi, toilet, dan tempat ibadah, terbilang minim.

Apa yang patut diapresiasi adalah pelibatan warga masyarakat untuk menyediakan makanan dan minuman. Itu pun mereka tidak ditempatkan di warung-warung berfasilitas mewah. Warung mereka cukup sederhana, tetapi apa yang mereka suguhkan bisa dibilang cukup bagus. 

Keberadaan warga masyarakat menegaskan prinsip berbasis komunitas dari praktik ekowisata, sehingga mereka bisa ikut merasakan rezeki ekonomi dari keberadaan Papuma. 

Dalam perkembangannya, pengelola destinasi pariwisata unggulan Pantai Tanjung Papuma juga menengok kekayaan budaya masyarakat untuk dimasukkan sebagai atraksi wisata. 

Sudah lama mereka menyelenggarakan ritual Larung Sesaji setiap tahun baru Muharam atau Suro. Selain ritual, atraksi kesenian juga dihadirkan. 

Pengunjung ikut berpartisipasi dalam ritual. Dok. penulis
Pengunjung ikut berpartisipasi dalam ritual. Dok. penulis

Artinya, pengelola Papuma tidak hanya menggunakan perspektif ekowisata, tetapi juga pariwisata ekokultural. Guri, Osumanu & Bonye (2020) menjelaskan bahwa pariwisata ekokultural menekankan pemanfaatan kekayaan budaya dan lingkungan untuk menjalankan aktivitas pariwisata. 

Atraksi kultural bisa berupa material (seperti situs sejarah, arsitektur tradisional, kerajinan tangan, kuliner, pakaian adat, dan yang lain) atau non-material (seperti aktivitas keagamaan, pertunjukan seni, teknologi tradisional, festival tradisional). 

Selain itu pengetahuan adat berbasis alam sebagai warisan budaya tak benda juga bisa dimasukkan dalam elemen pariwisata ekokultural (Katelieva, Muhar, & Penker, 2019). 

Pariwisata ekokultural memiliki keunikan karena bisa menarik wisatawan untuk mengalami dan mengeksplorasi cara hidup masyarakat lokal, adat istiadat dan agama, warisan budaya, dan implikasi budaya lain yang tidak mereka kenal. 

Para hapsari menuju pantai. Dok. penulis
Para hapsari menuju pantai. Dok. penulis

Wisatawan juga bisa belajar mengapresiasi keberbedaan budaya masyarakat lokal di tengah-tengah trend homogenisasi budaya global. Pengembangan sumber daya ekologi dan budaya yang terkoordinasi dapat memberikan peluang kerja dan pendapatan bagi masyarakat lokal. 

Tentu saja, kebijakan strategis untuk menjalankan wisata berkelanjutan yang mengintegrasikan kekayaan budaya dan konservasi ekologis mutlak dibutuhkan agar pemerintah maupun warga masyarakat bisa merasakan dampak positifnya (Loulanski & Loulanski, 2011; Junjie Su, 2019; d’Hauteserre, 2010; Mgonja et al, 2015). 

Apa yang tidak boleh diabaikan adalah memberikan kendali kepada masyarakat lokal untuk terlibat secara langsung dalam menjalankan aktivitas wisata ekokultural agar potensi wilayah mereka tidak dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan dari luar yang bisa merugikan (Pereiro, 2016).

Kades Lojejer dan istri ikut memanjatkan doa. Dok. Pemdes Lojejer
Kades Lojejer dan istri ikut memanjatkan doa. Dok. Pemdes Lojejer

Dari perspektif ekokultural, apa yang dilakukan Pemdes Lojejer dan KBM Ekowisata Perhutani Jawa Timur dengan menggelar Petik Laut sebagai ganti Larung Sesaji serta dimeriahkan dengan gelar kesenian merupakan upaya konkrit untuk menjalankan aktivitas kepariwisataan yang juga terus menumbuhkan keterlibatan para pelaku seni dan budaya. 

Pelibatan mereka dalam Petik Laut tentu bisa memberikan suntikan energi baru untuk terus melestarikan kesenian atau melanjutkan sanggar/komunitas seni yang ada. 

Para pelaku seni dan budaya, selain mendapatkan rezeki ekonomi, juga akan menemukan dan merasakan empati dari pemerintah desa dan Perhutani sebagai representasi Negara di wilayah lokal. Dari situlah, mereka akan terus memelihara semangat untuk berkesenian dan berkebudayaan.

Iring-iringan menyusuri pantai. Dok. penulis
Iring-iringan menyusuri pantai. Dok. penulis

Apa yang tidak kalah pentingnya adalah memahami Petik Laut Tanjung Papuma sebagai bentuk pengetahuan ekologis tradisional (selanjutnya disingkat PET) terkait bagaimana memelihara relasi yang baik dengan bermacam isi alam semesta dan Tuhan Yang Mahabijaksana. 

Artinya, perspektif ekowisata dan wisata ekokultural berpeluang untuk menyebarluaskan PET ke tengah-tengah masayrakat melalui aktivitas ritual dalam kepariwisataan. 

Dari Petik Laut Tanjung Papuma 2022, saya mengidentifikasi beberapa PET yang cukup penting sebagai fondasi bagi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam. 

PET tersebut terdapat dalam keseluruhan prosesi dan elemen-elemen yang ada di dalamnnya dan menjadi kekayaan ekokultural kegiatan ini.

Gunungan dalam ritual. Dok. penulis
Gunungan dalam ritual. Dok. penulis

Pertama-tama, mari kita lihat keberadaan gubungan hasil bumi dan sesajen dalam ritual. Apa yang perlu diperhatikan adalah kehadiran gunungan hasil bumi dan aneka sesajen memiliki makna kultural spesifik. Bukan dimaksudkan untuk memberi makan jin atau makhluk lain selain Tuhan Yang Mahakuasa seperti banyak disalahpahami oleh orang-orang yang tidak paham. 

Gunungan hasil bumi merupakan ekspresi syukur kepada Tuhan karena sudah memberikan kemelimpahan rezeki kepada umat manusia.

Adapun sesajen memiliki makna-makna tertentu yang dikaitkan dengan tujuan sebuah ritual, khususnya untuk mengingatkan hakekat manusia sebagai makhluk yang terhubung dengan alam, makhluk yang lain, dan Tuhan Sang Pencipta. 

Keselarasan antara manusia dengan kekuatan Tuhan, alam, dan makhluk lain perlu dijaga agar tidak terjadi hal-hal yang membahayakan manusia. 

Artinya, terdapat pengetahuan ekologis dari kehadiran gunungan dan sesajen, di mana manusia diharapkan bisa terus menumbuhkan kesadaran untuk tidak semena-mena terhadap alam dan makhluk Tuhan yang lain karena bisa berdampak kepada hal-hal negatif kepada kehidupan mereka. 

Perempuan pembawa kendi. Dok. Tim Video
Perempuan pembawa kendi. Dok. Tim Video

Kehadiran barisan perempuan berpakaian adat Jawa pembawa kendi (tempat air dari bahan tanah) yang mengikuti iring-iringan membawa makna luhur tentang ajakan kepada manusia untuk terus memelihara sumber kehidupan, air. 

Kendi yang terbuat dari tanah liat mengingatkan kita agar terus mencintai tanah sebagai asal kehidupan dan tempat kita hidup di muka bumi.

Bagaimanapun juga, saat ini, dunia terancam oleh krisis air akibat bermacam kerusakan ekologis. Meskipun di Jember air relatif masih mudah didapatkan, kita tidak boleh lengah karena bermacam masalah lingkungan tengah berlangsung di Jember akibat pembangunan dan alih fungsi lahan serta berkurangnya lahan serapan.

Pemaknaan tersebut sekaligus meng-counter pendapat sebagian orang yang salah kaprah atau tidak paham makna secara kultural dari keberadaan sesajen dan gunungan. 

Akibatnya, mereka seringkali mengidentikkan sesajen dan gunungan sebagai bentuk penyekutuan terhadap Tuhan. Padahal tidak demikian maksudnya.

Para hapsari. Dok. Tim Video
Para hapsari. Dok. Tim Video

Kehadiran puluhan hapsari, peri samudra/lautan, yang diperankan para perempuan muda menjadi sajian pembeda, karena dalam banyak acara petik laut di Jember, mereka tidak ada. Istilah hapsari berasal dari bahasa Sanskerta "apsara" yang bermakna peri samudra/lautan. 

Para hapsari melambangkan energi kebaikan samudra raya yang memberikan banyak kepada manusia. Selagi manusia mau terus merawat laut dengan tindakan-tindakan bijak, tentu para hapsari akan terus berdoa kepada Tuhan untuk mensejahterakan dan melindungi manusia. 

Mungkin selama ini orang berpikir sosok Nyi Roro Kidul atau Ratu Laut Selatan sebagai sosok yang dihormati dalam tradisi pesisir selatan di Jawa. Sejatinya, baik para hapsari ataupun Nyi Roro Kidul, tidak harus ditafsir sebagai sesuatu yang berkaitan dengan magis atau dilekatkan dengan makna syirik. 

Hapsari menari menyambut Kepala Desa Lojejer dan rombongan. Dok. Tim Video
Hapsari menari menyambut Kepala Desa Lojejer dan rombongan. Dok. Tim Video

Kita bisa memahami cerita ataupun sosok mereka sebagai kekuatan yang ikut menjaga keberadaan samudra raya. Ketika masyarakat nelayan menyajikan sesajen ataupun gunungan itu sebagai bentuk terima kasih kepada Tuhan dan semua makhluknya yang ikut menjaga samudra. 

Termasuk kepada ikan dan penghuni laut lain yang berkontribusi penting bagi kehidupan. 

Harapannya, masyarakat tetap memelihara pengetahuan tentang Nyi Roro Kidul ataupun peri samudra sebagai kerangka berpikir dan bertindak agar tidak eksploitatif dan tidak merusak laut. 

Jadi, kehadiran mereka dalam dongeng sehari-hari ataupun figur dalam ritual sejatinya sebagai upaya naratif untuk terus mengingatkan masyarakat tentang relasi harmonis yang harus dibangun dengan kekuatan-kekuatan yang ada di alam raya.

Hapsari menari, menyambut rombongan Kepala Desa Lojejer. Dok. Tim Video
Hapsari menari, menyambut rombongan Kepala Desa Lojejer. Dok. Tim Video
Satu adegan ketika hapsari menari dan menyambut rombongan Kepala Desa Lojejer bisa ditafsir sebagai ajakan kepada penguasa dari pusat hingga daerah untuk selalu meluruskan niat dan tindakan dalam memanfaatkan alam, termasuk laut dan segala isinya. 

Kalau penguasa hanya mengejar keuntungan ekonomi, maka masyarakat yang akan menanggung penderitaan akibat eksploitasi alam yang menyebabkan krisis ekologis.

Sementara, ritual di tepi pantai yang dilakukan dalam tradisi Jawa dengan kelengkapan sesajen dan doa bertujuan untuk memohon kepada Tuhan Yang Mahapenguasa untuk selalu memberikan kebaikan kepada warga nelayan dan semua yang bekerja di sektor kelautan. 

Selain itu, doa juga memohon agar Tuhan memberikan kekuatan kepada para wakil dan makhluk yang ditugaskan untuk menjaga samudra agar mereka bisa terus mengawal kelestarian laut dan kemelimpahan kebaikan darinya. 

Dengan pemahaman demikian, manusia menempatkan dirinya sebagai makhluk yang juga harus menghormati makhluk-makhluk lain yang mendapatkan tugas khusus dari Tuhan terkait kelestarian lingkungan. 

Ritual dalam adat Jawa. Dok. Tim Video
Ritual dalam adat Jawa. Dok. Tim Video
Cara pandang tersebut membawa implikasi berupa upaya manusia untuk selalu berusaha menjalani kehidupan dengan tidak menekankan nalar eksploitatif dan menempatkan makhluk hidup lain serta semua penghuni semesta sebagai subjek yang harus diposisikan setara. 

Manusia, pada dasarnya, mendapatkan paling banyak dalam kehidupan ini. Masa demi masa, alam selalu menghadapi ancaman dari nalar dan tindakan eksploitatif mereka, dari masa teknologi sederhana hingga teknologi canggih. 

Atas nama modernisme, manusia selalu berusaha menaklukkan alam dengan semua sumber daya yang ada. Apa yang terjadi kemudian adalah krisis ekologis sebagai ancaman global. 

Para hapsari mengawal ritual. Dok. penulis
Para hapsari mengawal ritual. Dok. penulis

Di tengah-tengah kondisi demikian, manusia Indonesia memang harus selalu berusaha untuk menemukan pikiran dan tindakan bijak yang sudah tersedia dalam ajaran leluhur. Para leluhur mengedepankan relasi harmonis dengan alam. Namun, oleh nalar modern itu semua dianggap kuno dan ketinggalan zaman. 

Waktu membuktikan bahwa perilaku arif dalam mengambil dari alam akan menentukan keberlanjutan kehidupan dan peradaban umat manusia. 

Maka, tidak salah kalau bagian akhir Petik Laut Tanjung Papuma 2022 adalah melarung sesaji dan hasil bumi ke laut lepas. Bersama-sama warga dan panitia mendorong perahu motor menuju laut. 

Gotong-royong memang harus selalu diutamakan untuk mengerjakan tindakan-tindakan bijak untuk mewujudkan keharmonisan dengan alam semesta dan semua makhluk. 

Perahu motor pembawa sesajen menuju laut. Dok. Tim Video
Perahu motor pembawa sesajen menuju laut. Dok. Tim Video

Menuju laut adalah penggambaran bagaimana semestinya manusia tidak egois dan mau menang sendiri. Mereka juga harus rela berkorban, menahan nafsu, dan melakukan tindakan bijak dalam mengelola lingkungan. Toh, pada akhirnya, semua itu akan kembali menjadi kebaikan yang diberikan alam kepada manusia. 

Seperti laut yang selalu memberikan ikan dan hasil lain yang melimpah.

BEBERAPA MASUKAN

Gelaran Petik Laut Tanjung Papuma 2022, setidaknya, bisa menjadi langkah awal untuk kerjasama strategis antara Pemdes Lojejer dengan KBM Ekowisata Perhutani Jawa Timur serta organisasi/lembaga seni-budaya dan para akademisi di Jember. Kawasan Tanjung Papuma yang meliputi pantai dan perbukitan dengan hutan yang begitu luas memungkinkan untuk dikembangkan lebih bagus lagi. 

Terkait fasilitas penginapan, misalnya, bisa diperbanyak dengan tetap memperhatian aspek ekologis. Artinya, tidak perlu merusak kawasan hutan, tetapi menggunakan lahan terbuka yang sudah ada. Desain penginapannya pun tidak harus mewah, tetapi mengedepankan rasa aman dan kenyamanan. 

Pohon gebang di bawah Siti Hinggil Papuma. Dok. penulis
Pohon gebang di bawah Siti Hinggil Papuma. Dok. penulis

Penataan para pedagang kuliner pun bisa dilakukan dengan prinsip dialogis. Karakteristik warung kuliner pun sebisa mungkin dimunculkan agar para pengunjung tidak hanya menikmati lezatnya masakan laut, tetapi juga ada kenangan akan estetika bangunan warung yang sederhana tetapi berkesan dan mengandung nilai-nilai kultural. 

Konsep wisata ekokultural perlu diperluas lagi cakupannya. Perhutani bisa menggandeng Pemdes dan para akademisi untuk melakukan riset pengembangan aktivitas kepariwisataan di destinasi Tanjung Papuma. 

Wisata konservasi, misalnya, bisa dilakukan dengan memperbanyak bibit pohon endemik Tanjung Papuma. 

Selanjutnya, bisa mengajak wisatawan untuk menanam pohon dan memberi nama mereka. Konsep asuh pohon bisa dikembangkan, sehingga wisatawan akan selalu berusaha ke Tanjung Papuma. Selain menikmati keindahan pantai, mereka juga bisa menengok perkembangan pohon yang ditanam. 

Pohon sekitar penginapan. Dok. penulis
Pohon sekitar penginapan. Dok. penulis

Pohon gebang merupakan salah satu pohon endemik Tanjung Papuma yang bisa dikembangkan dalam aktivitas konservasi. Pohon yang berbuah dalam bentuk biji menjelang kematiannya ini (biasanya berusia enam puluh hingga tujuh puluh tahun) bisa dibibitkan secara massif. 

Pengunjung diberikan penjelasan tentang keunikan pohon ini, sehingga mereka tertarik untuk menanamnya.

Memanfaatkan kawasan camping untuk menjaring para pengunjung muda juga bisa dilakukan. Tidak hanya menginap, para pengunjung bisa dibuatkan even belajar keragaman hayati di Tanjung Papuma. 

Mereka bisa diajak menikmati kesenian rakyat yang ada di Wuluhan dan sekitarnya sembari menyantap kuliner khas. Saya menyebutnya creative camping. 

Menyelenggarakan even musik jazz atau yang sejenis di kawasan bukit bisa menjadi tawaran paket wisata unggulan. Selama ini orang hanya mengenal pantai pasir putih dan malikan, tetapi jarang yang naik ke bukit untuk menikmati keragaman hayati dan pesona Samudra Indonesia. 

Pengunjung mengerumuni gunungan. Dok. penulis
Pengunjung mengerumuni gunungan. Dok. penulis

Para pengunjung diajak menonton pertunjukan musik, sembari meluaskan pandangan ke Samudra Indonesia yang begitu perkasa dan indah. Di sela-sela itu, kuliner laut dan es degan bisa disuguhkan. Tentu, pengunjung akan merasakan sensasi yang luar biasa. 

Sementara, komunitas UMKM akan mendapatkan rezeki ekonomi dari kuliner.

Kalau Bromo punya Jazz Gunung, Banyuwangi punya Banyuwangi Beach Jazz Festival, suatau saat tidak menutup kemungkinan Tanjung Papuma akan memiliki Jazz Tepi Samudra atau Jazz Tepi Benua. Semuanya memungkinkan. Tinggal serius atau tidak untuk mewujudkannya.

RUJUKAN

Boley, B. Bynum & Gary T. Green. (2015). Ecotourism and natural resource conservation: the ‘potential’ for a sustainable symbiotic relationship. Journal of Ecotourism. doi: http://dx.doi.org/10.1080/14724049.2015.1094080.

Conway, Thérèse & Mary Cawley. (2016). Defining ecotourism: evidence of provider perspectives from an emerging area. Journal of Ecotourism. doi: http://dx.doi.org/10.1080/14724049.2016.1153105.

Das, Daisy & Iftikhar Hussain. (2016): Does ecotourism affect economic welfare? Evidence from Kaziranga National Park, India. Journal of Ecotourism. doi: http://dx.doi.org/10.1080/14724049.2016.1192180

Donohoe, Holly M. & Roger D. Needham (2006) Ecotourism: The Evolving Contemporary Definition. Journal of Ecotourism, 5(3), 192-210. doi: http://dx.doi.org/10.2167/joe152.0

d'Hauteserre, Anne-Marie. (2010) Government Policies and Indigenous Tourism in New Caledonia. Asia Pacific Journal of Tourism Research, 15(3): 285-303. doi: 10.1080/10941665.2010.503620.

Fennell, David A. (2003). Ecotourism: An Introduction, Second Edition. London: Routledge.

Fennell, David A. (2002). Ecotourism Programme Planning. Oxon (UK): CABI Publishing.

Gale, Tim & Jennifer Hill. (2009). Ecotourism and Environmental Sustainability: An Introduction. In Ecotourism and Environmental Sustainability, edited by Jennifer Hill & Tim Gale, pp. 3-16. England: Ashgate Publishing Limited. 

Guri, Evelyn Abe-Iyel, I.K. Osumanu & S.Z Bonye. (2020): Eco-cultural tourism development in Ghana: potentials and expected benefits in the Lawra Municipality. Journal of Tourism and Cultural Change. doi: https://doi.org/10.1080/14766825.2020.1737095

Katelieva, Maria, Andreas Muhar & Marianne Penker. (2019): Nature-related knowledge as intangible cultural heritage: safeguarding and tourism utilisation in Austria. Journal of Tourism and Cultural Change. doi: https://doi.org/10.1080/14766825.2019.1693581. 

Loulanski, Tolina & Vesselin Loulanski. (2011) The sustainable integration of cultural heritage and tourism: a meta-study. Journal of Sustainable Tourism, 19(7), 837-862. doi: https://doi.org/10.1080/09669582.2011.553286.

Maria Katelieva, Andreas Muhar & Marianne Penker (2019): Nature-related knowledge as intangible cultural heritage: safeguarding and tourism utilisation in Austria. Journal of Tourism and Cultural Change. doi: https://doi.org/10.1080/14766825.2019.1693581.

Mgonja, John T, Agnes Sirima, Kenneth F Backman & Sheila J Backman. (2015). Cultural community-based tourism in Tanzania: Lessons learned and way forward. Development Southern Africa, 32(3), 377–391. doi: http://dx.doi.org/10.1080/0376835X.2015.1010710.

Mondino, Elena & Thomas Beery. (2018): Ecotourism as a learning tool for sustainable development. The case of Monviso Transboundary Biosphere Reserve, Italy. Journal of Ecotourism. doi: https://doi.org/10.1080/14724049.2018.1462371.

Muzvidziwa, Victor Ngonidzashe. (2013). Eco-tourism, Conservancies and Sustainable Development: The Case of Zimbabwe. Journal of Human Ecology, 43(1), 41-50. doi: https://doi.org/10.1080/09709274.2013.11906610.

Palmer, Nicola J. & Nipon Chuamuangphan. (2018): Governance and local participation in ecotourism: community-level ecotourism stakeholders in Chiang Rai province, Thailand. Journal of Ecotourism. doi: https://doi.org/10.1080/14724049.2018.1502248.

Pereiro, Xerardo (2016). A review of Indigenous tourism in Latin America: reflections on an anthropological study of Guna tourism (Panama). Journal of Sustainable Tourism. doiI: http://dx.doi.org/10.1080/09669582.2016.1189924

Rodrigues, Cristina Bittar & Bruce Prideaux. (2017). A management model to assist local communities developing community-based tourism ventures: a case study from the Brazilian Amazon. Journal of Ecotourism. doi: http://dx.doi.org/10.1080/14724049.2017.1309045.

Rosemary Black & Patrick Brandful Cobbinah. (2016). Local attitudes towards tourism and conservation in rural Botswana and Rwanda. Journal of Ecotourism. doi: http://dx.doi.org/10.1080/14724049.2016.1258074.

Sonjai, Nantira Pookhao, R. Bushell, Mary Hawkins & Russell Staiff. (2018). Community-based ecotourism: beyond authenticity and the commodification of local people. Journal of Ecotourism, 17(3), 252-267, doi: https://doi.org/10.1080/14724049.2018.1503502.

Su, Junjie. (2019): Managing intangible cultural heritage in the context of tourism: Chinese officials’ perspectives. Journal of Tourism and Cultural Change. doi: https://doi.org/10.1080/14766825.2019.1604720.

Tham, Aaron. (2017). Envisioning Eden: the manufactured ecotourism environment of Singapore. Journal of Ecotourism. doi: http://dx.doi.org/10.1080/14724049.2017.1334787


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun