Berdasarkan pemahaman di atas, pilihan Perhutani mengelola Tanjung Papuma dengan model ekowisata memang sudah tepat. Prinsip berkelanjutan yang disyaratkan ekowisata memang berat karena harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan segala isinya untuk generasi mendatang.Â
Padahal, godaan untuk investor besar bagi aktivitas kepariwisataan di Tanjung Papuma terbuka lebar.Â
Risiko eksploitasi kawasan untuk kepentingan pembangunan fasilitas seperti hotel dan resto serta taman permainan memang bisa terjadi ketika aspek konservasi dan keberlanjutan kawasan tidak diperhatikan.Â
Itulah mengapa sampai sekarang di kawasan ini tidak terdapat hotel mewah, hanya penginapan standar yang dikelola Perhutani. Fasilitas selain kamar mandi, toilet, dan tempat ibadah, terbilang minim.
Apa yang patut diapresiasi adalah pelibatan warga masyarakat untuk menyediakan makanan dan minuman. Itu pun mereka tidak ditempatkan di warung-warung berfasilitas mewah. Warung mereka cukup sederhana, tetapi apa yang mereka suguhkan bisa dibilang cukup bagus.Â
Keberadaan warga masyarakat menegaskan prinsip berbasis komunitas dari praktik ekowisata, sehingga mereka bisa ikut merasakan rezeki ekonomi dari keberadaan Papuma.Â
Dalam perkembangannya, pengelola destinasi pariwisata unggulan Pantai Tanjung Papuma juga menengok kekayaan budaya masyarakat untuk dimasukkan sebagai atraksi wisata.Â
Sudah lama mereka menyelenggarakan ritual Larung Sesaji setiap tahun baru Muharam atau Suro. Selain ritual, atraksi kesenian juga dihadirkan.Â
Artinya, pengelola Papuma tidak hanya menggunakan perspektif ekowisata, tetapi juga pariwisata ekokultural. Guri, Osumanu & Bonye (2020) menjelaskan bahwa pariwisata ekokultural menekankan pemanfaatan kekayaan budaya dan lingkungan untuk menjalankan aktivitas pariwisata.Â
Atraksi kultural bisa berupa material (seperti situs sejarah, arsitektur tradisional, kerajinan tangan, kuliner, pakaian adat, dan yang lain) atau non-material (seperti aktivitas keagamaan, pertunjukan seni, teknologi tradisional, festival tradisional).Â