Iring-iringan warga masyarakat, perangkat desa, mahasiswa dan penghayat Puri Asih selanjutnya bergerak ke arah para tamu undangan. Para tamu pun diajak bergabung, berjalan bersama menuju bagian tengah Papuma.Â
Meskipun harus berjalan di atas pasir putih dengan sinar matahari yang mulai menyengat, mereka tetap bersemangat.Â
Di tengah perjalanan rombongan hapsari menyambut mereka dengan tarian sakral selama beberapa menit. Puluhan perempuan muda memerankan hapsari, peri samudra/lautan, dengan busana Jawa berwarna-warni.Â
Sesampai di lokasi, para hapsari mengambil posisi melingkar di depan para pengunjung yang merangsek ingin melihat lebih dekat prosesi ritual yang akan dilaksanakan di tepi laut.Â
Setelah ustadz memimpin doa dengan cara Islam, beberapa warga Puri Asih pun memulai ritual dengan mantra Jawa. Dengan sesajen, mereka dengan khusuk merapal mantra sambil menghadap laut selatan, Samudra Indonesia.Â
Ratusan pengunjung pun mengikuti ritual dengan penuh ketertarikan. Banyak dari mereka yang mengabadikan prosesi ritual yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya dengan kamera HP. Tidak ketinggalan, para jurnalis dan fotografer pun membidik prosesi ritual dengan kamera profesional. Panas matahari tidak menyurutkan sama sekali semangat mereka.Â
Sampai akhirnya, beberapa nelayan diberikan tugas khusus untuk melarung sesajen dan hasil bumi ke samudra. Para pengunjung pun beramai-ramai ikut mendorong perahu motor yang ditumpangi beberapa nelayan.Â
Menariknya, dalam ritual ini tidak ada kepala sapi, kerbau, atau kambing yang dilarung ke samudra. Tentu ini berbeda dengan pelaksanaan petik laut atau larung sesaji di tempat lain.
Apa yang perlu dicatat, tidak ada kewajiban dalam tata adat Jawa untuk melarung kepala sapi, kerbau, atau kambing dalam ritual petik laut. Kalau ada masyarakat yang melakukannya, itu merupakan pilihan berdasarkan kesepakatan bersama.