Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyoal Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat

29 Juli 2022   04:00 Diperbarui: 29 Juli 2022   19:44 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Tumpeng Sewu di Kemiren Banyuwangi. Dok. banyuwangikab.go.id

"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang." (UUD 1945, Pasal 18B, Ayat [2])

Saya sengaja mengawali tulisan sederhana ini dari Pasal 18B Ayat [2] UUD 1945 untuk menegaskan bahwa meskipun Negara "mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya", tetapi terdapat empat syarat yang harus dipenuhi, yakni: (1) sepanjang masih hidup; (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (4) diatur dalam undang-undang. 

Sekilas empat syarat tersebut tampak wajar-wajar saja, tetapi, kalau ditelaah lagi, bisa memunculkan permasalahan yang tidak sederhana. Keempat syarat tersebut menunjukkan kuasa hegemonik Negara dalam menentukan ada atau tidaknya masyarakat adat dengan cara mencampuri, mendefinisikan, membagi, dan melakukan pengkotakan (Rosyada, Warassih, & Herawati, 2018). 

Jelas sekali bahwa Negara ingin tetap memapankan kehendak dan kuasanya terkait masyarakat adat. Meskipun gerakan masyarakat adat menguat pasca Reformasi 1998, dalam hal legalitas, Negara tampaknya masih setengah hati. 

Implikasinya, segala usaha untuk memperkuat keberadaan masyarakat adat di tanah air, baik berupa penguatan konstitusional maupun agenda-agenda perjuangan secara praksis, bukanlah persoalan mudah.

Bagaimana kehendak dan kuasa Negara untuk "tidak melepaskan begitu saja" eksistensi masyarakat adat di Indonesia bisa dilihat dari perjalanan RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) atau yang lebih dikenal dengan RUU Masyarakat Adat. 

Meskipun secara resmi sudah masuk ke DPR sejak April 2013, beberapa kali masuk program legislasi nasional (2017-2020), didukung partai-partai besar (PDIP, PKB, dan Partai Nasdem), dan melibatkan beberapa kementerian terkait dalam pembahasannya, sampai sekarang RUU tersebut belum jelas nasibnya (Nugraha, 2019). Sampai tulisan ini dibuat RUU itu belum juga disahkan karena masih membutuhkan harmonisasi.

Harmonisasi merupakan salah satu dari rangkaian proses pembentukan perundang-undangan dengan tujuan agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan. Analoginya, harmonisasi bagi perundangan yang sudah sah dilakukan lewat uji materi (judicial review). Wacana harmonisasi ini sudah berlangsung sejak 4 September 2020 dan dilontarkan oleh fraksi-fraksi di DPR (cnnindonesia.com).

Ritual Tari Seblang di Desa Bakungan, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (12/10/2014) malam.(KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI)
Ritual Tari Seblang di Desa Bakungan, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (12/10/2014) malam.(KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI)

Bahkan, desakan Koalisasi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat agar DPR segera mengesahkannya, belum membuahkan hasil (walhi.or.id). Menariknya, draft RUU yang berada di DPR, menurut Koalisi masih memerlukan beberapa perbaikan mendasar. 

Pertama, rehabilitasi terkait pemulihan terhadap pelanggaran hak masa lalu, yang bisa dilakukan lewat peraturan presiden atau peraturan pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan lewat lembaga yang permanen. 

Kedua, perlindungan terhadap perempuan adat. 

Ketiga, pengakuan terhadap keberadaan masyaraka adat dan wilayahnya, juga hak-hak lainnya semestinya tak perlu menanti terbitnya Peraturan Daerah, tetapi harus dipermudah untuk mendorong perlindungan terhadap masyarakat adat; dan, (4) perlunya data terpilah berdasar etnis dan jenis kelamin, sehingga identifikasi eksistensi masyarakat adat menjadi jelas.

Lebih jauh lagi, Kartodiharjo (2020) mengidentifikasi lima risiko yang harus diperbaiki dalam draft UU Masyarakat Hukum Adat. 

Pertama, penetapan masyarakat adat yang memakai cara yang sama dengan perizinan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak menyelesaikan wilayah adat di area izin bisa memunculkan konflik penggunaan ruang hidup. 

Kedua, mekanisme tersebut bukan hanya berpotensi memunculkan ketidakberesean tata kelola, tetapi juga berpengaruh terhadap kinerja panitia masyarakat hukum adat. Panitia berpotensi membatasi inisiatif warga melakukan identifikasi masyarakat adat. 

Ketiga, sentralisasi dan rumitnya rantai birokrasi menempatkan masyarakat adat sebagai subjek tanpa menimbang wilayah adat sebagai objek. 

Keempat, bisa terjadi konflik norma karena bunyi RUU tidak sejalan dengan kondisi di lapangan. Misalnya, untuk wilayah-wilayah tertentu, penetapan batas wilayah adat justru menjadi penyebab konflik antarmasyarakat adat. Karena itu keberadaan masyarakat tak perlu ditetapkan. Mereka bisa mendeklarasikan diri begitu identifikasi selesai. Negara hanya perlu mengatur hak-haknya saja. 

Kelima, risiko konflik aturan. RUU Masyarakat Adat masih belum menghadirkan kesatuan cara bagaimana penetapan masyarakat adat. Tidak ada pengaturan, misalnya, terkait penetapan suatu masyarakat adat oleh undang-udang lain yang selama ini telah berjalan. 

Tentu saja, kita boleh menduga secara kritis bahwa ada banyak hal yang ditimbang-ulang oleh pemerintah dan DPR, khususnya terkait untung-rugi ketika RUU itu disahkan menjadi UU. 

Aspek ekonomi terkait investasi pertambangan dan perkebunan di wilayah yang dihuni atau dekat dengan komunitas masyarakat adat, misalnya, bisa menjadi reasoning untuk tidak terburu-buru mengesahkan RUU ini. 

Tuntutan agar pemerintah melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hak atas persetujuan dini tanpa paksaan, serta hak-hak perempuan adat, memang sangat mendesak. 

Selama puluhan tahun pascakemerdekaan, khususnya selama rezim Orde Baru berkuasa, masyarakat adat dikalahkan oleh Negara atas nama investasi dan pembangunan yang memaksa, menindas, dan merampas hak-hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya mereka (Henley & Davidson, 2010: 13-18). 

Ritual Seblang Bakungan. (KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI)
Ritual Seblang Bakungan. (KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI)

Bagaimanapun juga, sampai saat ini, Negara tetaplah Negara yang memiliki kehendak dan kebijakan yang seringkali berbeda dengan kehendak dan kebajikan masyarakat adat. 

Pemenuhan hak atas pengelolaan wilayah dan lingkungan yang memungkinkan masyarakat adat menolak proyek dan investasi yang mengancam kelestarian ekologis dan ruang hidup mereka, misalnya, jelas dianggap mengganggu bermacam proyek investasi di bidang pertambangan, perkebunan, kelautan, pariwisata dan yang lain.

Tentu, saya tidak bermaksud mengendurkan keinginan kawan-kawan penggiat adat untuk mengusulkan Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di daerah. Namun, menyadari potensi permasalahan dan tantangan sejak dini memungkinkan kawan-kawan bisa berpikir dan bertindak secara kritis, konstruktif, dan komprehensif dalam menghadapi kehendak dan kuasa Negara. 

Kita tentu harus belajar dari molornya pengesahan RUU Masyarakat Adat ketika hendak memperjuangkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat . Hal-hal bersifat administratif-politis yang bisa dimainkan oleh rezim pemerintah tentu harus diwaspadai. 

Para penggiat adat harus lebih kritis dalam memahami hak-hak seperti apakah yang bisa diselaraskan dengan kepentingan masyarakat adat secara nasional dan internasional, khususnya yang berkaitan dengan dengan ketidakadilan dan eksploitasi ruang hidup, krisis ekologis dan iklim, dan pemberdayaan budaya lokal. 

Selain itu, para penggiat adat harus memahami posisi masyarakat dan budaya dalam konstalasi kebijakan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten di bawah rezim penguasa, khususnya bagaimana mereka menginkoporasi dan mentransformasi kekayaan adat ke dalam beragam even budaya (Setiawan, Tallapessy, Subaharianto, 2017a, 2017b; Setiawan & Subaharianto, 2020a, 2020b) serta eksploitasi ruang hidup untuk kepentingan pengembangan resort, pertambangan, dan yang lain. 

Bagaimanapun juga, memperjuangkan hak-hak masyarakat adat bukanlah praktik di ruang kosong dan beku, sehingga konteks kebijakan rezim dan kemungkinan keberlanjutannya di era kepemimpinan berikutnya perlu dibaca karena implikasi ekonomi, sosial, politik dan budaya yang akan mempengaruhi perjuangan masyarakat adat.  

HAK-HAK MASYARAKAT ADAT & KONTEKSTUALISASINYA 

Sebagaimana saya singgung di atas, para penggiat adat memandang bahwa Negara harus mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hak atas persetujuan dini tanpa paksaan, serta hak-hak perempuan adat. 

Namun, hak-hak tersebut adalah penyederhanaan dari 46 pasal dalam Deklarasi Hak-hak Msaayrakat Adat PBB Tahun 2007 (United Nations, 2007). Subtansi mendasar dari hak masyarakat adat mencakup aspek kewilayahan, sosial, budaya, ekonomi, dan politik, termasuk kewajiban pemerintah. Alih-alih membahasnya satu per satu, saya hanya akan merangkum dan membicarakan hak-hak yang sekiranya bisa dikontekstualisasikan untuk masyarakat adat. 

Prosesi upacara adat Kebo-keboan khas Suku Osing, Banyuwangi.(Wikimedia Commons/Wisnu Bangun Saputro)
Prosesi upacara adat Kebo-keboan khas Suku Osing, Banyuwangi.(Wikimedia Commons/Wisnu Bangun Saputro)

Baik secara individu maupun kelompok, masyarakat adat memiliki posisi setara dengan masyarakat lain dan bebas dari bermacam bentuk diskriminasi dalam melaksanakan hak-hak mereka, khususnya yang berdasarkan asal-usul atau identitas asli mereka. Implikasi dari hak ini adalah hak untuk "menentukan nasib sendiri", yakni menentukan status politik mereka dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya. 

Apa yang perlu dipahami, menentukan status politik sendiri di sini dimaksudkan sebagai hak otonomi atau pemerintahan sendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan internal dan lokal, serta cara dan sarana untuk mendanai fungsi otonom tersebut. Secara administratif-politik, memang banyak masyarakat adat yang sudah tidak memiliki sistem pemerintahan lokal karena terintegrasi dengan sistem pemerintahan desa secara nasional. 

Namun demikian, warga masyarakat adat masih memiliki hak sepenuhnya untuk mengembangkan dan memperkuat institusi dan kekayaan hukum, sosial, ekonomi, dan budaya yang masih ada. 

Tentu saja, untuk bisa menjalankan keinginan komunal, masyarakat adat dijamin hak mereka untuk merasakan kebebasan, kemananan, dan perdamaian serta tidak boleh menjadi sasaran diskriminasi, genosida, atau tindakan kekerasan lainnya, termasuk memindahkan mereka secara paksa dengan alasan apapun. Bahkan, masyarakat adat juga berhak untuk tidak mengalami asimilasi paksa yang bisa merusak budaya mereka. 

Hak-hak ini berimplikasi kepada keharusan Negara untuk membuat mekanisme efektif guna mencegah: 

(a) setiap tindakan yang bertujuan atau berdampak merampas integritas masyarakat adat atau nilai budaya dan identitas etnis mereka; 

(b) setiap tindakan yang memiliki tujuan atau efek merampas tanah, wilayah atau sumber daya mereka; 

(c) segala bentuk pemindahan penduduk secara paksa yang bertujuan atau berakibat melanggar hak-hak adat; 

(d) segala bentuk asimilasi atau integrasi paksa; dan, 

(e) segala bentuk propaganda yang dirancang untuk mempromosikan atau menghasut diskriminasi ras atau etnis yang ditujukan kepada mereka. 

Bahkan, tindakan relokasi oleh Negara harus tetap mendapatkan persetujuan terlebih dahulu oleh masyarakat adat yang dilakukan tanpa ancaman (bebas) setelah mereka mendapatkan penjelasan secara menyeluruh dan setelah mendapatkan kompensasi yang adil. 

Suku Dayak. (SHUTTERSTOCK/Akmal Luthfi M)
Suku Dayak. (SHUTTERSTOCK/Akmal Luthfi M)

Hal itu berkaitan dengan hak mendasar masyarakat adat untuk mengelola tanah, wilayah, dan sumberdaya secara tradisional serta menkonservasinya di mana Negara diwajibkan untuk memberikan dan memastikan perlindungan hukum.  

Saat ini, memang tidak ada lagi genosida, namun perampasan lahan, pemindahan secara paksa, atau pemaksaan asimilasi yang bisa merusak budaya tidak jarang terjai, sehingga memunculkan perjuangan masyarakat adat untuk melawan kekuatan-kekuatan otoriter yang menindas. 

Meskipun demikian, kehadiran UU Cipta Kerja bisa mengancam hak-hak dan kehidupan masyarakat adat, khususnya terkait potensi perampasan lahan, pengabaian hak ulayat, dan terganggunya ruang hidup karena kerusakan lingkungan.  

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, mengatakan bahwa UU Cipta Kerja sebagian besar berkaitan dengan investasi dan nyaris tak memberikan apapun untuk melindungi tanah milik masyarakat adat. UU ini juga diyakini mempermudah perusahan untuk merampas lahan warga adat. 

Menurut Andreas Harsono, peneliti senior Human Rights Watch, UU ini akan merampas hak-hak masyarakat adat (Sumber). Laksanto Utomo, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) mengidentifikasi bahaya berupa rusaknya lingkungan karena melunaknya persyaratan AMDAL untuk pembukaan usaha, termasuk di kawasan adat. 

Selain itu, masyarakat juga terancam karena hak ulayat semakin diabaikan ketika investasi membutuhkan lahan hutan yang selama ini dikelola warga (gatra.com).    

Memang, terdapat masyarakat adat yang tidak memiliki hak ulayat, seperti masyarakat adat Osing di Banyuwangi. Namun, itu bukan berarti keberadaan mereka aman dari ancaman, khususnya yang lahir dari investasi yang berpotensi mengganggu dan menggusur ruang hidup warga. 

Di Banyuwangi, kita tidak boleh lupa perjuangan yang dilakukan warga di kawasan Tumpang Pitu, Wongsorejo, Songgon, dan Pakel. Perjuangan mereka tumbuh dari hadirnya ancaman akan keberlangsungan hidup dan keberlanjutan ekologis. 

Meskipun mayoritas mereka bukanlah warga Osing, penderitaan yang mereka hadapi sudah semestinya menjadi pertimbangan untuk menumbuhkan solidaritas sebagai sesama warga Banyuwangi. 

Kehadiran investasi di sektor pariwisata yang mulai masuk ke kawasan subur di banyak kabupaten, diakui atau tidak, bisa mengurangi ruang hidup warga yang hidup dari sektor pertanian. Dan, kekayaan adat dan budaya lokal tumbuh dan berkembang dari tradisi agraris. 

Ketika lahan untuk bercocok tanam semakin berkurang, implikasi destruktifnya adalah semakin berkurangnya ruang untuk menjalankan aktivitas kehidupan dan praktik kultural.   

Terkait budaya lokal, masyarakat adat juga berhak untuk memelihara, melindungi, dan mengembangkan perwujudan budaya mereka di masa lalu, sekarang, dan masa depan, seperti situs arkeologi dan sejarah, artefak, desain, upacara, teknologi, serta seni visual dan pertunjukan serta sastra. 

Masyarakat adat memiliki hak untuk mewujudkan, mempraktikkan, mengembangkan dan mengajarkan tradisi spiritual dan agama, adat istiadat dan upacara mereka; hak untuk memelihara, melindungi, dan memiliki akses privasi ke situs agama dan budaya mereka; hak untuk menggunakan dan mengontrol benda-benda seremonial mereka. 

Masyarakat adat memiliki hak untuk merevitalisasi, menggunakan, mengembangkan dan meneruskan kepada generasi mendatang sejarah, bahasa, tradisi lisan, filosofi, sistem penulisan dan kesusastraan mereka, dan untuk menunjuk dan mempertahankan nama mereka sendiri untuk komunitas, tempat dan warga. 

Ritual Seren Taun masyarakat Sunda. Dok. infobudaya.net
Ritual Seren Taun masyarakat Sunda. Dok. infobudaya.net

Dalam idealisasi PBB, Negara diharuskan untuk membuat kebijakan dan mekanisme yang menjamin dan memastikan pelaksanaan hak-hak tersebut. Tentu ini bukan persoalan mudah, karena, sebagaimana saya singgung dalam awal tulisan, Negara akan berhitung untung-rugi. 

Negara juga bisa berargumen bahwa sudah ada UU Pemajuan Kebudayaan yang menjadi landasan konstitusional dalam melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan budaya lokal. 

Masalahnya, sampai sekarang, implementasi UU tersebut kurang menyentuh akar permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku di wilayah lokal. Juga, karena bersifat umum, UU ini juga tidak memberikan jaminan konstitusional secara khusus kepada masyarakat adat. 

Bisa jadi, pemerintah daerah mengatakan bahwa mereka membantu pendanaan ritual dan sanggar seni, tetapi itu semua dilakukan dalam rangka meramaikan pariwisata dengan prinsip transformasi dan glamorisasi yang seringkali meminggirkan substansi. 

Bagaimana dengan pembelajaran ritual dan adat-istiadat, regenerasi kesenian rakyat, perawatan makam leluhur, transfer pengetahuan pertanian, batik, dan arsitektur lokal, pengenalan etnofarmasi,  dan, secara umum, keberlanjutan budaya mereka? Apakah hanya akan menjadi "perayaan penanda ketradisionalan" dalam gemerlap industri pariwisata?

Selama melakukan penelitian di beberapa daerah, saya menjumpai banyak seniman, tokoh adat, dan warga yang benar-benar mendedikasikan pikiran dan perjuangan mereka untuk menjadikan adat dan budaya lokal tetap ada dalam kehidupan masa kini. 

Kawan-kawan muda penggiat adat juga melakukan pendidikan adat-istiadat, regenerasi kesenian berbasis religi, dan aktivitas-aktivitas lain yang cukup strategis untuk pengembangan adat. 

Selain itu, saya juga berdiskusi dengan para pejuang ekologis yang berani bersuara dan bergerak untuk mengadvokasi komunitas warga yang dirugikan oleh kebijakan Negara dan kehadiran investasi yang berpotensi merusak lingkungan dan ruang hidup. 

Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dibutuhkan, karena semua proses di tengah-tengah masyarakat membutuhkan jaminan konstitusional agar memudahkan tindakan strategis dan operasional. 

Bagaimanapun juga, masyarakat adat telah, sedang, dan akan berkontribusi kepada pengembangan budaya lokal di daerah. Bermacam atraksi seni pertunjukan, tembang, dan ritual menjadi kekayaan dan karakteristik lokal yang tidak hanya menyemaikan dan menyuburkan identitas, tetapi juga menjadi kekuatan diplomasi untuk mengurangi stigmatisasi terhadap masyarakat adat.  

Sebagai tambahan, sebagaimana keinginan para penggiat adat di tingkat nasional, hak perempuan, anak-anak, dan para penyandang disabilitas di wilayah adat juga harus dihormati dan difasilitasi agar mendapatkan kesetaraan. Saya meyakini, masyarakat lokal memiliki mekanisme adat untuk menjamin persoalan tersebut. 

Namun, tidak menutup kemungkinan masih berkembangnya stigmatisasi dan marjinalisasi terhadap eksistensi mereka. Itulah mengapa jaminan pengakuan dan perlindungan dibutuhkan, karena kerja-kerja advokasi terhadap para perempuan, anak-anak, dan para penyandang disabilitas seringkali berhadapan dengan permasalahan kompleks.  

BEBERAPA DIMENSI YANG (MUNGKIN) PERLU DIPERTIMBANGKAN 

Tahun 2017, DPRD dan Pemkab Banyuwangi mengesahkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Adat Istiadat di Banyuwangi. Perda ini memfokuskan kepada usaha-usaha pelestarian, pengembangan dan pemajuan budaya lokal yang ada di Banyuwangi, tidak secara spesifik berbicara budaya Osing.

Porsi terkait Osing lebih banyak ditekankan kepada usaha pelestarian sastra dan bahasa. Tidak mengherankan kalau Pengurus Daerah Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Osing sejak awal menyatakan menolak rancangan Perda tersebut, karena tidak secara spesifik mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat Osing (Wiyana, 2016). Keragaman budaya dan etnisitas di Banyuwangi menjadi alasan DPRD untuk membuat Perda yang tidak mengkhususkan kepada masyarakat dan budaya Osing. 

Tradisi Tumpeng Sewu di Kemiren Banyuwangi. Dok. banyuwangikab.go.id
Tradisi Tumpeng Sewu di Kemiren Banyuwangi. Dok. banyuwangikab.go.id

Persoalan ini memang bersifat kompleks karena proses historis dari era kolonial hingga saat ini berkontribusi menjadikan masyarakat Banyuwangi dan banyak masyarakat di kabupaten lain bersifat plural dan sesuai dengan konstitusi, semua warga memang harus mendapatkan kedudukan setara. 

Walaupun demikian, tuntutan PD AMAN Osing juga bisa dipahami sebagai penegasan atas hak-hak yang semestinya diakui dan dilindungi, apalagi kontribusi masyarakat Osing yang cukup besar dalam mewarnai dan mendinamisasi budaya Banyuwangi.

Berkaca dari permasalahan tersebut, terdapat beberapa dimensi yang menurut saya perlu didiskusikan ataupun dijadikan bahan refleksi oleh para penggiat adat terkait keinginan untuk hadirnya Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. 

Pertama, dimensi kesetaraan yang menempatkan perjuangan untuk pengakuan hak-hak adat tidak dalam posisi eksklusif dan me-liyan-kan masyarakat adat lain. Meskipun komunitas adat lain belum memiliki lembaga khusus, tetapi kehadiran dan keberadaan mereka juga perlu diposisikan setara. 

Artinya, dalam wacana publik yang dikembangkan oleh penggiat adat, keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak adat harus disuarakan dalam prinsip kesetaraan, sehingga tidak memunculkan resistensi dari pihak-pihak tertentu yang merasa di-liyan-kan.

Kedua, dimensi diskursif dan praksis yang menempatkan pengayaan konstruksi pengetahuan dan praktik adat sebagai kekuatan strategis untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah. Saya sangat senang karena para penggiat di banyak daerah sudah memiliki kesadaran diskursif untuk mencatat dan menyebarkan keragaman pengetahuan adat di masyarakat, baik terkait ritual, kesenian, kuliner, dan yang lain. 

Artinya, para penggiat berani menjawab tantangan zaman, bahwa generasi muda harus berperan aktif dalam menegosiasikan dan menyebarkan kekayaan identitas mereka di tengah-tengah arus besar globalisasi. Yang juga cukup membanggakan, generasi muda terlibat langsung dalam regenerasi adat, baik melalui pelatihan, pertunjukan, maupun edukasi. 

Selain itu, jejaring di tingkat nasional dan internasional perlu diperkuat untuk menempatkan aktivitas para peggiat adat dalam gerakan bersama untuk mendapatkan masukan, pengetahuan, dan pengalaman strategis yang bisa memperbesar dan memperkuat gerakan di tingkat lokal. 

Dimensi diskursif dan praksis merupakan modal kultural sekaligus politis untuk menegaskan bahwa keinginan untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak adat bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, tetapi karena ada aktivitas-aktivita nyata di tengah-tengah masyarakat.  

Ketiga, dimensi negosiasi yang menuntut kemampuan untuk meyakinkan pihak-pihak terkait, seperti pemkab dan DPRD, tentang urgensi Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Ini bukanlah persoalan mudah. Para penggiat adat harus bisa menemukan formula jitu untuk membuat mereka benar-benar paham bahwa semua kekayaan budaya lokal. 

Selain itu, para penggiat juga harus mendapatkan dukungan publik dari tokoh adat dan warga masyarakat, kalau tokoh dan warga etnis lain, sehingga sebagai sebuah gerakan, keinginan untuk memiliki Perda tersebut bisa menjadi pandangan dunia kolektif. 

Kesamaan pandangan memang bukan persoalan mudah melihat realitas keragaman yang ada di masyarakat adat itu sendiri. Namun, itu bukan tidak mungkin ketika apa yang diwacanakan adalah kepentingan urgen untuk memperkuat eksistensi komunal.

Keempat, dimensi pemetaan strategis yang harus dilakukan untuk meneliti, mengkaji, dan menetapkan hak-hak adat seperti apakah yang masih bisa diperjuangkan untuk masyarakat adat di sebuah daerah. Tentu saja, kawan-kawan penggiat adat lebih paham dari saya terkait persoalan tersebut. 

Apa yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah pemetaan akan menghasilkan rekomendasi strategis terkait hak-hak dan juga komunitas-komunitas lokal di sebuah daerah yang bisa menjadi bagian masyarakat adat yang hak-hak mereka perlu diperjuangkan. 

Meskipun masing-masing komunitas memiliki partikularitas, mereka juga memiliki kesamaan-kesamaan yang bisa diidentifikasi sebagai bagian dari masyarakat adat tertentu.  

Hal ini perlu dilakukan agar tidak memunculkan kesan dominasi masyarakat dari beberapa desa tertentu yang layak diposisikan sebagai bagian masyarakat adat. Pembesaran kesan tersebut bisa menjadi 'energi negatif' yang bersifat kontra-produktif bagi setiap usaha para penggiat untuk mengajukan Perda.

BERPIKIR DAN BERTINDAK STRATEGIS: CATATAN PENUTUP 

Berkaitan dengan semua usaha dan perjuangan untuk melahirkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, saya jadi ingat sebah konsep yang ditawarkan Gayatri C. Spivak, salah satu pemikir kritis dari India. 

Spivak, dalam kajiannya tentang subjektivitas gender yang dikonstruksi dalam masyarakat, menjelaskan bahwa meskipun bersifat esensial, subjektivitas tersebut bisa dimanfaatkan untuk memperkuat komitmen, solidaritas, dan kekuatan komunal untuk melawan kekuatan-kekuatan dominan yang hendak melakukan opresi (Morton, 2007: 126). 

Pemikiran itulah yang dikenal dengan esensialisme strategis, artinya kelompok yang didefinisikan secara esensial seperti perempuan, komunitas adat, komunitas diaspora, dan yang lain, bisa menggunakan kesamaan karakteristik dan identitas kultural untuk melakukan tindakan dan gerakan strategis guna memberdayakan kehidupan mereka, termasuk melawan kekuatan-kekuatan dominan yang berpotensi merugikan dan mengeksploitasi mereka secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Esensialisme strategis, menurut saya, bisa diadopsi untuk mengerangkai gerakan para penggiat adat di daerah, termasuk dalam memperjuangkan Perda. Adalah kenyataan bahwa tidak mungkin lagi kita mengatakan budaya Osing sebagai budaya yang murni seperti dipraktikkan para leluhur. Mengapa demikian? 

Proses kolonial dan pascakolonialitas telah mempertemukan masyarakat pribumi di Banyuwangi dengan bermacam elemen budaya modern dan budaya etnis lain. Hibriditas kultural adalah realitas yang sekaligus menjadi strategis subjektivitas masyarakat lokal, di mana mereka mengapropriasi pengaruh budaya dominan sembari terus menegosiasikan budaya warisan leluhur (Setiawan & Subaharianto, 2016; Setiawan, 2020). 

Meskipun demikian, dalam ruang dan praktik hibrid tersebut, terdapat kesempatan untuk terus menegosiasikan kekuatan kultural warisan leluhur di tengah-tengah modernitas ataupun pengaruh budaya lain. 

Kesempatan itulah yang bisa digunakan untuk terus mewacanakan dan mempraktikkan budaya lokal secara esensial, tetapi bukan untuk kepentingan romantik (memosisikan sebuah masyarakat ataupun budaya yang tidak berubah). 

Penguatan-penguatan strategis di ruang lokal bisa digunakan untuk mengembangkan dan memajukan adat dan budaya lokal sehingga bisa berdampak positif untuk persoalan-persoalan lain. Pemanfaatan teknologi new media seperti Youtube, Facebook, Instagram, dan yang lain tentu akan cukup membantu dalam perluasan gerakan adat.

Ketika Pemkab memasarkan bermacam keunikan lokal dalam bingkai festival dan karnaval, diakui atau tidak, suka atau tidak, ada bermacam nilai dan pengetahuan adat yang digeser demi memenuhi formula yang disukai pasar. Sekuat apapun Negara berargumen bahwa itu semua dilakukan untuk melestarikan budaya lokal, sejatinya itu semua ditujukan untuk meredam kritik dan resistensi. 

Tujuannya jelas, investasi besar di sektor pariwisata yang selain memberikan keuntungan ekonomi juga politik. Dalam menyikapi konteks demikian, para penggiat adat bisa memanfaatkan kerangka esensialisme strategis adat untuk menegaskan bahwa ada ruang dan praktik komunal yang juga harus dipertahankan demi menjaga identitas adat yang memperkuat budaya lokal. 

Kemungkinkan berbeda pandangan dengan pemerintah daerah merupakan hal yang wajar karena perbedaan ruang dan dimensi kepentingan. Sejatinya, apa-apa yang sudah dilakukan oleh para pejuang adat dengan pelatihan dan pembelajaran adat, sesederhana apapun merupakan perwujuan esensialisme strategis yang bisa terus dikembangkan sebagai gerakan yang lebih massif. 

Kalaupun harus terlibat dalam aktivitas pariwisata, maka masyarakat harus menjadi subjek yang berhak memberdayakan dan mengelola budaya mereka, tanpa harus membiarkan substansi pengetahunnya menguap.

Apa yang tidak kalah pentingnya adalah membawa pikiran dan tindakan strategsi berbasis ke-adat-an untuk terlibat dalam isu-isu ekploitasi kawasan dan lingkungan. Sebagaimana saya singgung di atas, masyarakat adat memiliki hak eksklusif untuk mengelola, memanfaatkan, dan mengkonservasi tanah dan wilayah untuk kepentingan mereka. 

Sekali lagi, mungkin akan ada sanggahan bahwa di beberapa kabupaten terentu, masyarakat tidak ada kawasan hutan ulayat. Namun, eksploitasi kawasan lokal untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, dan resort wisata, misalnya, bisa berdampak pada rusaknya ekosistem yang menyebabkan bencana dan mengancam eksistensi masyarakat dan adat. 

Edukasi terhadap warga tentang pentingnya untuk tidak menjual lahan produktif mereka kepada investor juga perlu dilakukan karena hal itu penting untuk menjaga akses ekonomi dan budaya masyarakat. Maka, mobilisasi ke-adat-an untuk memperkuat solidaritas komunal bisa bermanfaat untuk kepentingan ekologis dan ekonomi yang memberikan keuntungan kepada masyarakat. 

Hal itu juga sejalan dengan perjuangan masyarakat adat di negara-negara lain, di mana mereka menggunakan kekuatan adat dan komunal untuk berkonfrontasi dan melawan kekuatan-kekuatan dominan yang mengeksploitasi wilayah dan menyebabkan kerusakan ekologis dan ruang hidup (Enchave, 2005; Triscritti, 2013; Tetreault, 2015; Janzen, 2017;  Prause & Billon, 2020; Fernandez, 2020). 

Bahkan, para perempuan adat juga mengambil peran strategis dalam perlawanan terhadap praktik ekstraktif pertambangan (Jenkins & Rondn, 2015; Binoy, 2017).

Tentu saja, para penggiat adat di Indonesia tidak harus meniru secara mutlak perjuangan dan perlawanan di atas karena ada kondisi dan konteks yang berbeda. 

Setidaknya, para penggiat adat di Indonesia perlu untuk mengadopsi semangat dan energi perjuangan yang dilakukan para pejuang adat di negara-negara lain karena kekuatan-kekuatan dominan sejatinya akan terus bergerak ke wilayah-wilayah yang bisa terus di-eksploitasi. 

Memperkuat karakteristik ke-adat-an memang perlu untuk terus menegosiasikan dan memperkuat lokalitas masyarakat di tengah-tengah modernitas dan semarak pariwisata. Namun, memberdayakan ke-adat-an untuk berpikir dan bertindak strategis dalam menghadapi berbagai permasalahan yang diakibatkan kekuatan dominan-eksploitatif tentu tidak kalah pentingnya karena itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup dan budaya.

RUJUKAN 

Binoy, Parvathy. (2017). Darly And Her Battle With The Sand-Mining Mafia: Tracing A Feminist Geopolitics Of Fear In The Production Of Nature. Human Geography, 10(2), 37-53.

De Echave, Jos. (2005). Peruvian peasants confront the mining industry. Socialism and Democracy, 19(3), 117-127. http://dx.doi.org/10.1080/08854300500257930.  

Fernandez, Gisela V.R. (2020). Neo-extractivism, the Bolivian state, and indigenous peasant women's struggles for water in the Altiplano. Human Geography, o(o), 1-13. http://doi.org/10.1177/1942778620910896.

Henley, David & Jamie S. Davidson. (2010). Pendahuluan: Konservatisme radikal-Aneka wajah politik adat. Dalam Jamie S. Davidson, David Henley, & Sandra Moniaga (Ed). Adat dalam politik Indonesia. (Penerjemah Emilius O. Kleden & Nina Dwisasanti). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia bekerjasama dengan KITLV-Jakarta.  

Janzen, David W. (2017). Subject to a new law: historicizing rights and resistance in Maya anti-mining activism. Identities. http://dx.doi.org/10.1080/1070289X.2017.1305220.

Jenkins, Katy & Glevys Rondn. (2015). 'Eventually the mine will come': women anti-mining activists' everyday resilience in opposing resource extraction in the Andes. Gender & Development, 23(3), 415-431. http://dx.doi.org/10.1080/13552074.2015.1095560.

Kartodihardjo, Hariadi. (2020, 21 Desember). Lima Risiko Jika RUU Masyarakat Adat Disahkan Sekarang. Diunduh dari: https://www.forestdigest.com/detail/752/lima-risiko-jika-ruu-masyarakat-adat-disahkan-sekarang.

Morton, S. (2007). Gayatri Spivak. London: Polity Press.

Nugraha, Indra. (2019, 13 Desember). RUU Masyarakat Adat Masuk Prolegnas 2020, Berikut Masukan Para Pihak. Diunduh dari: https://www.mongabay.co.id/2019/12/13/ruu-masyarakat-adat-masuk-prolegnas-2020-berikut-masukan-para-pihak/.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. (2017). Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 Tahun 2017 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Adat Istiadat di Banyuwangi.

Prause, Louisa & Philippe Le Billon. (2020). Struggles for land: comparing resistance movements against agro-industrial and mining investment projects. The Journal of Peasant Studies. https://doi.org/10.1080/03066150.2020.1762181.

Rosyada, Amrina, E. Warassih, & R. Herawati. (2018).  Perlindungan Konstitusional terhadap KMHA dalam Mewujudkan Keadilan. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 20(1): 1-22.

Setiawan, I. (2020). Masa Lalu (yang Belum Berlalu) dalam Masa Kini: Membaca Ulang Pemikiran Pascakolonial Bhabha. Dalam Wening Udasmoro (Ed). Gerak Kuasa: Politik Wacana, Identitas, dan Ruang/Waktu dalam Bingkai Kajian Budaya dan Media (hlm. 317-345). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Setiawan, I. & A. Suhabarianto. (2020a). Neo-Exoticism as Indonesian Regional Government's Formula for Developing Ethnic Arts: Concept, Practice, and Criticism. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 421, 4th International Conference on Arts Language and Culture (ICALC 2019). https://doi.org/10.2991/assehr.k.200323.020.  

Setiawan, I. & A. Subaharianto. (2020b). Neo-Eksotisisme dan Rezim Kebenaran: Pemberdayaan Budaya Lokal dalam Mekanisme Pasar dan Ekonomi-Politik Birokrasi di Banyuwangi Festival. Dalam Mike Susanto, M. K. A. Rozaq, &  Z. Maryani (Ed). Kreativitas dan Kebangsaan: Seni Menuju Paruh Abad XXI, Prosiding Seminar Dies Natalis ke-36 ISI Yogyakarta (hlm. 445-462). Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.

Setiawan, I. & A. Suhabarianto. (2016). Bukan Sekedar Mencampur Budaya: Hibriditas sebagai Politik Kultural Masyarakat Using dddan Titik-Balikya di Masa Kini. Dalam Novi Anogerajekti, S. Macaryus, & H. Prasetyo (Ed). Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya (hlm. 76-101). Yogyakarta: Penerbit Ombak bekerjasama dengan Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas LP2M Universitas Jember.

Setiawan, I., A. Tallapess., & A. Subaharianto. (2017a). The Mobilization of Using Cultures and Local Governments' Political Economy Goals in Post-Reformation Banyuwangi. Humaniora, 29(1): 12-23.

Setiawan, I., Tallapessy, A., & Subaharianto, A. (2017b). Exertion of Cultures and Hegemonic Power in Banyuwangi: The Midst of Postmodern Trends. Karsa, 25(1): 147-178.

Tetreault, Darcy. (2015). Social Environmental Mining Conflicts in Mexico. Latin American Perspectives, Issue 204, 42(5), 48-66.

Triscritti, Fiorella. (2013). Mining, development and corporate-community conflicts in Peru. Community Development Journal, 48(3), 437--450.

United Nations. (2007). United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. New York: United Nations.

Wiyana, Akbar. (2016, 10 November). PD AMAN Osing Menolak Ranperda Perlindungan Budaya dan Adat Istiadat Banyuwangi. Diunduh dari: https://gaung.aman.or.id/2016/11/10/pd-aman-osing-menolak-ranperda-perlindungan-budaya-dan-adat-istiadat-banyuwangi/. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun