Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 mau dirusak oleh upaya elit-elit politik yang hanya ingin mengeruk keuntungan pribadi dan kelompok. Mekanisme demokrasi prosedural memang sudah menjadi tradisi dalam kehidupan politik bangsa ini. Sayangnya, mekanisme tersebut banyak dimanfaatkan para elit yang memiliki kekayaan, sehingga kebijakan yang ditelorkan bisa dikatakan kurang berpihak kepada kehidupan rakyat kebanyakan.Â
Termasuk kebijakan untuk eksploitasi kawasan alam yang semestinya menjadi cagar alam, taman nasional, ataupun hutan lindung. Kalau nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 benar-benar dijadikan landasan kebijakan, maka tidak akan terjadi perusakan lingkungan.
Menghadapi kondisi yang tidak menentu tersebut, mutlak dibutuhkan "kesadaran dan tindakan ksatria" yang dengan sungguh-sungguh ingin memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Para ksatria berbasis nilai-nilai agama dan budaya harus mengambil peran untuk mengembalikan kebaikan di negeri ini.Â
Harapan tersebut diwujudkan dalam adegan para jathil (penari jaranan) yang dengan lincah bergerak dengan bermacam formasi, ke segala penjuru mata angin. Mereka ingin menjernihkan pikiran rakus dan apa-apa yang merusak tatanan kehidupan; menghancurkan harmoni antara manusia dengan alam, relasi antara penguasa dan rakyat.
Ketika kondisi sudah lumayan terkendali, para "bidadari Watangan" yang disimbolkan oleh sepuluh penari perempuan hadir di hadapan penonton yang terdiri dari perangkat desa, alim ulama, dan warga masyarakat. Dengan riang gembira mereka menari, menebarkan energi kebaikan yang bisa memperkuat kesadaran manusia.Â
Mengkikuti alunan musik patrol Jemberan yang sudah didigitalisasi, kesepuluh penari dari Sanggar Tari Sotalisas Jember ini menarikan gerakan-gerakan atraktif, laksana para bidadari yang bergelimang cahaya. Â Mereka mengajak manusia untuk terus menumbuhkan energi dan sikap positif dalam kehidupan agar tidak dikendalikan oleh nafsu angkara murka. Manusia juga diajak untuk dengan riang gembira menjaga kelestarian alam dengan energi dan tindakan positif tersebut. Dengan jalan itulah kehidupan yang tidak eksploitatif bisa berlangsung.
Ketika manusia sudah mampu menumbuhkan kembali pikiran dan tindakan positif, mereka pun bisa terus mengembangkan hubungan harmonis dengan alam semesta. Harapan itu digambarkan dengan tari "Bhekti Segoro" yang dipersembahkan oleh para mahasiswa dari UKM Kesenian Universitas Jember (UKMK).Â
Tari kontemporer ini mengajak warga untuk terus mengucapkan raya syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas karunia berupa lautan luas. Adegan dinamis para penari dengan perahu kecil yang mereka bawa menandakan bahwa sudah sepatutnya manusia tidak merusak laut dengan tindakan-tindakan destruktif, karena laut sudah memberikan banyak bagi kehidupan manusia. Maka, warga harus terus mengusahakan perilaku dan tindakan yang tidak merusaknya.