Malam Minggu, selepas Maghrib, 26/06/22, halaman Balai Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Jember, mulai ramai dengan kehadiran anak-anak kecil bersama orang tua mereka. Para pedagang mainan anak-anak, makanan, dan minuman menyunggingkan senyum ceriah karena rezeki bersiap mengalir.Â
Cahaya warna-warni dari tata lampu panggung mulai menghiasai malam, melengkapi musik gamelan yang diputar oleh petugas sound system. Tampak Kepala Desa Lojejer, Mohamad Sholeh, mengarahkan para perangkat untuk mempersiapkan kursi bagi para undangan dan kebutuhan lainnya. Para seniman muda di ruang masing-masing mulai sibuk merias diri dan menyiapkan kebutuhan panggung. Sementara, tim produksi sibuk finalisasi kesiapan panggung, sound system, dan tata cahaya.
Begitulah gambaran suasana guyub menjelang pertunjukan kolosal sebagai malam puncak even Krida Sinatria Bhumi Watangan (KSBW). Setelah menggelar Jelajah Gua Purba (18/6/22), Sarasehan Kepurbakalaan, Kebudayaan, dan Lingkungan (19/6/22), Sarasehan Pertanian (20/6/22), Sholawat Al-Ghofilin (21/6/22), Sema'an Al-Qur'an (23/6/22), Senam Massal dan Konser Demy (24/6/22), dan Arak-arakan Gunungan (25/6/22, sore), pertunjukan seni yang melibatkan lebih dari seratus seniman muda menjadi penutup seluruh rangkaian kegiatan tersebut.
Sejak awal, KSBW memang didesain untuk merajut secara mesrah agama dan budaya sebagai cara untuk mengajak masyarakat merawat lingkungan hidup, khususnya kawasan Gunung Watangan yang merupakan benteng alam di selatan Jember. Selain itu, kegiatan ini juga diharapkan memberikan pengetahuan pertanian, kebudayan, sejarah, dan kepurbakalaan kepada masyarakat, agar mereka menyadari betapa pentingnya kawasan Watangan untuk kehidupan dan peradaban manusia.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pertunjukan yang digelar di halaman Balai Desa Lojejer ini mengambil tema "Ruwat Manusia Rumat Bumi." Mengapa demikian? Karena manusia dengan segala capaian pengetahuan dan teknologinya seringkali dikendalikan nafsu angkara murka sehingga banyak melakukan pengkhianatan terhadap perintah Tuhan Yang Mahaesa, merusak alam untuk memenuhi hasrat rakus mereka, serta melakukan tindakan-tindakan yang merugikan banyak manusia lain yang tidak berdaya.Â
Itulah mengapa manusia perlu "diruwat," dalam artian diajak berpikir dan merenung kembali atas semua perjalanan hidupnya dan segala implikasi negatif yang dilahirkannya di muka bumi. Harapannya, mereka menemukan titik cahaya untuk menumbuhkan-kembali posisi harmonis dalam diri berbasis ajaran-ajaran luhur agama. Dalam posisi itulah, manusia diharapkan mau dan mampu menanamkan kesadaran dan menerapkannya dalam tindakan praksis untuk "rumat bumi", menjaga dan melestarikan lingkungan beserta isinya untuk keberlanjutan kehidupan dan peradaban mereka.
Selepas Isya', ketika lebih dari seribu warga sudah memenuhi depan panggung, setelah sambutan Kepala Desa dan ulama kharismatik Gus Baiquni Purnomo, sesudah dalang pertunjukan membuka acara, para santri TPQ Al-Ghoflin Talangsari Jember mempersempahkan sendratari "Roro Jonggrang Bandung Bondowoso", sebuah cerita legenda yang sangat terkenal tentang penciptaan Candi Sewu di Prambanan. Para santri remaja yang sehari-hari belajar agama ini dengan percaya diri, ber-acting secara total untuk menghadirkan pertunjukan yang memukau penonton. Sorak-sorai pujian pun memecah malam di Lojejer.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa cerita ini dikaitkan dengan persoalan agama dan lingkungan? Sebagaimana sering disampaikan oleh Gus Baiquni dalam banyak kesempatan, "beragama tanpa budaya terasa kering, berbudaya tanpa agama, budaya akan suram."Â