Selama ini kita mengenal gunungan sebagai bagian dari ritual Grebeg Muludan, Syawalan, dan Besar di keraton Yogykarta. Hasil bumi dan makanan yang disusun menyerupai gunung ini tidak bisa dipisahkan dari ritual grebeg.Â
Ketenarannya menyebabkan banyak komunitas di tempat lain meniru dan menyelenggarakan acara serupa. Tentu itu tidak perlu dipersoalkan karena ekspresi budaya yang baik dan menarik biasanya dengan cepat akan menyebar dan ditiru oleh komunitas lain, meskipun mereka bukan bagian dari keraton ataupun tradisi besar istana.
Dalam tradisi grebeg keraton, gunungan merupakan bagian yang paling ditunggu warga masyarakat. Hasil bumi dan makanan yang disusun menjadi bentuk gunung ditunggu karena menyimbolkan kemakmuran dan kesejahteraan keluarga keraton yang hendak dibagikan kepada masyarakat.Â
Menjadi wajar kalau banyak di antara mereka yang percaya bahwa siapa yang mendapatkan hasil bumi dari gunungan akan mendapatkan kebaikan dalam kehidupan. Misalnya, hasil pertanian bisa bagus, hewan ternak sehat, pekerjaan lancar, dan yang lain.Â
Bagi warga Yogya yang biasa dengan tradisi keraton yang menempatkan Sultan sebagai sosok pemimpin dan panutan, memosisikan benda atau sesuatu yang berasal dari istana sebagai sumber manfaat merupakan sesuatu yang wajar. Namun, bagi warga Yogya yang memiliki keyakinan dan budaya berbeda, atraksi gunungan tentu menarik sebagai tontonan dan destinasi wisata.
Bagaimana dengan ritual gunungan yang diselenggarakan warga dari kawasan yang jauh dari istana? Warga yang berasal dari komunitas Jawa, meskipun jauh dari keraton, seperti Jawa Timur, tetap menghubungkan gunungan yang mereka buat dan perebutkan dengan makna-makna ideal terkait keberkahan, kebaikan, dan manfaat.Â
KEKUATAN KULTURAL
Makna-makna ideal itulah yang masih diyakini oleh Pemerintah Desa (Pemdes) dan warga desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Jawa Timur, ketika menggelar "Arak-arakan Gunungan" sebagai bagian dari even Krida Sinatria Bhumi Watangan, 25/06/22.Â