Rancak musik dan gerak tari jaranan meramaikan suasana pagi di kawasan hutan jati Maelang, Dusun Sebanen, Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Jember.Â
Para musisi dan penari jathil menyapa sekira 100 orang yang tengah berkumpul untuk mengikuti upacara pelepasan "Jelajah Gua Purba Watangan."Â
Hari itu, Sabtu, 18 Juni 2022, mereka bersiap untuk melakukan perjalanan sejauh empat - lima kilometer, menyusuri hutan jati untuk mengunjungi gua-gua purba.Â
Kehadiran para seniman jaranan selain untuk menyemangati para peserta jelajah, juga menunjukkan bahwa aktivitas di alam bisa dilengkapi dengan pertunjukan kesenian yang berasal dari desa. Perpaduan menarik ini bisa menjadi kekuatan untuk terus menghidupkan budaya lokal.Â
Acara jelajah yang merupakan bagian dari even "Krida Sinatria Bhumi Watangan" ini diselenggarakan secara gotong-royong oleh Pemerintah Desa Lojejer, Dewan Kesenian Jember (DeKaJe), Lingkar Kajian Eko-Kultural dan Pengembangan Komunitas (NiraEntas) FIB UNEJ, Pusat Kajian Pemajuan Kebudayaan UNEJ, Majelis Sholawat Al-Ghofilin Jember, dan Derap Kebudayaan Jember (Daya-Jember).Â
KETIKA KAUM MUDA MENJELAJAH GUA
Apa yang cukup menggembirakan adalah kehadiran para mahasiswa dan karang taruna sebagai peserta jelajah. Tanpa diberitahu mereka akan mendapat hadiah apa, kaum muda tersebut hadir di kawasan Maelang untuk memulai penjelajahan.Â
Ini menegaskan bahwa kaum muda sebenarnya cukup tertarik untuk terlibat dalam even yang menantang fisik mereka. Rasa jenuh akibat dua tahun tidak diperkenankan mengikuti acara massif bisa jadi menjadi alasan lain keterlibatan mereka.Â
Sebagai upaya untuk mengajak kaum muda mengkampanyekan potensi kepurbakalaan gua-gua di Watangan, dalam jelajah ini mereka diwajibkan memotret gua dan mengunggahnya dengan caption menarik di media sosial seperti Instagram dan Facebook.Â
Cara ini diharapkan menarik perhatian kaum muda untuk menantang kapasitas kreatif mereka dalam memotret dan menuangkan ide menarik dalam caption yang akan disebarluaskan.Â
Tentu saja, model tersebut memang sengaja dibuat agar kaum muda tidak malas dan jenuh ketika membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kepurbakalaan.Â
Bahkan, mereka yang tidak memiliki disiplin arkeologi pun bisa menuangkan karya fotografi di media sosial, meskipun tak sebagus dan sesempurna karya fotografer profesional.Â
Di sepanjang perjalanan menuju gua purba, mereka menikmati panorama hutan jati dan pohon endemik Watangan yang memanjakan mata. Pengalaman ini memberikan kesan tersendiri, terutama bagi mereka yang belum pernah merasakan menyusuri kawasan hutan.Â
Dari situ diharapkan akan tumbuh empati kaum muda terhadap keberadaan hutan, sehingga mereka pun tidak segan-segan untuk terlibat dalam usaha konservasi dan pelestarian.Â
Sesampai di  Gua Lowo dan gua-gua lainnya, mereka tidak bisa menyembunyikan rasa gembira, meskipun masih ada sedikit rasa takut. Namun, kehadiran para pemandu lokal, anak-anak muda Dusun Sebanen, menjadikan para peserta berani dan menikmati gua-gua yang mereka kunjungi.Â
Di depan gua atau ketika hendak memasuki gua, mereka pun saling memotret. Sebagai kaum muda, mereka berpose dengan bermacam gaya.Â
Tentu, tetap memperhatikan faktor keselamatan, mengingat kondisi depan gua yang tidak rata. Sekali lagi, peran penting para pemandu lokal sangat penting ketika para peserta melakukan pemotretan.Â
Dari gaya dan ekspresi yang terekam, kita bisa melihat betapa bahagianya anak-anak muda tersebut. Mereka yang belum pernah menikmati keindahan gua purba menemukan momen cukup berharga dan menyenangkan.Â
Senyum lepas, tanpa beban, dengan gaya individual maupun berkelompok, menunjukkan bahwa kaum muda yang sehari-hari bergelut dengan kehidupan modern, juga bisa menghayati keindahan gua-gua purba.Â
Realitas tersebut bisa menjadi dasar untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas rekreatif-edukatif yang berkaitan dengan kepurkalaan, sejarah, budaya, dan lingkungan dengan peserta kaum muda.Â
Alih-alih menghafalkan nama-nama kawasan dengan bermacam potensinya, mengajak mereka datang ke kawasan yang dimaksud bisa menjadi alternatif yang lebih menarik.Â
Untuk mendapatkan pengetahuan, sebelum masuk ke dalam gua, pemandu dan panitia menjelaskan hal-hal terkait kepurbakalaan gua-gua Watangan. Selain itu, para pemandu juga menjabarkan apa-apa yang harus diperhatikan di dalam gua.Â
Perpaduan pengetahuan kepurbakalaan dan panduan di dalam gua, setidaknya, bisa menambah wawasan dan kemampuan praktis kaum muda ketika mereka hendak berkunjung ke gua lain.Â
Setelah mendapatkan penjelasan, dengan hati-hati, para peserta memasuki gua. Dengan penerangan seadanya, mereka masuk satu per satu untuk mengamati kondisi.Â
Meskipun harus menahan pengap, panorama gua purba menjadikan para peserta terus mengamati dinding dan dasar gua, sembari melihat-lihat untuk memastikan ada atau tidaknya alat-alat peninggalan hominid Australomelanesid.Â
Meskipun, tidak menemukan sisa tersebut, para peserta tetap mengekspresikan rasa puas karena sudah mengetahui dan merasakan bagaimana suasana dalam gua. Bisa jadi mereka juga membayangkan bagaimana dulu manusia-manusia purba tinggal bersama, sebelum akhirnya punah.Â
Air terjun dan gua Maelang menjadi tempat favorit bagi para peserta. Meskipun guanya tidak terlalu dalam, mereka bisa memuaskan diri mereka dengan menikmati air terjun. Beberapa di antara mereka berpose duduk di atas batu secara ekspresif. Banyak pula yang memutuskan untuk mandi.
Memutuskan mandi merupakan pilihan masuk akal setelah melakukan perjalanan yang cukup menguras tenaga. Kebahagiaan ketika bermain air yang berasal dari sumber menghadirkan sensasi tersendiri.Â
Apalagi dilakukan bersama sahabat yang sehari-hari belajar bersama di kampus.
Ketika mereka menyelesaikan rute jelajah, meskipun mengaku capek, anak-anak muda itu mengungkapkan kebahagiaan dan rasa puas.Â
Mendapatkan pengalaman menjelajah, pengetahuan kepurbakalaan dan lingkungan, serta soft skill ketika berada di dalam gua menjadikan menikmati perjalanan.Â
BEBERAPA USULAN WISATA MINAT KHUSUS
Berdasarkan apa-apa yang berlangsung dalam Jelajah Gua Purba Watangan, ke depannya, kawasan Jember selatan yang berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia alias Segara Kidul ini bisa dikembangkan sebagai destinasi wisata minat khusus berbasis komunitas.Â
Komposisi gua purba Watangan, hutan jati dan hutan tropis, air terjun, serta pemandangan indah Samudra Indonesia menjadi elemen dasar untuk merintis wisata minat khusus.Â
Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan antara lain: jelajah gua, creative camping, konservasi pohon endemik, gelar seni,  penelitian, dan yang lain. Jelajah gua bisa dilakukan dengan paket lengkap seluruh gua atau beberapa gua, tergantung keinginan wisatawan. Tentu saja, para pemandu yang berasal dari kaum muda Lojejer perlu mendapatkan pelatihan bagaimana mengantarkan wisatawan dan memberi penjelasan kepada mereka.Â
Creative camping bisa dilakukan dengan memilih kawasan yang memungkinkan untuk mendirikan tenda dengan keamanan yang memadai. Para wisatawan diajak menginap setelah menjelajah atau tanpa menjelajah gua.Â
Sebisa mungkin dicari tempat yang bisa menikmati pemandangan Samudra Indonesia. Para peserta juga bisa menikmati sajian kesenian dan kuliner yang disiapkan warga Lojejer. Dengan demikian warga Lojejer terlibat langsung dalam aktivitas wisata, tidak hanya menjadi penonton.Â
Even kesenian seperti musik bisa diselenggarakan di kawasan yang bisa memandang langsung birunya Samudra Indonesia. Selama ini belum pernah ada even seperti itu di Jember.Â
Tentu saja, even ini membutuhkan kesiapan dan biaya yang tidak sedikit. Maka, kerjasama dengan Perhutani atau pihak lain sangat dibutuhkan. Sembari menikmati kuliner laut, para wisatawan bisa menghayati indahnya laut lepas serta hembusan angin yang memukau.Â
Konservasi pohon endemik bisa dilakukan dengan pihak Perhutani dan warga dusun di tepi hutan. Kita bisa meminta bibit ke balai pembibitan.Â
Atau, warga juga bisa melakukan pembibitan pohon endemik seperti kepuh yang selain bermanfaat untuk menyimpan air tanah juga bagus untuk keperluan medis dan yang lain.Â
Setiap wisatawan bisa diajak menanam dan mencatatkan nama mereka di kertas yang dibungkus plastik dan diikatkan pada masing-masing bibit yang mereka tanam.Â
Suatu saat mereka bisa mengunjungi pohon yang mereka tanam tersebut. Pengalaman tersebut tentu bisa memberikan rasa bahagia sekaligus empati untuk terlibat dalam usaha penyelamatan lingkungan.Â
Adapun terkait penelitian, Pemdes Lojejer dan lembaga-lembaga terkait bisa berkomunikasi atau menyampaikan kepada para peneliti kepurbakalaan dan lingkungan.Â
Bisa jadi masih ada gua-gua yang belum diteliti oleh arkeolog Belanda dan arkeolog Indonesia, sehingga akan ada temuan-temuan baru yang diharapkan bisa berkontribusi terhadap pengetahuan kepurbakalaan Indonesia dan dunia.Â
Sementara, penelitian lingkungan bisa dilakukan untuk mengetahui jenis tumbuhan/pohon dan binatang yang masih ada  di kawasan Watangan. Selain itu, para peneliti bisa mengkaji tentang posisi strategis Watangan sebagai benteng alam.Â
Temuan dan rekomendasi mereka diharapkan bisa memberikan masukan kepada pemerintah agar tidak menambang dan merusak kawasan Watangan yang sangat penting posisi ekologisnya.Â
Tentu, saya sendiri ikut berharap agar kawasan Watangan tetap bisa dijaga bersama, agar warga Lojejer dan Wuluhan tidak harus hidup dalam ketakutan karena ancaman tsunami dari gempa megathrust di Samudra Indonesia.Â
Terjaganya Watangan juga akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi warga dusun, karena mereka bisa terlibat dalam merintis aktivitas wisata minat khusus.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H