Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pancasila Pascadoktrin

6 Juni 2022   23:17 Diperbarui: 6 Oktober 2023   14:34 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pancasila(Wikimedia Commons/Badjra Bagaskara) 

Pancasila hanya hafalan! Paling tidak, itulah ungkapan umum untuk membaca dan memahami kondisi riil dari dasar negara hari ini. Korupsi, kekerasan berbau agama maupun etnik, penderitaan minoritas, minimnya penghargaan terhadap pluralisme, ketimpangan pembangunan wilayah Barat-Timur, perusakan alam, maupun masih tingginya angka kemiskinan menjadi bukti betapa Pancasila sebagai pedoman hidup masih jauh dari cita-cita para pendiri Republik. Negara dan bangsa ini butuh konsep baru untuk memahami Pancasila.

Konsep Pancasila pascadoktrin bisa menjadi alternatif dalam memahami dan menyebarkan Pancasila sebagai sebuah landasan filosofis. Pascadoktrin dalam tulisan ini merupakan kondisi pemahaman yang "menembus dan melampaui" kekakuan Pancasila sebagai sebuah doktrin. 

Alih-alih sebagai kondisi yang meninggalkan atau melupakan kandungan luhur Pancasila, pascadoktrin lebih dimaksudkan sebagai pemahaman baru yang mengkritisi pola dan model indoktrinasi yang dijalankan selama ini. Konsep pascadoktrin memberikan peluang bagi penyebarluasan kandungan nilai ideologis Pancasila dalam konteks kekinian. 

Harapannya, Pancasila akan bertransformasi dari "hafalan" menuju praktik representasi, produksi makna melalui praktik kebahasaan secara luas (Hall, 1997), yang menghasilkan pengetahuan bersama sebagai sesuatu yang dibayangkan, dipahami, dan dijalankan.

Melalui representasi, Pancasila sebagai dasar negara bisa terus bertransformasi ke dalam medan dan praktik sosio-kultural masyarakat, tanpa harus menomorsatukan atau memberhalakannya sebagai sebuah nama. Pemberhalaan itulah yang menjadikan Pancasila sekedar sebagai istilah yang semakin sering diucapkan, tetapi semakin cepat kehilangan kekuatannya. 

Meminjam pemikiran Barthes (1983), Pancasila selama ini belum bisa menyebar dengan konsep eks-nominasi, proses penyebaran nilai-nilai ideologis dalam representasi yang wajar, menarik, tidak doktriner, sesuai dengan kebutuhan, serta 'menomorsekiankan' nama ideologi tersebut.

Kapitalisme menjadi contoh par exellence dari eks-nominasi ideologi, dari masa lampau hingga masa kini. Ungkapan-ungkapan sederhana seperti, "setiap orang butuh uang", "waktu adalah uang", "setiap orang ingin kaya", maupun "hukum pasarlah yang penting" adalah rangkaian wacana yang hadir tidak sebagai doktrin, tetapi sebagai acuan berpikir, bahkan impian, bagi sebagian besar orang, dari pelosok dusun hingga kolong jembatan tol.

Dengan konsep pascadoktrin dan representasi, penyebaran Pancasila sebagai dasar negara perlu menimbang peran dan potensi strategis industri media/budaya maupun media sosial. Mengapa? Masyarakat kita hari ini sudah masuk ke dalam budaya media yang menampilkan permainan bahasa (tekstual, visual, maupun audio-visual) serta menawarkan beragam nilai serta wacana. 

Nilai-nilai filosofis Pancasila sangat mungkin disebarluaskan melalui media dan media sosial serta bisa menjadi tayangan yang menarik. Ilustrasi sederhana bisa diambil dari film Nagabonar Jadi Dua. 

Film ini, meskipun sangat populer, berhasil merepresentasikan wacana tentang indahnya ikatan keluarga antara bapak dan anak, relasi perempuan dan lelaki modern yang tidak harus terjebak dalam hubungan seks bebas, kritik terhadap investasi asing melalui keutamaan "kuburan sang istri" dibandingkan resor wisata, dan kritik terhadap kurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai kepahlawanan. 

Bukankah itu semua sangat Pancasilais, meski tak sekalipun menyebut nama Pancasila di dalam film?

Selain film dan televisi, bentuk-bentuk lain industri media/budaya, seperti fashion, karya sastra, fotografi, majalah, buku, media sosial, dan lain-lain, bisa menjadi alternatif untuk terus menyebarkan Pancasila secara pascadoktriner. Tentu, dibutuhkan keluasan kritik, evaluasi, dan kreativitas dari para kreator dalam masing-masing bidang agar tidak kembali terjebak ke dalam permainan narasi atau tanda yang kaku. 

Perluasan bentuk dan medan edar dari Pancasila yang selalu diperbarui dan dikritisi diharapkan akan memperluas pula imajinasi dan penerimaan keutamaan nilai-nilai yang terkandung dalam 'kegagahan burung garuda ini'.

Mestinya, pemerintah, DPR/MPR, maupun institusi-institusi lain yang masih punya kepedulian terhadap Pancasila, melakukan pendekatan dialogis dan persuasif terhadap para pekerja industri media/budaya agar berkenan memproduksi program atau narasi yang mampu merepresentasikan dan mentransformasikan kehadiran Pancasila 

sebagai sebuah cerita kritik maupun persuasif, bukan sebuah dogma. Apakah ini tidak mengembalikan media sebagai aparatus hegemonik negara?

Pemikiran kuasa hegemonik tidak selalu mengasumsikan kuasa sebagai praktik negatif, tetapi lebih pada makna konsensus dan produktivitas di mana kepemerintahan dibangun dari beragam wacana dan praktik yang terus diperbarui berdasar kondisi zaman, sehingga mampu menyuarakan kepentingan banyak pihak dalam negara. 

Toh, ketika ada usaha rezim untuk menelikung narasi sebagai alat untuk menutupi kebobrokan mereka, para pekerja media/industri budaya tetap bisa mengkritisi berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang lebih mengedepankan kejujuran dan demokrasi.

Kritik, evaluasi, dan narasi pascadoktrin dalam media akan memperluas usaha untuk memanggil dan membangunkan kembali jiwa Pancasila yang sudah mulai hilang dari imajinasi, pikiran, dan hati bangsa ini. Kelenturan menjadikan Pancasila sebagai nilai hidup berbangsa yang selalu diterima dan terterima oleh warga negara, bukan karena paksaan atau moncong senjata. 

Namun, karena mereka menemukan contoh-contoh yang tidak kaku dan menyatu dalam permasalahan hidup. Pancasila memang tidak hanya butuh doktrin, ia butuh representasi yang terus diperbarui agar tetap bisa dilihat, dinikmati, diresapi, untuk selanjutkan dijalankan. Semoga! 

BACAAN

Barthes, Roland.1983. Mythology. New York: Hill and Wang.

Hall, Stuart.1997a. "The Work of Representation", dalam Stuart Hall. Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun