Bukankah itu semua sangat Pancasilais, meski tak sekalipun menyebut nama Pancasila di dalam film?
Selain film dan televisi, bentuk-bentuk lain industri media/budaya, seperti fashion, karya sastra, fotografi, majalah, buku, media sosial, dan lain-lain, bisa menjadi alternatif untuk terus menyebarkan Pancasila secara pascadoktriner. Tentu, dibutuhkan keluasan kritik, evaluasi, dan kreativitas dari para kreator dalam masing-masing bidang agar tidak kembali terjebak ke dalam permainan narasi atau tanda yang kaku.Â
Perluasan bentuk dan medan edar dari Pancasila yang selalu diperbarui dan dikritisi diharapkan akan memperluas pula imajinasi dan penerimaan keutamaan nilai-nilai yang terkandung dalam 'kegagahan burung garuda ini'.
Mestinya, pemerintah, DPR/MPR, maupun institusi-institusi lain yang masih punya kepedulian terhadap Pancasila, melakukan pendekatan dialogis dan persuasif terhadap para pekerja industri media/budaya agar berkenan memproduksi program atau narasi yang mampu merepresentasikan dan mentransformasikan kehadiran PancasilaÂ
sebagai sebuah cerita kritik maupun persuasif, bukan sebuah dogma. Apakah ini tidak mengembalikan media sebagai aparatus hegemonik negara?
Pemikiran kuasa hegemonik tidak selalu mengasumsikan kuasa sebagai praktik negatif, tetapi lebih pada makna konsensus dan produktivitas di mana kepemerintahan dibangun dari beragam wacana dan praktik yang terus diperbarui berdasar kondisi zaman, sehingga mampu menyuarakan kepentingan banyak pihak dalam negara.Â
Toh, ketika ada usaha rezim untuk menelikung narasi sebagai alat untuk menutupi kebobrokan mereka, para pekerja media/industri budaya tetap bisa mengkritisi berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang lebih mengedepankan kejujuran dan demokrasi.
Kritik, evaluasi, dan narasi pascadoktrin dalam media akan memperluas usaha untuk memanggil dan membangunkan kembali jiwa Pancasila yang sudah mulai hilang dari imajinasi, pikiran, dan hati bangsa ini. Kelenturan menjadikan Pancasila sebagai nilai hidup berbangsa yang selalu diterima dan terterima oleh warga negara, bukan karena paksaan atau moncong senjata.Â
Namun, karena mereka menemukan contoh-contoh yang tidak kaku dan menyatu dalam permasalahan hidup. Pancasila memang tidak hanya butuh doktrin, ia butuh representasi yang terus diperbarui agar tetap bisa dilihat, dinikmati, diresapi, untuk selanjutkan dijalankan. Semoga!Â
BACAAN
Barthes, Roland.1983. Mythology. New York: Hill and Wang.