Namun, informasi ini lemah karena warga yang nyekar tidak tahu tentangnya. Dalam tradisi lisan, kalau sudah diketahui nama sosok di Makam Dowo, pasti informasinya akan cepat menyebar.Â
Apa yang patut diapresiasi dari tradisi nyekar warga adalah mereka melepas sandal di bagian bawah tangga sebelum naik dan masuk ke area makam. Kepada anak dan cucu, mereka juga mengajarkan untuk melepas sandal atau alas kaki lainnya. Ini tentu tradisi yang sangat baik dengan tujuan menghormati kawasan makam dan tokoh yang dikuburkan.
Makam Leluhur
Apa yang harus diapresiasi adalah sikap warga yang meskipun tidak tahu nama sosok yang dikuburkan tetao menganggap bahwa siapapun yang dimakamkan di Makam Dowo adalah leluhur yang berjasa menyiapkan pemukiman di kawasan Wangun dan sekitarnya.Â
Apakah itu di masa kerajaan atau pra-kerajaan, tidak ada yang tahu. Yang pasti, Wangun telah menjadi kawasan yang tumbuh dan berkembang. Dan, untuk itu semua, mengucapkan terima kasih dan mendoakan leluhur dengan cara nyekar merupakan sebuah tindakan yang baik. Warga dusun meyakini tidak ada yang salah dengan tradisi menabur bunga di makam leluhur yang telah berjasa.
Di tempat lain, beberapa makam panjang dikaitkan dengan "daya linuwih" seperti kedalaman ilmu atau kemampuan tertentu dari seorang tokoh. Panjangnya makam merupakan simbol dari luasnya pengetahuan si tokoh. Adapula yang dikaitkan dengan strategi untuk mengelabuhi musuh yang ingin mengambil jasad si tokoh.Â
Namun, saya tidak mendapatkan cerita itu dari warga. Mungkin suatu saat ada warga yang bisa bercerita tentang siapa sebenarnya tokoh di Makam Dowo, meskipun itu hanya cerita lisan, tidak ada salahnya untuk dicatat sebagai bahan untuk penelusuran lebih lanjut.
Apakah ada aspek keramat dari Makam Dowo yang menjadikan orang-orang melakukan ritual tertentu untuk mendapatkan pusaka atau manfaat lain? Mungkin saja ada. Anggap saja itu adalah cara mereka memaknai makam lama dengan mengkaitkannya dengan kekuatan ghaib. Tak perlu pula kita menstigmatisasinya sebagai warga terbelakang karena mereka punya nalar yang tidak harus sama dengan nalar modern. Toh, kehidupan ini memang tidak hanya terdiri dari satu dunia, tetapi banyak dunia.
Di manapun di dunia ini, kehidupan yang kompleks tidak cukup hanya diuraikan dengan nalar modern. Bahkan, di masyarakat supermaju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, cerita imajinatif dalam film spektakuler tentang hal-hal ghaib dan kekuatan supranatural masih digemari oleh warga. Pengetahuan dan teknologi modern belum sepenuhnya mampu menjawab kompleksitas kehidupan ini.
Tidak perlu pula kita mengatakan makam ini sebagai tempat yang mengundang tindakan syirik, apalagi kita tidak tahu doa dan ritual seperti apa yang mereka lakukan. Belum tentu juga mereka berniat mendapatkan pusaka. Saya punya beberapa kawan dosen yang seringkali nyekar ke makam tua untuk mendapatkan ketenangan dalam berdoa dan mendoakan leluhur.Â
Setidaknya, dengan "melekan" (bermalam di makam tanpa tidur dengan melakukan ritual tertentu) mereka tetap menjaga ikatan dengan leluhur yang dihormati serta semua makhluk yang ada di sana. Bukankah dalam kehidupan ini manusia hanyalah makhluk di antara banyak makhluk yang juga berhak ada di semesta raya?