Adalah hal yang sangat biasa kita menemukan banyak perempuan melakukan aktivitas perdagangan di pasar maupun wilayah-wilayah komersial lainnya. Di sebagian besar pasar tradisional di Solo dan Yogya, dan juga wilayah-wilayah Jawa lainnya, kita bisa menemukan betapa ruang publik ekonomi lebih banyak diisi oleh perempuanperempuan tangguh yang melakukan transaksi niaga.Â
Dalam banyak kasus, penghasilan perempuan Jawa yang berdagang di pasar seringkali lebih banyak dibandingkan penghasilan suaminya. Bahkan dalam ranah pekerjaan modern seperti guru, dokter, pegawai negeri sipil, dan lain-lain, perempuan Jawa juga mendapatkan ruang yang cukup leluasa. Namun, peran dominan tersebut ternyata masih saja menempatkan perempuan sebagai "kelas kedua" yang berada dalam "posisi selalu diawasi."
Subordinasi tersebut memang sepertinya tidak masuk akal ketika dikomparasikan dengan peran strategis perempuan dalam sektor ekonomi. Tentu saja persoalan tersebut tidak cukup hanya dikaji melalui 'apa-apa' yang tampak dalam jagat Jawa kontemporer. Lebih dari itu, dibutuhkan penelusuran konteks historis dan sosio-kultural Jawa untuk menemukan perspektif baru tentang persoalan perbedaan gender dalam masyarakat Jawa, khususnya yang berkaitan dengan perempuan.Â
AKAR SUBORDINASI: PRIYAYI, KOLONIAL, AGAMA
Apabila ditelusuri dari konteks historis, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi marjinalisasi perempuan Jawa, yakni: (1) nilai-nilai tradisi priyayi; (2) kepentingan kolonial; dan (3) pengaruh ajaran Islam tentang perempuan yang disalahtafsirkan.Â
Tradisi priyayi secara langsung atau tidak langsung mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam mengkonstruksi citra dan peran perempuan dalam masyarakat Jawa. Berbeda dengan tradisi rakyat kebanyakan yang diwarnai dengan tradisi egaliter dan blokosuto (apa adanya) sehingga terkesan kasar, kalangan priyayi yang hidup di keraton, baik Solo maupun Yogyakarta, lebih banyak mempertahankan nilai-nilai "alus" (halus/lembut).Â
Nilai-nilai tersebut penting untuk dipelihara karena akan berkaitan dengan status yang membedakan priyayi dan rakyat kebanyakan serta memelihara kuasa. Di samping itu, nilai-nilai kelembutan berkaitan erat dengan kemampuan seseorang untuk mampu mengola potensi diri, hati, dan pikirnya sehingga akan memperoleh kesakten (kesaktian) yang akan berguna bagi kemapanan kekuasaannya.Â
Dalam pandangan priyayi, mereka yang banyak bergulat dengan 'jagat kasar', akan sulit untuk memperoleh level kesakten tersebut karena mereka yang banyak bicara dan berperilaku kasar tentau tidak akan bisa menggunakan pikiran dan hatinya dengan jernih. Dan yang mampu melakukan semua itu adalah kaum laki-laki karena dianggap lebih bisa mengendalikan diri, pikiran, dan hatinya.Â
Maka, sangat jarang perempuan di keraton yang mempunyai daya linuwih. Karena perempuan Jawa biasa lebih banyak bergulat pada ruang-ruang ekonomi pasar, maka mereka dianggap tidak akan mampu memperoleh derajat kuasa yang dominan dalam struktur masyarakat karena mereka lebih sering berperilaku kasar.Â