Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ekodramaturgi: Krisis Ekologis dalam Tatapan Teater

24 April 2022   07:13 Diperbarui: 24 April 2022   21:40 1538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pementasan Planet-Sebuah Lament karya Sutradara Garin Nugroho di teater Taman Ismail Marzuki, Cikini,Jakarta Kamis(16/1/2020).| KOMPAS.com/DIENDRA THIFAL RAHMAH

Apa yang bisa dilakukan penggiat teater dalam menghadapi krisis lingkungan yang berlangsung dalam lingkup regional, nasional, dan global?

Mungkin ada yang beranggapan pertanyaan di atas terlalu bombastis karena harus menghubungkan kreativitas para pelaku teater dengan persoalan lingkungan yang terlalu besar cakupan permasalahan dan dampaknya, termasuk para pelaku di level regional, nasional, dan global yang memperparah kerusakan dan kehancuran ruang hidup bagi manusia dan semua makhluk.

Namun, kalau kita kembali kepada sejarah dan posisi teater dalam ruang dan praktik hidup manusia, kita bisa menemukan keterkaitan yang bersifat timbal-balik antara pertunjukan teater oleh para pelaku dengan krisis ekologis.

POTENSI DAN POSISI TEATER

Secara kritis, Emmanuel (2021) mengingatkan bahwa pertunjukan teater mampu menghadirkan tegangan-tegangan dalam masyarakat melalui kerja artistik yang bisa mengejutkan dan menggerakkan penonton, dalam artian mempengaruhi cara berpikir mereka. 

Pertunjukan Burning Vision karya Maria Clements. Dok. ent-nts.ca
Pertunjukan Burning Vision karya Maria Clements. Dok. ent-nts.ca

Selain itu, pertunjukan teater juga menghadirkan refleksi kritis dan mempertimbangkan-kembali bermacam masalah sosial dan lingkungan, khususnya terkait bagaimana manusia berhubungan dan bertanggung jawab terhadap permasalahan itu.

Aspek visualitas yang dikonstruksi oleh kehadiran tubuh-tubuh aktor dan properti di atas panggung merupakan kekuatan luar biasa dari pertunjukan teater. Tubuh para aktor memungkinkan bangunan kesadaran terkait permasalahan yang berkembang. Maka dari itu, imajinasi sutradara dan para aktor menjadi kekuatan penting dalam membangun logika pertunjukan yang bisa mempengaruhi persepsi publik penonton.

Theresa May, salah satu pelaku dan peneliti teater di AS, dalam bukunya, Earth Matters on Stage: Ecology and Environment in American Theatre (2021), berkeyakinan bahwa teater memiliki potensi besar untuk membantu memperbaiki hubungan yang rusak dengan lingkungan dan untuk menginspirasi tindakan yang bertanggung jawab secara ekologis.

Tulisan ini merupakan review konseptual terhadap pemikiran May terkait ekodramaturgi, sebuah konsep yang ia namai berdasarkan seruan etis tentang teater dan masalah lingkungan serta tumbuhnya kesadaran kritis dan kreatif untuk memproduksi pertunjukan teater yang berpotensi menggerakkan publik untuk memperhatikan krisis ekologis yang menjadi ancaman umat manusia, bukan hanya di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi di seluruh dunia.

Bagi May, teater dan praktik yang menyertainya seperti proses kreatif, proses menonton, dan kritik, memiliki potensi untuk memberikan sumbangsih untuk menyebarluaskan kesadaran terkait ancaman ekologis. Mengapa demikian?

Pertunjukan Bears (Matthew MacKenzie, 2018) yang membawa pesan ekologis. Dok. www.thestar.com
Pertunjukan Bears (Matthew MacKenzie, 2018) yang membawa pesan ekologis. Dok. www.thestar.com

Pertama, teater merupakan pertunjukan yang bisa memproduksi wacana publik yang memengaruhi dan mencerminkan keterkaitan masyarakat dengan lingkungan, dan yang mungkin membantu manusia menuju kepada perubahan sosial yang telah dan akan terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim.

Kedua, teater merupakan cetak biru pertunjukan yang menuntut imajinasi kolektif, para aktor dan penonton. Itu tidak bisa dilepaskan dari sifat teater yang langsung, mewujud, dan komunal, sehingga proses memberi-dan-menerima terjadi antara imajinasi, kepekaan, dan pengalaman mendalam dari aktor dan penonton.

Para aktor berimajinasi dan menafsir apa-apa yang mereka dapatkan dari naskah dan apa-apa yang diarahkan sutradara terkait permasalahan tertentu. Sementara, penonton bisa menggunakan ingatan mereka terkait permasalahan yang dihadirkan dalam pertunjukan. 

Kemenyantuan perasaan komunal yang diwujudkan dan respons mendalam, mengingatkan bahwa aktor dan penonton menghuni dunia sebagai organisme yang diwujudkan oleh keberlangsungan pertunjukan. 

Proses timbal-balik dalam teater mendorong dialog tidak hanya antara aktor dan penonton, tetapi juga antara peristiwa pertunjukan dan lingkungan sosial politik (konteks) yang lebih besar di mana pertunjukan itu berlangsung.

Ketiga, teater telah lama berfungsi sebagai situs kekuatan masyarakat sipil. Maksudnya, melalui pertunjukan, masyarakat sipil bertemu dalam forum kreatif yang memungkinkan mereka bertindak. 

Dalam pertunjukan teater, kekuatan sipil bisa mengeksplorasi bermacam pertanyaan tentang kehendak bebas, kesadaran sosial, kewajiban komunitas, kepemimpinan moral, dan konsekuensi sosial dan ekologis dari keangkuhan manusia. 

Dengan datang ke lokasi pertunjukan, penonton bersedia secara kolektif terlibat dalam fiksi, menjadi saksi dan menemukan makna bagaimana menjadikan teater sebagai alat masyarakat sipil yang cukup penting. Teater memupuk nilai-nilai demokrasi dan memperkuat bangunan masyarakat sipil berupa toleransi, empati, dan refleksi diri. 

Sebuah pertunjukan teater yang mengusung tema lingkungan. Dok. www.assitej-international.org
Sebuah pertunjukan teater yang mengusung tema lingkungan. Dok. www.assitej-international.org

Kalau kita perhatikan lagi, keterlibatan masyarakat sipil memberikan kerangka untuk memahami bagaimana fungsi teater secara lebih umum. Sebagai tindakan komunal, teater mengasah kapasitas kita untuk berada dalam suatu hubungan, seperti hubungan kita dengan bermacam masalah lingkungan. 

Ketika para aktor memainkan cerita di atas panggung, teater mengundang kita untuk hidup ke dalam dunia drama untuk memeriksa bersama konsekuensi tindakan manusia. Dengan melakukan itu, kita mengalami cara-cara kita secara tak terduga terhubung dan terlibat.

Konsep drama, "bagaimana jika?", memungkinkan untuk berpikiran terbuka tentang kemungkinan-kemungkinan tertentu dari sebuah adegan atau cerita yang berasal dari pengalaman hidup. Juga, melatih kapasitas kita untuk mengakui dan merasakan dunia pengalaman yang berbeda dari kita sendiri. 

Proses tersebut mengajak penonton untuk mengenal berbagai perspektif dan kemungkinan yang saling bertentangan sebagai hal yang masuk akal dan nyata. Dengan cara ini, teater melatih elastisitas imajinatif yang diperlukan untuk menjaga kasih sayang saat perubahan iklim berlangsung.

Karena teater adalah praktik imajinasi kolaboratif dan pertunjukan kolektif, ia memiliki kapasitas untuk campur tangan atau mengkritisi narasi besar yang telah membantu melestarikan ketidakadilan dan kerusakan lingkungan.

Dengan menghadirkan bermacam kisah, teater bisa merebut-kembali sejarah yang terhapus atau terdistorsi, membuka kedok dan mengekspos pengaruh ideologi, menegaskan suara-suara baru, dan mengukir ruang bagi mereka yang telah dibungkam atau terpinggirkan. 

Kisah-kisah ini dapat membangun hubungan, memecahkan ideologi usang, membuka kemungkinan baru, membayangkan masa depan, dan membantu (kembali) membentuk lanskap sosial, politik, dan ekologi kehidupan kita. 

Pada momen itulah, seniman teater berkesempatan untuk bercerita dan mengeksplorasi bentuk-bentuk estetik yang secara aktif mempraktikkan kasih sayang dan menuntut keadilan melalui kisah-kisah yang visioner dan menyembuhkan.

Maka, para seniman teater bisa mengajukan pertanyaan reflektif yang bisa mendorong mereka untuk memformulasi terus-menerus terkait keterlibatan mereka dalam permasalahan lingkungan. 

Menghadapi realitas yang mengerikan dari perubahan iklim dan biosida (pembunuhan massif makhluk hidup, pen) yang disebabkan oleh manusia, bagaimana jika ternyata keterampilan teater para sutradara dan aktor, lakon yang dipentaskan, dan bentuk-bentuk teatrikal yang dihadirkan dapat membantu menyelamatkan nyawa, mencegah penderitaan, menyembuhkan kehancuran, merebut kembali dunia, dan mengubah apa artinya menjadi hewan manusia dalam komunitas ekologi yang beragam? Bagaimana jika? 

Dengan mengembangkan pertanyaan sekaligus tantangan tersebut, para pelaku dan peneliti teater bisa menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab etis-estetis untuk terlibat secara langsung melalui kerja artistik berbasis permasalahan lingkungan yang mengancam masa depan manusia.

EKODRAMATURGI

Berbasis pengalamannya selama berteater dan penelitian dari satu pertunjukan ke pertunjukan lainnya, May menegaskan bahwa terbuka kesempatan bagi para pelaku teater untuk terlibat dalam kerja-kerja estetik visioner terkait permasalahan lingkungan yang berlangsung secara global. Untuk menjelaskan kemungkinan tersebut, May menawarkan konsep ekodramaturgi. 

Sebelum membahas ekodramaturgi, ada baiknya kita memahami lebih dulu apa itu dramaturgi. Eugenio Barba (dikutip Sahid, 2012: vi) memaknai dramaturgi sebagai kumpulan tindakan dalam pertunjukan yang tidak terbatas pada gerakan-gerakan aktor, tetapi juga mencakup tindakan-tindakan terkait dengan adegan, musik, cahaya, vokal aktor, efek suara, dan objek-objek yang dipergunakan dalam pertunjukan.

Untuk kepentingan elaborasi konseptualnya, May memahami dramaturgi secara lentur karena tidak hanya berkaitan dengan semua tindakan di atas panggung sebagai wujud teks pertunjukan, tetapi juga berkaitan dengan kritik/kajian mendalam terkait konstruksi makna/wacana dan kepentingan di dalamnya. Tidak lupa, juga memberikan perhatian kepada konteks/kondisi historis dan publik. 

Ekodramaturgi merupakan praktik teater yang memusatkan pada hubungan ekologis dengan mengedepankan batas-batas yang dikonstruksi secara sosial sebagai bentuk yang cair antara alam dan budaya, manusia dan non-manusia, individu dan komunitas.

Ekodramaturgi mencakup baik karya artistik (membuat teater) dan karya kritis (sejarah, dramaturgi, dan kritik) dalam tiga upaya yang saling terkait.

Dok. ecostage.online
Dok. ecostage.online

Secara historis, sebagai wacana kritis, ekodramaturgi mulai muncul sejak musim panas 1994, ketika jurnal Theatre yang menempatkan ekologi sebagai poin penting dalam kajian teater. Isu itu didasari realitas banyaknya penulis drama yang mengabaikan masalah lingkungan sebagai isu politis. 

Selain itu, banyak kritikus teater yang menolak implikasi ekologis pertunjukan teater. Berkembang diskusi tentang kemungkinan untuk memproduksi teater ekologis (ecological theatre) ketika para penulis, sutradara dan kritikus mengakui tema ekologis lebih dari sekedar tanggapan metaforis tentang kondisi manusia. 

Bias teater yang berpusat pada manusia dan mengabaikan persoalan ekologis berasal dari ideologi yang memiliki kesamaan tujuan dengan perayaan kecerdasan peradaban industri Eropa-Amerika sebagai ekspresi superioritas manusia atas dan pemisahan dari alam. 

Pemahaman tersebut tidak hanya mengidentifikasi kemungkinan penyebab keheningan teater terhadap isu-isu isu-isu ekologis, tetapi juga menyarankan kerangka kerja untuk melihat dan mengkonseptualisasikan tema dan implikasi ekologis dalam setiap pertunjukan drama. Perkembangan historis itulah yang mendorong May memformulasi konsep ekodramaturgi.

Ekodramaturgi memungkinkan kita, pertama-tama, memeriksa pesan ekologis yang seringkali bersifat implisit dari sebuah pertunjukan, sehingga kita bisa mengungkap ideologi apa yang dikonstruksi di dalamnya serta implikasi ekologisnya terlihat. 

Hal ini menjadi ranah kritikus ataupun peneliti teater untuk mengungkap wacana-wacana terkait permasalahan lingkungan yang mungkin dikonstruksi dalam sebuah pertunjukan. 

Ketika di sebuah negara atau wilayah tertentu para pelaku teater kurang peka terhadap permasalahan lingkungan yang mengancam kehidupan manusia dan masyarakat, para kritikus bisa mengingatkan dengan tulisan bernas yang bisa menggugah kesadaran para pelaku.

Kedua, kita bisa memanfaatkan teater sebagai metodologi untuk mendekati masalah lingkungan kontemporer. Para penggiat teater bisa melakukan pembacaan dan observasi terhadap kondisi kawasan tempat mereka tinggal, terutama yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan bagaimana kondisi dan respons masyarakat sebagai basis material untuk menulis lakon dan memproduksinya ke atas panggung. 

Dengan observasi mereka bisa menemukan idiom-idiom atau material khas yang masuk dalam memorik publik, sehingga ketika dipentaskan, warga masyarakat bisa menghubungkan apa-apa yang disajikan dengan permasalahan yang mereka hadapi.

Ketiga, kita bisa mengkaji bagaimana teater sebagai karya material menciptakan jejak ekologisnya sendiri dan bekerja baik untuk mengurangi polusi yang disebabkan manusia maupun menemukan pendekatan baru dalam praktik material. 

Tentu ini membutuhkan kerja sama berbagai pihak, para penggiat, kritikus, dan penikmat/masyarakat. Memang, kalau bicara manfaat untuk mengurangi polusi ekologis tidak bisa langsung dirasakan ketika pertunjukan berlangsung. 

Pertunjukan Rising (Marina Abramovic, 2018) yang membawa pesan tentang air. Dok. performingwater.org
Pertunjukan Rising (Marina Abramovic, 2018) yang membawa pesan tentang air. Dok. performingwater.org

Namun, dengan isu ekologis yang intens dalam pertunjukan teater pada sebuah masa, kita bisa melihat bagaimana para penonton yang merupakan anggota masyarakat mengubah cara pandang dan tindakan mereka terkait lingkungan hidup. Ini terutama terkait dampak wacana yang dikonstruksi dalam pertunjukan.

Sebagai lensa kritis, ekodramaturgi mengkaji peran teater dalam menghadapi krisis lingkungan yang meningkat dari waktu ke waktu akibat ulah manusia, mengedepankan telaah ekologis material yang direpresentasikan di atas panggung. 

Sebagai komponen produksi teater, ekodramaturgi membantu menguraikan makna sebuah drama di masa lalu dan apa artinya bagi penonton kontemporer, sehingga menginformasikan keputusan tentang bagaimana atau apakah akan memproduksinya hari ini.

Apa yang harus diingat, sekadar menghadirkan secara luar biasa tema hijau di atas panggung serta bentuk mentah dan struktur penindasan tidaklah cukup. 

Para seniman teater harus terus bertanya bagaimana sejarah tanah dan wilayah yang direpresentasikan di atas panggung, bagaimana gagasan tentang alam atau lingkungan dipahami dalam momen sejarah yang direpresentasikan dalam drama, bagaimana drama itu merepresentasikan konsekuensi dari ide-ide itu karena berdampak pada orang dan tanah serta bagaimana ide dan representasi tersebut beresonansi secara berbeda hari ini. 

Pertanyaan tentang konteks sosial, politik, ekonomi, dan ekologi drama atau produksi memungkinkan kita untuk menemukan makna dan mengekspos cara drama yang mungkin secara tidak sengaja menulis ulang imperialisme lingkungan melalui pengulangan metafora dan narasi yang sudah dikenal publik.

Bagi May, teater penting justru karena ceritanya memiliki dampak material-ekologis. Teater telah lama berfungsi sebagai sarana di mana manusia mempertanyakan dan memeriksa hubungan mereka dengan alam. 

Memang, lingkungan, tanah, dan paradigma pemikiran ekologis selalu hadir dalam drama dan di atas panggung; dengan cara ini, teater telah membantu menghasilkan realitas lingkungan saat ini. 

Fatric in Plastic (Fatric Webong, 2012). Dok.performingwater.org
Fatric in Plastic (Fatric Webong, 2012). Dok.performingwater.org

Kesadaran historis memungkinkan peneliti dan kritikus teater menelusuri bagaimana pertunjukan teater di Amerika Serikat di masa lalu, misalnya, ikut mengkonstruksi dan menyebarluaskan ideologi dan praktik Manifest Destiny (doktrin atau keyakinan abad ke-19 bahwa ekspansi AS di seluruh benua Amerika dibenarkan dan tidak dapat dihindari), supremasi kulit putih, dan industri ekstraktif.

Ekodramaturgi menyediakan sarana ampuh untuk campur tangan dalam narasi destruktif yang sudah berlangsung lama. Sebagai kerangka aktivis, ekodramaturgi mengakui sejarah kelam tersebut untuk bertanggung jawab atas perusakan tanah dan budaya yang didukung oleh beberapa pertunjukan, serta untuk memajukan partisipasi teater dalam dekolonisasi orang dan tanah. 

Dengan menghadirkan secara kritis telaah teater masa dari masa lalu terkait, kita bisa mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kisah-kisah yang mereka temui di teater atau dalam kehidupan. Sebagai bagian dari sejarah budaya, kisah-kisah itu memiliki konsekuensi material bagi lingkungan tempat kita semua hidup, bekerja, bermain, dan beribadah.

TERUS MENGEMBANGKAN KEPEKAAN EKOLOGIS

Krisis lingkungan dan iklim pada abad kedua puluh dan kedua puluh satu adalah krisis identitas dan hubungan, yang sekaligus berkaitan dengan kebutuhan material dasar kita serta gagasan kita yang paling abstrak tentang siapa yang kita bayangkan dalam jaringan kehidupan.

Terkait hubungan yang menyangkut pemerintah dan lingkungan sekitar kita, May menyarakan untuk mengembangkan gagasan-gagasan teatrikal berdasarkan beberapa pertanyaan tentang bagaimana relasi sesama manusia dan manusia dengan tanah melalui cara yang bisa menopang kehidupan, tanah, komunitas dan keadilan serta bagaimana tanggung jawab kita terhadap narasi pertunjukan yang telah membantu mengabadikan lebih dari satu abad kehancuran lingkungan dalam lingkup global.

Rising (Marina Abramovic, 2018). Dok. performingwater.org
Rising (Marina Abramovic, 2018). Dok. performingwater.org
Selain itu, para pelaku dan peneliti teater bisa mengungkap bagaimana tanggapan teater terhadap konsekuensi narasi yang mengabadikan kehancuran ekologis tanpa mengabaikannya, sehingga bisa memulihkan elemen dari cerita yang kita warisi. 

Kesadaran etis tersebut bisa mengarah pada bagaimana teater mentransformasi narasi eksploitasi menjadi narasi tentang tempat tinggal dan kehidupan. 

Apa yang tidak kalah penting adalah bagaimana teater dapat memberdayakan kisah-kisah tentang kesalingtergantungan dan memperkuat suara subjek yang terkena dampak krisis ekologis; dan, lebih dari semua itu serta bagaimana kita dapat memanfaatkan sebaik-baiknya cara mengetahui yang merupakan inti dari praktik teater, seperti eksplorasi yang diwujudkan, berbagi cerita, penciptaan komunal, eksperimen imajinatif, dan kedekatan yang gamblang untuk kehidupan bersama.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang diarahkan untuk selalu mengasah kepekaan terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi. Harapannya, para pelaku bisa berproses kreatif untuk menghasilkan karya pertunjukan yang benar-benar bisa menjangkau subjek penonton dengan konteks ekologis mereka yang tengah bermasalah. 

Jadi, bukan sekadar menyuguhkan hiburan eskapis, alih-alih, sajian naratif yang bersifat kontekstual dan membawa misi politis untuk mengajak masyarakat bersama-sama menyadari bahwa kehidupan manusia sedang tidak baik-baik saja, sehingga perlu tindakan bersama untuk mengurangi bermacam kerusakan di muka bumi. 

Pertunjukan Walking Legs (Fatric Bawong, 2018) di komunitas nelayan Jamestown. Dok. performingwater.org
Pertunjukan Walking Legs (Fatric Bawong, 2018) di komunitas nelayan Jamestown. Dok. performingwater.org

Dengan demikian, seni pertunjukan bisa membantu kita membayangkan dan mewujudkan cara menjadi manusia yang konsisten dengan pengetahuan ekologis dan kepekaan ekologis.

Jika seni teater adalah rumah manusia, maka manusia masa kini seperti disajikan di persimpangan sejarah masa lalu dan masa kini yang kelam sembari menawarkan kesempatan untuk mengambil sikap dari tempat manusia tinggal. 

Dari sini, kita memiliki kesempatan unik untuk menceritakan kisah-kisah baru dan menerapkan sisi tajam dan sensual dari praktik kritis dan kreatif kita dengan kerendahan hati dan keberanian saat kita menghadapi pertanyaan masa depan. 

Tentunya dunia saat ini membutuhkan konsep bagaimana jika dari teater lebih dari masa-masa sebelumnya, karena semakin akutnya krisis lingkungan yang mengancam manusia.

May meyakini bahwa saat ini waktu yang tepat untuk menghadirkan banyak cerita terkait permasalahan lingkungan. Para seniman menjalankan kerja kreatif itu penting karena mereka tidak hanya bisa merepresentasikan identitas gender, etnis, dan ras, tetapi juga bisa merepresentasikan binatang, makanan, dan tanah. 

Hal itu tidak dapat dilepaskan dari kenyataan masa lalu dan masa kinin di mana sistem penindasan, dominasi, dan eksploitasi yang mengkomodifikasi tenaga kerja perempuan atau orang kulit berwarna, misalnya, berdiri di atas dasar anggapan bahwa tanah dan sumber daya alam ada untuk tujuan akumulasi kekayaan bangsa atau kelompok dominan tertentu. 

Directing Waves (2013), petunjukan oleh Marina Abromovic dan Robert Wilson. Dok. performingwater.org
Directing Waves (2013), petunjukan oleh Marina Abromovic dan Robert Wilson. Dok. performingwater.org

Itulah yang telah berlangsung dalam sejarah panjang perbudakan dan kolonialisme serta dilanjutkan hingga hari ini melalui bermacam usaha nasional dan transnasional untuk mengeksploitasi secara besar-besaran sumberdaya alam melalui industri ekstraktif, industri perkebunan, dan industri pertanian yang tidak peka lingkungan.

Krisis lingkungan mengundang dan menantang kita tidak hanya untuk mengembangkan perilaku baru tetapi juga untuk menceritakan kisah-kisah baru yang mencerminkan timbal balik ekologis kita dengan planet ini, dengan tanah yang begitu baik, tetapi dihancurkan oleh orang-orang rakus. 

Meskipun seringkali muncul dari dalam kebangkitan yang mengerikan dan seringkali tanpa harapan, teater dapat menawarkan sumber cerita baru yang mengkonfigurasi ulang siapa kita dalam memahami diri kita sendiri yang berada dalam lingkaran kehidupan bumi. 

Teater juga bisa menjadi semacam makanan bagi spesies kita dan bagi komunitas nonmanusia yang berbagi planet asal ini dengan kita. Ekodramaturgi, dengan demikian, bisa menjadi kawan untuk terus meyakini dan memperjuangkan kekuatan dan kontribusi teater untuk menghadirkan banyak cerita yang bisa menerangi, menginspirasi, dan mewujudkan masa depan yang adil secara ekologis dan saling bergantung. 

MEMBAWA EKODRAMATURGI MELINTASI MASA

Sebagai usaha untuk menggunakan ekodramaturgi sebagai kerangka kritis untuk mengungkap apa-apa yang telah dilakukan pelaku teater terkait isu lingkungan, May meneliti perkembangan teater dari abad ke-19 hingga abad ke-21 di Amerika Seriat. 

Dengan melihat lintasan historis tersebut, ia ingin menegaskan bahwa persoalan ekologis dalam pertunjukan teater terus bergerak dalam dimensi kontekstualnya masing-masing. 

Pada setiap era memiliki karakteristik estetik dan relasi kontekstual, khususnya terkait permasalahan lingkungan dengan ragam keterkaitannya dengan persoalan ekonomi, politik, sosial, maupun budaya.

Dari abad ke-19, May menelaah pertunjukan drama Horizon (1871, sutradara Augustin Daly), dan Wild West: The Drama of Civilization (1886, sutradara William F. "Buffalo Bill" Cody). Ia menempatkan kedua pertunjukan tersebut menyebarkan "kekerasan ekologis" kolonialisme pemukim. 

Poster Wild West. Dok. wikipedia.org
Poster Wild West. Dok. wikipedia.org

Baik pertunjukan Daly dan Cody mengungkapkan bagaimana narasi kulit putih Anglo yang dominan membenarkan pendudukan militer AS atas tanah adat Indian, mempromosikan ekstraksi sumber daya dari tanah di kawasan barat oleh ibu kota di kawasan timur, dan menormalkan supremasi kulit putih dan pemusnahan manusia dan hewan.

Apa yang dikonstruksi dalam kedua pertunjukan tersebut tidak bisa lepas dari "tesis perbatasan" (frontier thesis) yang menekankan bahwa kolonialisme pemukim AS merupakan pengecualian karena ada kepentingan untuk menumbuhkan demokrasi, meskipun untuk menjalankan semua itu harus dilakukan melalui perampasan perbatasan Amerika secara brutal. 

Dalam konteks demikian, proses mengeksploitasi hutan belantara untuk memperluas wilayah koloniasasi AS merupakan kewajaran. Dari setiap wilayah yang ditaklukkan dan dimenangkan akan tumbuh kawasan demokrasi baru yang berbeda dari tradisi nenek moyang mereka di Eropa.

Kesadaran kontekstual dalam menelaah teks-teks pertunjukan lama akan memunculkan kesadaran refleksif-diri secara kritis diri tentang bagaimana kita merepresentasikan, mendiskusikan, dan membingkai sejarah sangat penting bagi ekodramaturgi untuk menjaga agar tidak ikut mendukung dan menyebarkan nilai-nilai ata wacana yang ingin kita bongkar. Karena, di akui atau tidak, ideologi menaklukkan dan memperluas kawasan perbatasan tersebut masih bertransformasi hingga saat ini dalam kebijakan AS.

Pada awal abad kedua puluh, ketika banyak bangsa berusaha untuk mengatasi ekologi yang beragam dari satu benua, sebagian besar orang Eropa-Amerika melihat tanah melalui jendela bidik cerita, seperti Taman Eden Yudeo-Kristen, yang membenarkan kelanjutan ekspansi Inggris-AS. 

Mulai berkembang pula gagasan konservasi untuk mendukung kapitalisme ekstraktif yang sedang berlangsung, meskipun melalui tangan manajerial yang sejatinya jarang menyentuh tanah. 

Cerita yang saling terkait dari wilayah perbatasan dan taman surga alkitabiah dikerjakan dan berada dalam imajinasi para konservasionis awal, serta para politisi, kapitalis, dan warga negara. 

Pertunjukan Girl of Golden West. Dok. chicagocritic.com
Pertunjukan Girl of Golden West. Dok. chicagocritic.com

Dari abad kedua puluh, May meneliti bagaimana Girl of the Golden West (1905) karya David Belasco dan The Great Divide (1906) karya William Vaughn Moody mencerminkan wacana gerakan konservasi dan pelestarian awal abad kedua puluh, yang mencirikan kemajuan sebagai reklamasi taman alkitabiah. 

Pada saat produksinya tahun 1906, kisah Moody tentang seorang perempuan yang setuju untuk menikah dengan seorang penjahat untuk menyelamatkan hidupnya menimbulkan pertanyaan secara nasional. 

Bagaimana pernikahan ini, yang dimulai dengan tindakan penaklukan dengan kekerasan dan pelanggaran, akan bertahan untuk menghidupi keluarga dan rumah tangga? 

Sebagai metafora untuk hubungan Euro-Amerika dengan tanah, Divide memberikan keterlibatan yang rumit dengan kebingungan ini, bersama dengan ukuran penyangkalan yang baik. 

Kedua karya tersebut mencerminkan kerangka dikotomis yang mengkategorikan tanah sebagai pemikiran utilitarian (dimanfaatkan secara mutlak untuk kebahagiaan manusia, terutama dari kelompok dominan) atau pemandangan sebagai jantung gerakan hutan belantara awal yang membentuk kebijakan lingkungan nasional saat ini.

Pertunjukan The Great Divide. Dok. www.thetimes.co.uk
Pertunjukan The Great Divide. Dok. www.thetimes.co.uk

Apa yang tidak kalah penting adalah ketika AS tengah mengejar industrialisasi Eropa, sungai, hutan, dan deposit mineral menjadi bahan mentah kapitalisme industri dan basis kekuatan internasional negara. Gerakan progresif era 1920-an mengimajinasikan alam sebagai "mesin organik," sedangkan banyak dramawan (termasuk Elmer Rice, Sophie Treadwell, dan Eugene O'Neill) prihatin dengan bagaimana teknologi diidolakan. 

Eugene O'Neill, misalnya, memproduksi Dynamo, sebuah drama yang aneh dan meresahkan tentang seorang pemuda yang tergila-gila dengan kekuatan dan potensi pembangkit listrik tenaga air.

Berbicara tentang konteks, apa yang berlangsung dalam pertunjukan yang mengidolakan teknologi berbasis lingkungan, tidak bisa dilepaskan dari bencana ekologis Dust Bowl pada awal 1930-an. Dust Bowl merupakan nama yang diberikan untuk wilayah Dataran Selatan di Amerika Serikat yang dilanda kekeringan dan mengalami badai debu parah selama periode kering pada 1930-an (Sumber). 

Saat angin kencang dan debu yang menyesakkan menyapu wilayah dari Texas ke Nebraska, orang-orang dan ternak tewas dan panen gagal di seluruh wilayah. Bencana ekologis Dust Bowl membawa dampak buruk bagi kehidupan ekonomi yang sudah terpengaruh depresi hebat, sehingga mendorong banyak keluarga petani melakukan migrasi putus asa untuk mencari pekerjaan dan kondisi kehidupan yang lebih baik.

Penampakan Dust bowl di Kansa pada tahun 1935. Dok. www.usatoday.com
Penampakan Dust bowl di Kansa pada tahun 1935. Dok. www.usatoday.com

Kalau dicermati secara kritis, terdapat beberapa faktor ekonomi, pertanian, termasuk kebijakan tanah federal, perubahan cuaca regional, ekonomi pertanian dan faktor budaya lainnya yang menyebabkan Dust Bowl.

Setelah Perang Saudara, serangkaian tindakan tanah federal membujuk para petani perintis ke arah barat dengan memberi insentif pada pertanian di Dataran Besar.

Bermacam kemudahan perundang-undangan di AS mendorong masuknya petani baru secara besar-besaran ke kawasan Nebraska hingga Texas. Masalahnya, banyak dari pemukim akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh ini hidup dengan takhayul "hujan mengikuti bajak." 

Emigran, spekulan tanah, politisi dan bahkan beberapa ilmuwan percaya bahwa pemukiman dan pertanian akan secara permanen mempengaruhi iklim wilayah Dataran Besar yang semi-kering, sehingga lebih kondusif untuk pertanian.

Jutaan hektar padang rumput di kawasan tersebut dibuka dan dibajak untuk ditanami gandum dan jagung antara 1910-1920-an karena harga internasional yang cukup menggiurkan serta meningkatnya permintaan dari Eropa akibat Perang Dunia I. 

Namun, ketika Amerika Serikat memasuki Depresi Hebat, harga gandum anjlok. Petani merobek lebih banyak padang rumput dalam upaya untuk memanen hasil panen yang melimpah dan mencapai titik impas.

Tanaman mulai gagal dengan timbulnya kekeringan pada tahun 1931, memperlihatkan tanah pertanian yang gundul dan dibajak berlebihan. Tanpa rerumputan padang rumput yang mengakar untuk menahan tanah di tempatnya, tanah itu mulai berhembus. Pengikisan tanah menyebabkan badai debu besar-besaran dan kehancuran ekonomi, terutama di Dataran Selatan.

Salah satu adegan dalam Dyanmo. Dok. www. targetmargin.org
Salah satu adegan dalam Dyanmo. Dok. www. targetmargin.org

Bencana ekologis dari Dust Bowl menggambarkan betapa tentang mahalnya harga yang harus dibayar ketika sumber daya tidak dikelola dengan baik. Selama kebijakan Presiden Roosevelt, New Deal, konservasi-untuk-pemanfaatan memperoleh kredibilitas sebagai kerangka pemerintahan negara untuk pengelolaan lahan dan sumber daya alam. 

Sejak 1935, Administrasi Kemajuan Pekerjaan (Work Progress Administration/WPA) mulai mempekerjakan orang untuk membangun infrastruktur nasional, merevitalisasi lahan yang terkikis, mengendalikan sungai dan saluran air, dan membangun taman nasional. 

Di bawah WPA, Proyek Teater Federal (Federal Theatre Project/FTP) tidak hanya mempekerjakan seniman yang tidak bekerja tetapi juga berusaha menggunakan teater untuk mendidik warga. 

Sebuah pertunjukan teater yang dikerjakan FTP berjudul Triple-A Plowed Under (1936) mempopulerkan kebijakan konservasi dan program ekonomi New Deal dengan menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat dan tanah terikat bersama. 

Triple-A menghadirkan wacana terkait Undang-Undang Konservasi Tanah Kesepakatan Baru tahun 1937. Pertunjukan tersebut juga menganjurkan posisi solidaritas politik yang lebih sosialis antara pekerja dan petani dalam bentuk partai Petani-Buruh.

Pada tahun 1942, pada titik balik dalam Perang Dunia II, Guild Teater New York menggelar drama musikal Oklahoma (1942) mengungkapkan persepsi budaya tanah dan lingkungan dengan nuansa rasial dan jingois. 

Oklahoma! menggunakan kembali narasi perbatasan tentang para perintis pemukim untuk memperjuangkan perkembangan industri di kawasan barat dan sentimen antiradikal/antikomunis yang meningkat selama dan selepas perang. Pertunjukan tersebut juga mengabaikan kehadiran warga dan sejarah pribumi di wilayah tersebut.

Pada era 1950 hingga 1970-an, berkembang gerakan lingkungan gelombang kedua yang diwarnai dengan antinuklir dan protes penggunaan racun kimiawi yang digunakan dalam pertanian terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. 

Dunia teater pada era tersebut banyak menarasikan keadilan sosial yang sekaligus menjadi isu sentral gerakan keadilan lingkungan yang berkembang dua dekade berikutnya. Para seniman menunjukkan keterhubungan yang jelas antara lingkungan dan masalah sosial.

Pertunjukan A Raisin in the Sun. Dok. theberkshireedge.com
Pertunjukan A Raisin in the Sun. Dok. theberkshireedge.com
Dalam pertunjukan teater A Raisin in the Sun (1959), Lorraine Hansberry menekankan harga yang harus dibayar manusia terkait impian Amerika. Hansberry menggambarkan bagaimana pengaruh kesehatan manusia akibat rasisme dan kemiskinan terhadap kaum perempuan, anak-anak, dan keluarga. Isu-isu tersebut menjadi wacana utama yang digaungkan gerakan lingkungan pada abad ke-21.

Teater menjadi kekuatan utama yang mengaktifkan movimiento, gerakan yang membantu untuk menumbuhkan kebanggan terhadap budaya, bahasa, sejarah, dan tanggung jawab di antara orang Meksiko kelahiran AS. 

Karya El Teatro Campesino, contohnya, berkontribusi terhadap pemahaman ekologis yang berakar dalam sejarah warga yang berasal dari perkawinan campuran Indian-Eropa di wilayah dan tanah air nenek moyang Aztlan.

Namun gerakan lingkungan gelombang kedua dan gerakan hak-hak sipil pada periode ini tampaknya berjalan di jalur yang terpisah, sebagian karena lingkungan yang mendefinisikan alam sebagai sesuatu yang terpisah dari urusan manusia sehari-hari. 

Gerakan lingkungan era 1970-an diwarnai wacana di antara warga kulit putih tentang tempat-tempat rekreasi yang telah lama tertanam dengan hak istimewa mereka dan maskulin yang merupakan bagian dari tradisi hutan belantara. 

Namun demikian, di atas panggung seni teater menubuh mengklaim kembali baik lingkungan perkotaan maupun perdesaan sebagai tempat tinggal di mana hak asasi manusia dan hak alam telah dilanggar oleh sistem yang menganggap tanah dan tenaga kerja sebagai komoditas belaka.

Sementara, teater di milenium lebih berfokus pada implikasi ekologis dari ekonomi global dan perubahan iklim. Bekerjanya kekuasaan korporasi transnasional telah menyebabkan kekacauan ekologis bagi manusia, tempat, dan komunitas biotik, dan telah memicu aktivisme keadilan lingkungan transnasional. 

Masyarakat adat dan negara berkembang di seluruh dunia berpendapat bahwa kesalahan dan risiko perubahan iklim tidak ditanggung secara merata oleh semua orang atau bangsa di dunia. 

Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa beban dampak dari perubahan iklim akan lebih berat ditanggung oleh masyarakat yang paling rentan, dan masyarakat adat di wilayah yang berisiko lebih tinggi. 

Isu dan pemahaman baru ini telah mengilhami para seniman teater untuk mengekspos imperialisme lingkungan dan budaya di era perubahan iklim dengan memperkuat suara bagi tempat dan orang-orang yang dibungkam, diabaikan, atau yang berisiko lebih besar.

Mendemonstrasikan kelanjutan kekerasan ekologis kolonialisme pemukim yang kompleks dan berjangkauan luas, Burning Vision karya penulis drama First Nations Marie Clements, menelusuri penambangan uranium di tanah Dene di wilayah Kanada utara dan dampak transnasionalnya terhadap kehidupan dan tanah. 

Pertama kali diproduksi pada tahun 2001, Burning Vision menghubungkan titik-titik antara paparan pekerja Dene terhadap keracunan radiasi dan kematian Jepang di Hiroshima dan Nagasaki, di mana bom yang dikembangkan dari uranium Dene akhirnya digunakan. 

Drama Clements juga menandai hubungan antara zaman nuklir, kelahiran Antroposen (waktu ketika aktivitas manusia berdampak luas kepada bumi), dan ketidakadilan lingkungan. 

Pertunjukan Burning Vision karya Maria Clements. Dok. ent-nts.ca
Pertunjukan Burning Vision karya Maria Clements. Dok. ent-nts.ca

Menggunakan struktur seremonial, Burning Vision memecah pemisahan melintasi ruang dan waktu, meruntuhkan masa lalu dan masa kini, dan menggabungkan kehidupan manusia dan non-manusia ke dalam satu jalinan ekologis dan hubungan yang menubuh.

Dari pembacaan singkat di atas, setidaknya kita mengetahui bahwa ekodramaturgi selalu berkaitan dengan konteks permasalahan lingkungan yang bersinggungan dengan bermacam masalah ekonomi, ras, gender, sosial, dan politik pada setiap era. 

Para penggiat teater di masa kini bisa terus mempelajari apa-apa yang terjadi dalam kerja-kerja estetik pertunjukan yang berlangsung di masa lalu untuk memunculkan kesadaran kritis dan kreatif dalam merespons persoalan lingkungan yang semakin kompleks saat ini. 

Dengan banyaknya pertunjukan teater yang mengangkat isu lingkungan, para penonton bisa mendapatkan karya teatrikal yang menumbuhkan kesadaran mereka untuk terus memahami apa-apa yang berlangsung dengan lingkungan dan kompleksitasnya. 

Para kritikus dan peneliti bisa terus menelisik relasi pertunjukan teater dan krisis ekologis sehingga bisa menyuguhkan temuan-temuan yang bisa memperkaya bahan rujukan bagi publik dan pegiat teater. 

Bersama-sama, kita perlu mengembangkan tanggung jawab etis untuk terus memosisikan teater yang menghadirkan banyak kehilangan sebagai akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Dan mungkin yang lebih penting, para pelaku teater melalui pertunjukan bisa bekerja untuk melawan kekerasan ekologis yang sedang dan masih akan terus berlangsung. 

Dan, di ruang bernama Indonesia, dalam skala massif telah terjadi kerusakan lingkungan sebagai akibat kerakusan pemerintah dan pemodal swasta. Mereka bekerja sama untuk membabat hutan demi perkebunan kelapa sawit dan mengabaikan pengetahuan ekologis masyarakat adat, sehingga berdampak pada terjadinya bencana ekologis dalam skala besar. Secara rakus pula para pemodal mengeruk sumberdaya mineral dalam praktik industri ekstraktif yang dilegitimasi pemerintah. 

Dalam skala luas, banyak pabrik di kota-kota besar Indonesia berkontribusi secara signifikan terhadap pencemaran sungai dan laut yang bisa membahayakan kehidupan manusia. Demikian pula dengan lahan-lahan pertanian yang diubah menjadi resort wisata dan perumahan elit. 

Itu semua menegaskan betapa berbahayanya krisis ekologis yang tengah berlangsung di Indonesia. Para penggiat teater, kritikus, peneliti, dan warga masyarakat bisa terus mengembangkan sinergi untuk menumbuhkan kesadaran kritis terhadap permasalahan tersebut. 

Diharapkan, siapapun yang terlibat dalam teater mampu menyuarakan melalui bahasa pertunjukan bagaimana krisis ekologis berlangsung dan bagaimana kontribusi mereka untuk menyebarluaskan wacana ke publik.

RUJUKAN

"Dust Bowl." https://www.history.com/topics/great-depression/dust-bowl.

Emmanuel, Margaux. (April 23 2021). "Theatre and the environment: rethinking the performative." https://www.varsity.co.uk/theatre/21031

May, Theresa J. 2021. Earth Matters on Stage: Ecology and Environment in American Theater. New York: Routledge. 

Sahid, Nur. 2012. "Dramaturgi Teater Grandrik Yogyakarta dalam Lakon Orde Tabung dan Departemen Borok." Ringkasan Thesis. Yogyakarta: Prodi Pengakjian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun