Para hantu itu bisa saja masuk ke dalam kehidupan manusia biasa dan menjelma sebagai ‘manusia’. Mereka bisa menjadi para siswi atau mahasiswi cantik yang tengah menjalani kuliah. Kadang mereka menjelma sebagai satpam atau ibu kantin sebuah SMA. Mereka juga bisa hadir di sekolah, rumah mewah, bioskop, diskotik, maupun apartemen kelas atas. Film-film horor Indonesia era 2000-an awal mempunyai struktur alur cerita yang cukup tipikal.
Awal. Para aktor menjalani akitvitas sehari-hari. Ada yang sekolah, kuliah, atau bekerja. Hantu menjelma dalam kehidupan manusia atau mulai menampakkan kehadirannya di tengah-tengah aktivitas tersebut. Dan, awalnya hanya beberapa aktor yang mempercayai kehadiran mereka.
Konflik. Mereka mulai mengalami kejadian-kejadian aneh yang kemudian dianggap sebagai tandatanda adanya hantu di sekitar mereka. Mereka mulai mencari kebenarannya. Sementara para hantu mulai mengganggu kehidupan seharihari para aktor.
Klimaks. Para hantu secara terbuka mulai beraksi dengan melukai atau menakuti para aktor. Beberapa aktor terbunuh akibat ulah para hantu tersebut. Keadaan semakin panik. Sementara sebagian aktor yang lain berusaha mencari jalan keluar dari masalah tersebut, meskipun masih tetap dihantui rasa takut.
Resolusi. Datang aktor lain yang mengetahui penyebab kematian dari si hantu semasa hidupnya. Dengan bantuan si aktor tersebut para aktor yang masih hidup berusaha mengembalikan keberadaan hantu tersebut ke dunia mereka.
Dalam Lentera Merah (Bramantyo, 2006), misalnya, hantu diceritakan menjadi mahasiswi cantik yang masuk ke dalam kehidupan kampus dengan menjelma sebagai aktivis pers mahasiswa. Dengan menjadi mahasiswi dan aktivis, ia berusaha balas dendam terhadap teman-teman seperjuangannya pada masa awal orde baru yang menyebabkan kematiannya hanya karena si hantu dulunya dianggap “terlalu kiri” dan berbahaya bagi eksistensi terbitan mereka, Lentera Merah.
Dendam si hantu dilampiaskan juga kepada anak-anak temannya yang aktif di Lentera Merah. Satu per satu para aktivis muda dibunuh dengan cara yang bervariasi. Cerita berakhir ketika salah seorang temannya, yang juga mantan pacarnya waktu ia masih hidup dulu, datang ke kampus dengan membawa artikel yang ditulis si hantu. Artikel itulah yang menyebabkan ia dituduh kiri.
Si hantu mengira bahwa pacarnya yang memasukkan artikel ke dalam terbitan Lentera Merah. Cerita berakhir ketika si hantu menangis setelah mendengar penjelasan mantan pacarnya, dan saat yang bersamaan para aktivis muda Lentera Merah menemukan tulang-belulang si hantu di sebuah kamar kecil dan mengumpulkannya untuk kemudian dibacakan doa.
Alur cerita serupa juga bisa ditemukan dalam Jelangkung, Tusuk Jelangkung, Rumah Pondok Indah, Gotcha, 12:00 AM, Di Sini Ada Setan, Bangsal 13, dan film-film lainnya.
Tentu saja alur cerita tersebut bisa dianggap melawan arus utama cerita hantu yang beredar dalam masyarakat yang mengatakan bahwa hantu tidak akan pernah bisa menyentuh dan menyakiti manusia karena manusia lebih mulia dari pada golongan jin. Meskipun para hantu bisa menjelma dalam kehidupan manusia dan melukai mereka, penyelesaiannya dari masalah yang muncul lebih memprioritaskan pada kemampuan para aktor yang jauh dari kekuatan-kekuatan sakti.
Ini bisa dibaca bahwa untuk menghadapi masalah-masalah yang muncul dari keberadaan hantu dan bangsanya, kita tidak harus selalu bergantung kepada para pemuka agama maupun mereka yang mengaku mampu menangkap hantu. Dengan menggunakan nalar sebenarnya para hantu itu bisa dikembalikan ke alam mereka, meskipun proses menuju itu harus memakan korban yang tidak sedikit.
Maka, kita bisa melihat sebuah negosiasi untuk memasukkan pandangan baru tentang eksistensi hantu dalam kehidupan. Seperti dipaparkan di atas, hantu itu bisa berwujud manusia dan bisa masuk ke dalam dimensi manusia serta berperilaku layak seperti manusia. Tentu saja ini merupakan strategi untuk meruntuhkan hegemoni pandangan lama tentang eksistensi hantu. Hantu bisa mencekik bahkan mengalahkan manusia, tentu dengan segala tipu dayanya.
Selanjutnya, melalui cerita hantu yang bisa mencekik dan mencelakai manusia, sineas horor era 2000-an rupa-rupanya juga ingin menegosiasikan satu gagasan besar bahwa tidak selamanya persoalan hantu itu diselesaikan dengan kekuatan-kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seorang ustadz, kyai atau pendeta.
Kekuatan-kekuatan merekalah yang selama ini dianggap mampu menghancurkan fisik hantu untuk kemudian mengirimnya ke ‘alam yang lebih pantas’ atau bahkan menyimpannya di dalam botol. Dengan menampilkan cerita hantu yang mampu mencelakai manusia serta menuntaskan dendam masa lalunya, film-film horor berusaha mengatakan bahwa hantu juga bisa membangun relasi dengan manusia untuk menciptakan logika baru tanpa dicampuri urusan tasbih dan ayat suci ataupun salib.