Pada era 2000-an awal, industri film Indonesia mencatat booming dua jenre film, yakni: (a) film cerita remaja dan (b) horor. Booming Ada Apa Dengan Cinta? ternyata menjadi inspirasi bagi para sineas untuk membuat film-film dengan tema serupa, semisal Eiffel I’m in Love, Bintang Jatuh, Brownies, Buruan Cium Gue, Virgin, Tentang Dia, Ungu Violet, Heart, Cinta Pertama, hingga Ekskul.
Sementara, kebangkitan film horor dimulai ketika Jelangkung memperoleh respons yang cukup positif dari para penonton film Indonesia. Kesuksesan film tersebut diikuti dengan dibuatnya film horor lain seperti Mirror, Tusuk Jelangkung, The Soul, Missing, Bangsal 13, Gotcha, 12:AM, Di Sini Ada Setan, Bangku Kosong, Rumah Pondok Indah, Kuntilanak, Hantu Jeruk Purut, KM 14, dan Pocong.
Apa yang menarik untuk dicermati adalah perkembangan film horor yang cukup signifikan, baik dari segi kuantitas naratif maupun tema cerita yang disuguhkan. Dengan menggunakan teknik-teknik pengambilan gambar yang menyerupai film horor Hollywood, film horor Indonesia ternyata mampu menjadi ‘tuan rumah’ di tengah-tengah serbuan film-film Hollywood, Hongkong, India, maupun Korea.
Meskipun sering dianggap sebagai tontonan yang mengumbar dan menjual “ketakutan”, para sineas ternyata tidak gentar dan tetap melanjutkan kesenangan mereka dalam mengeksplorasi tema-tema hantu dalam film-film mereka. Beberapa nama sutradara yang ‘ahli’ dalam menggarap film horor antara lain: Rizal Matovani, Rudy Sujarwo, Joko Anwar, dan Koya Pagato. Dalam konteks industri, apa yang dilakukan oleh para sineas tersebut merupakan prestasi meskipun dalam hal penggarapan masih banyak mendapat kritik.
Tulisan ini berusaha membaca dan mendiskusikan-kembali perkembangan film horor Indonesia pada era 2000-an awal. Asumsi dasar dari kajian ini adalah perubahan dalam hal narasi, teknik penggarapan, dan tema horor era 2000-an mampu menjadikannya selalu digemari oleh masyarakat.
IDEALISME POPULIS DAN KOMODIFIKASI HANTU-HANTU LOKAL
Adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri bahwa film-film horor selalu saja menarik minat penonton, dari era Suzzana hingga masa kini. Tentu ketenaran film-film hantu itu tidak semata-mata karena citra-citra yang menakutkan, tetapi ada faktor-faktor yang menyebabkannya.
Bisa dibilang eksploitasi rasa takut yang dimiliki oleh setiap individu merupakan faktor penting yang mendukung popularitas film-film horor selama ini, baik yang berasal dari Hollywood maupun produksi dalam negeri. Setiap manusia pasti menyimpan rasa takut yang itu berada dalam alam bawah sadar. Dan, rasa takut itu perlu diekspresikan dengan menyaksikan sesuatu yang menakutkan pula sehingga menonton film-film yang menakutkan merupakan pilihan yang cukup masuk akal.
Rizal Matovani, sutradara Kuntilanak (2006), dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa horor harus berhasil membuat penonton ketakutan. Kerangka sederhana tersebut bisa disambungkan dengan prinsip bahwa film itu pada dasarnya harus mempunyai nilai hiburan. Maka, film horor itu harus menyeramkan, tapi juga asyik untuk dinikmati.
Ada unsur seru, tegang, tetapi menyenangkan. Ibaratnya orang naik rollercoaster. Semuanya, tahu bahwa permainan itu itu mengerikan, tapi tetap saja banyak yang mengantri untuk menaikinya. Kenapa? Karena manusia senang merasakan ketegangannya, lantas teriakteriak dengan puas.